Tanggal 12 Maret 2019, MRT pertama di Indonesia melakukan ujicoba gratis untuk publik, meskipun waktu itu hanya ada dua kali keberangkatan. Bahkan dari tanggal 24 yang sudah dibuka resmi pun, MRT tetap gratis hingga 1 April, karena masalah tarif yang belum final.
Hingga akhirnya pada tanggal 1 April di mana jadwal MRT sudah 10 menit sekali, saya terusik untuk mencobanya langsung. Jadi waktu itu saya pulang kantor lebih awal dan naik TJ ke Sarinah untuk urus kartu SIM smartphone saya yang ternyata sudah diblokir, saya kena denda 500 ribu untuk pengaktifan kembali, menangis dompetquh.
Pukul 18.30-an, dari Sarinah saya jalan kaki sekitar 400 meter untuk menuju akses stasiun MRT Bundaran HI. Asikk, pertama kali ngerasain moda transportasi subway hahah.
Tapi… mayGhawd, aksesnya ke dalam itu tinggi juga ya…
Saya langsung mencari mesin tap untuk masuk. Ada loket tiket di sebelah mesin tap tapi berhubung saya sudah punya kartu bank ya… saya tinggal semliwir menerobos antrian tiket. Di gate mesin tap, saya langsung disuruh masuk oleh petugasnya. Saya tidak tahu kenapa, hari itu masih gratis entah mesinnya sedang gangguan atau apa. Baguslah.
Yang pertama kali saya cari adalah mushala. Tentu saja saya mau salat Magrib. Saya berpikir musala ada di sekitar peron stasiun, jadi saya turun lagi menuju peron. Namun ternyata satpamnya bilang bahwa saya harus ke atas lagi dan bertanya lagi kepada satpam yang di atas karena dia kebingungan memberi tahu di mana letak musala.
Ya, saya keluar lagi, tanpa tap-out karena masih gratis alias gangguan mesin.
Sekarang di mana musala? Saya kembali bertanya ke petugas lain dan dia hanya bilang di dinding masuk pintu ke dua. What? Benar lho, signage-nya masih kacau. Ya papan penunjuknya juga ditaruh diluar dongΒ nggakΒ nyempil setelah kita sudah masuk lorongnya.
Musalanya sempit, saya dengan penumpang lain mengantri lama yang pada akhirnya saya masih sempat salat Magrib pukul 18.50 lewat. Yaampun. Sajadahnya juga sedikit, kebanyakan jadi sujud langsung cium lantai. Tapi di luar itu, tempat wudu sudah nyaman dan bagi yang wanita sudah diberikan hijab di tempat wudunya.
Nguuuunggg…
Dari musala terdengar mesin kereta yang sepertinya halus jiwa… Baik, saya langsung terjun bebas dari atas ke peron stasiun dan mengantri cantik bak model kesiangan. Masyarakat kita bisa diajari tertib lho…
Saya mendapat kereta pukul 19.00 dan tidak dapat tempat duduk. Kereta berangkat pukul 19.03, lumayan tepat waktu. Well, sekarang pemandangan di depan saya hanyalah tembok beton terowongan. Tapi peminat MRT ternyata banyak ya, desak-desakannya 11-12 dengan yang di KRL.
Ah, finally merasakan juga kereta bawah tanah bak diluar negeri. Alhamdulillah. Mesinnya sangat halus namun masinisnya sepertinya masih sedikit perlu adaptasi hehe… sumpah, ada kejadian di mana remnya cukup kasar. Penumpang pada kaget sana-sini bhahahah… sisanya pengereman masih belum begitu halus di mana saat-saat pengereman saya benar-benar harus memegang handgrip.
Kereta ini tidak memiliki suara “jejes… jejess…”, tidak seperti KRL.
Suara announcernya, saya tidak bisa komentar lebih, tapi terdengar seperti robot dari Google Translate yang mesinnya setengah rusak. Saya bahkan sampai benar-benar bete mendengar tujuan akhir yang diucap terus menerus. Bahkan saking tidak jelasnya padahal di dalam kereta tetap sunyi meskipun ramai, saya tidak bisa mendengar jelas apa yang diucapkan announcer.
“Lebak Bulus Square… Lebak Bulus Square”
What? Square? Setahu saya tidak ada Lebak Bulus Square, yang ada hanya pusat perbelanjaan Poin Square di Lebak Bulus. Terntata setelah semakin saya teliti…
“Lebak Bulus Grab… Lebak Bulus Grab….”
Oh, naming right. Grab menang tender untuk yang Lebak Bulus ya? Stasiun lainnya juga pakai embel-embel dari yang sudah memenangkan rightnya. Seperti Istora Mandiri, Dukuh Atas BNI, Setiabudi Astra… sebentar, kenapa Astra ya? Padahal kita tahunya di dekat stasiun Setiabudi ada Indofood Tower lho… Payah Indofood hahah.
Ucapan stasiun yang paling absurd sampai seisi kereta riuh tertawa adalah Blok M. Announcernya benar-benar sudah tidak sabar untuk mencari pekerjaan lain sepertinya bhahahah.
“Lebak Bulus Grab… Lebak Bulus Grab….”
Oh stop it already!
Kini tiba saatnya peralihan dari terowongan ke mode melayang, menyisakan pemandangan halte busway CSW yang sepertinