Hidup di Jakarta, beraktivitas dalam keramaian, berlalu-lalang di jalanan sepertinya telah menjadi hal wajib dalam agenda warganya, terutama pada hari-hari kerja. Padatnya ruang jalan yang dipenuhi oleh sebagian besar masyarakat ibu kota pun menjadi rutinitas yang tidak terelakkan setiap setiap pergi dan pulang kerja.
Mereka yang sudah begitu letih dengan pekerjaannya, rindu dengan rumah mereka, rindu dengan keluarga mereka, berharap mereka dapat menemui apa yang mereka cintai setelah semua kelelahan di hari itu dengan cepat. Nyatanya, fakta di jalanan berkata lain. Terlalu banyaknya volume kendaraan yang sudah tidak lagi sebanding dengan lebar badan jalan membuat perjalanan selalu terhambat setiap harinya, mengepulkan asap berbahaya dari knalpot-knalpot yang dapat mengganggu pernafasan warga ibu kota.
Jakarta tidak dapat terus-menerus begini, Jakarta perlu menyediakan angkutan umum yang layak untuk menciptakan budaya baru dalam bertransportasi bagi masyarakat yang hidup di ibu kota ini.
Transportasi masal terus dibangun, dibenahi, serta diperluas jangkauannya oleh pemerintah setempat untuk mengakomodir kebutuhan warga dalam mendapatkan hak bertransportasi yang layak. Mulai dari BRT Transjakarta, KRL, MRT, hingga LRT. Semuanya terus digenjot untuk menciptakan kota ideal yang lebih baik, seperti kota-kota di negara maju pada umumnya.
Dengan tersedianya angkutan umum yang modern dan layak ini, diharapkan warga Jakarta menikmati setiap perjalanan yang telah menjadi rutinitas kesehariannya, dengan mengucapkan selamat tinggal pada kemacetan dan asap-asap polusi dari knalpot kendaraan. Mereka dapat lebih cepat tiba di tempat kerja mereka, dan dapat lebih cepat tiba di tempat-tempat tinggal mereka dan bertemu siapa pun yang membuat mereka rindukan. Kehadiran transportasi-transportasi masal ini membuat setiap pengalaman yang tidak menyenangkan di jalanan menjadi masa lalu.
Namun, hal itu belumlah cukup, transportasi masal haruslah dikelola secara maksimal agar terpenuhinya hak-hak masyarakat dalam bertransportasi.
LRT Jakarta, sebuah mode transportasi masal berbasis rel yang paling baru di Jakarta. Berbekal dengan kereta ‘ringan’ yang sesuai dengan namanya “Light Rail”, moda transportasi ini siap untuk melengkapi kebutuhan masyarakat ibu kota. Bahkan bukan hanya di Jakarta saja, melainkan juga di daerah penyangga mengingat banyak masyarakat di kawasan daerah penyangga yang beraktivitas di ibu kota.
Setiap moda transportasi masal memiliki kelebihan, di mana LRT Jakarta lebih mengedepankan konsep kereta ringan yang memiliki jumlah gerbong lebih sedikit dibandingkan moda transportasi berbasis rel lainnya. Dengan adanya konsep ‘ringan’ ini, meskipun kekurangannya adalah kapasitas penumpang yang lebih sebanyak moda transportasi berbasis rel lainnya disebabkan gerbong yang lebih sedikit, namun diharapkan kereta LRT dapat melaju lebih lincah dan lebih cepat sehingga memiliki waktu tunggu yang singkat, tepat waktu, dan dapat mengangkut penumpang lebih banyak setiap harinya.
Ditambah lagi, lintasan LRT dibuat melayang sehingga tidak akan ditemukan hambatan apa pun seperti perlintasan sebidang dan semacamnya, keunggulan ini dapat membuat jadwal kedatangan kereta lebih tepat waktu.
Kemudian bagaimana menjadikan LRT Jakarta sebagai sarana transportasi yang terpercaya dan benar-benar “Moving People Connecting Communities”?
Layak diketahui bahwa tidak sedikit masyarakat yang sudah terlena dengan nyamannya kendaraan pribadi mereka masing-masing. Meskipun banyak dari mereka yang mengeluhkan kemacetan, namun sebagian besar masih tetap nyaman di kendaraan pribadinya. Bagi yang menggunakan kendaraan roda empat, mereka berdalih tetap duduk nyaman diterpa angin AC meski terjebak macet, sedangkan yang bagi pengguna roda dua, mereka berdalih meskipun mereka jengkel dengan adanya kemacetan, namun setidaknya mereka dapat mencari celah untuk menerobosnya.
Hal ini sama-sama memiliki efek negatif di kemudian hari, karena dampak yang ditimbulkannya sama saja. Baik dari segi polusi maupun kemacetannya itu sendiri. Sebuah moda transportasi masal dapat dikatakan belum berhasil jika yang dipindahkan adalah masyarakat yang memang kesehariannya sudah menggunakan transportasi umum, dari yang tidak layak berpindah ke lebih layak. Kehadiran transportasi masal justru tidak membuat para pengguna kendaraan pribadi meninggalkan kendaraannya dan beralih ke moda tersebut, kecuali hanya sedikit.
Jika hal itu terjadi, akibatnya adalah kemacetan yang tetap merajalela, indeks polusi yang tetap tinggi, serta tidak terlaksananya visi dan misi kota ideal yang membudayakan masyarakatnya bertransportasi masal.
Di sinilah para pengelola transportasi masal perlu menyusun strategi yang layak dan memiliki jiwa ‘marketing’ handal untuk menarik minat masyarakat dalam menjadikan angkutan masal sebagai transportasi sehari-hari. Bahkan pengelola diwajibkan memiliki banyak akun sosial media untuk mempromosikan ‘produk’ transportasi mereka dengan harapan capaian audiens yang lebih banyak.
Memang apa saja yang perlu dipromosikan mengenai angkutan masal, termasuk LRT Jakarta?
Di ibu kota, waktu sangatlah mahal, untuk datang tepat waktu masyarakat harus berangkat jauh lebih awal dari waktu yang seharusnya karena dampak kemacetan tersebut. Ini merupakan celah cantik bagi para pengelola angkutan masal untuk memasarkan ketepatan waktu di mata masyarakat. Kepastian jadwal dan tepatnya penjadwalan kereta menjadi suatu hal yang cukup ampuh merampas perhatian warga untuk beralih ke transportasi yang lebih baik.
Misalnya, dari stasiun A ke stasiun B hanya perlu memakan waktu sekian menit dari yang biasanya sampai puluhan menit, hanya ditambah waktu tunggu sekian menit.
Minimnya fasilitas menjadi hambatan tersendiri bagi kesuksesan sebuah moda transportasi masal. Pasalnya, masyarakat biasanya beralasan mengenai kebutuhan yang dapat terjadi di mana pun. Dalam hal ini adalah toilet, tempat pengisian daya, atau bahkan musala mengingat negeri ini agama Islam adalah mayoritas. Dan demi kenyamanan pengguna, untuk toilet, dapat diusahakan dalam keadaan selalu bersih. Untuk tempat pengisian daya, usahakan di area yang mudah dijangkau dan listrik selalu tersedia. Dan terakhir untuk musala, usahakan agar adanya pembatas antara pria dan wanita, tidak terlalu sempit, memiliki sarung, sajadah, dan mukena, serta yang terpenting adalah keran air wudu harus memiliki air yang cukup.
Ditambah lagi untuk menyempurnakan pelayanan dalam penyediaan fasilitas, pengelola wajib peduli kepada disabilitas, orang sakit, orang hamil, serta lansia. Adanya blind path untuk tunanetra, akses elevator atau eskalator bagi orang-orang yang tidak mampu naik dengan tangga, serta ruang menyusui.
Merupakan hal yang lazim memiliki petugas yang ramah, cekatan, dan informatif. Sebuah nilai plus jika ada sambutan selamat datang kepada pelanggan atau ucapan terima kasih bagi pelanggan yang telah menggunakan jasa angkutan umum tersebut. Ketidakprofesionalan petugas meskipun hanya kurang dalam memberikan senyum, dapat mengikis pengalaman menyenangkan pelanggan.
Dan diwajibkan pula seperti yang telah diketahui, penyediaan customer service lewat berbagai jalan untuk memudahkan pelanggan dalam menyalurkan informasi atau pun sebagai kanal pengaduan. Perlu diusahakan pula untuk menjawab kebutuhan pelanggan dengan cepat, informatif, dan akurat. Ada pun untuk pengaduan, penyelesaian dan tindaklanjut yang cepat merupakan poin istimewa yang didapatkan para pelanggan.
Pelanggan yang sudah sangat puas akan suatu pelayanan, akan menjadi ‘marketing’ sendiri bagi masyarakat.
Seperti yang telah disebutkan, Jakarta memiliki cukup banyak angkutan masal. Mulai dari BRT, KRL, MRT, hingga LRT Jakarta itu sendiri. Transfer penumpang dengan akses yang mudah menjadi pelayanan optimal bagi penyedia transportasi itu sendiri, sekali pun transfer dilakukan ke moda transportasi yang berbeda.
Bukan transportasi masal yang ideal jika berpotongan dengan transportasi masal yang lain kemudian aksesnya diberikan secara terpisah. Akibat yang didapat jika transportasi masal yang tidak terintegrasi, masyarakat dari moda transportasi lain mungkin akan menggunakan transportasi alternatif yang lebih praktis daripada harus repot-repot keluar dari moda transportasi masal yang satu dan berjalan jauh tanpa adanya akses terhubung ke moda transportasi masal yang lainnya.
Integrasi yang paling baik adalah terhubungnya stasiun atau halte satu sama lain tanpa harus menjadikan penumpang berjalan jauh dari transportasi satu ke transportasi yang lainnya. Jika memang harus menggunakan jembatan khusus, usahakan jembatan yang tidak terlalu jauh, tidak menggunakan banyak anak tangga atau dianjurkan memakai ramp jika memungkinkan, bebas pedagang asongan, dan dibuat senyaman mungkin seperti terlindungnya penumpang dari sengatan matahari langsung, atau bahkan disediakan tempat duduk di sekitar jembatan bagi penumpang yang memang sedang kelelahan sehingga pelayanan maksimal dapat ditunaikan.
Perencanaan yang baik juga harus dilakukan ketika membangun stasiun dengan mempertimbangkan desainnya jika suatu saat di dekatnya ada perpotongan moda transportasi masal yang lain, biasanya ini terjadi di persimpangan jalan yang lebarnya cukup besar.
Lebih baik lagi jika dari segi pembayaran yang juga terintegrasi, jika memang memungkinkan. Atau setidaknya, pembayaran dapat menerima berbagai kartu bank, atau disediakannya Automatic Teller Machine (ATM) di sekitar stasiun untuk memudahkan pelanggan melakukan isi ulang uang elektronik mereka, selain di loket utama.
Pelayanan terbaik adalah menjadikan pelanggan merasa seperti di rumah mereka sendiri. Perlakuan istimewa dapat menjadi nilai plus bagi timbal balik pengelola transportasi masal.
Dimulai dari aspek aksesibilitas, pintu masuk dan keluar stasiun disarankan tidak jauh dari jalan menuju rumah-rumah penduduk, atau kantor, atau tempat makan dan tempat publik lainnya. Seperti di beberapa negara maju, para penumpang juga diberikan akses kanopi ke arah pintu masuk dan keluar untuk memayunginya dari panas dan hujan. Atau disediakan halte khusus untuk menunggu bus pengumpan atau pun transportasi jemputan/online.
Salah satu fitur penting yang harus dipertimbangkan pula adalah adanya fasilitas parkir untuk kendaraan pribadi penumpang yang memang bermukim di radius lebih dari satu kilometer dari stasiun terdekat. Memang penyediaan lahan dapat menjadi kendala tersendiri, tetapi jika memang tidak menemukan lahan untuk dibuat tempat parkir, pengelola dapat bekerja sama dengan tempat usaha terdekat dalam membantu menyiapkannya, atau setidaknya, memberikan rambu di mana calon pengguna dapat memarkirkan kendaraannya agar bisa melanjutkan perjalanannya dengan transportasi masal.
Kemungkinan adanya gangguan pada kereta pun memang harus diantisipasi sejak dini. Terutama untuk menyelamatkan waktu para pelanggan. Instruksi-instruksi menggunakan pintu darurat dan peron-peron di sekitar jalur layang untuk evakuasi para pelanggan juga perlu disampaikan sebagai edukasi. Perawatan secara rutin dan terjadwal di depo dengan teknisi yang terpercaya dapat meminimalisasi adanya gangguan ini.
Di luar itu, para pengelola juga disarankan untuk aktif di media sosial, seperti memberikan tips-tips atau bahkan kuis berhadiah. Pengelola juga perlu mempekerjakan desainer untuk membuat desain semenarik mungkin yang menjadi identitas pengelola. Lebih jauh lagi, pengelola menyediakan booth khusus di area stasiun tertentu sebagai ‘pemasukan’ lain untuk pengelola, di mana di dalamnya dijual berbagai merchandise menarik seperti boneka maskot, payung atau baju bergambarkan rute angkutan, atau bahkan ATK yang memiliki tema terkait.
Petunjuk arah pun harus dapat terlihat jelas tanpa harus memaksa pengguna untuk mendongakkan kepala yang membuat leher pegal. Huruf dibuat modern dan besar, serta warna yang elegan. Usahakan pengguna bisa tahu di mana lokasi peron, di mana lokasi toilet atau musala, dan di mana lokasi pintu keluar.
Terakhir, adalah waktu kedatangan. Pukul berapa kereta datang atau bahkan sedang di mana posisi kereta tentunya adalah salah satu ‘marketing’ waktu yang telah disebutkan di atas. Bila perlu, integrasikan jadwal kedatangan dan keberangkatan dengan aplikasi pihak ketiga seperti Moovit atau Trafi, sehingga tidak perlu buat aplikasi sendiri yang memerlukan waktu dan biaya lebih.
Pengelola dan pemerintah setempat pun baiknya berkordinasi mengenai TOD atau Transit Oriented Development di mana memberikan hunian-hunian terjangkau yang langsung terhubung dengan stasiun. Entah dengan memanfaatkan lahan kosong di dekat stasiun atau pun membangun perumahan vertikal di atas depo jika memiliki ruang dan memungkinkan.
Mengantre dengan tertib, merupakan ciri masyarakat yang maju. Perlu digalakkan oleh para petugas transportasi yang dimulai dengan mendahulukan proses keluar sebelum masuk. Perlunya garis antrean juga membantu masyarakat untuk menjadi lebih tertib.
Selain itu, penggunaan eksalator di mana yang kanan untuk mendahului serta tertib dalam membuang sampah juga perlu dijadikan perhatian tersendiri. Peraturan-peraturan lain seperti larangan makan dan minum di dalam kereta, dan sebagainya perlu disiasati penyampaiannya agar masyarakat lebih sadar.
Kampanye di media sosial dengan bahasa yang kekinian atau dengan video pendukung membantu masyarakat dalam mencerna pengaplikasian budaya bertransporasi tersebut. Poster-poster dengan desain menarik dan mudah dibaca serta dicerna dapat dipasang di sudut yang mudah dibaca oleh pengguna transportasi.
Petugas pun harus dilatih menangani pengguna yang kemungkinan konflik dengan budaya baru tersebut atau culture shock. Jika memang masyarakat sudah terbiasa dengan budaya baik, selanjutnya akan lebih mudah untuk mengatur mereka. Semoga LRT Jakarta dapat menjadi salah satu transportasi masal yang favorit warga dan cita-cita Jakarta menjadi kota ideal dan maju dapat terlaksana dengan segera. 😊
Ditulis oleh Anandastoon, 27 April 2019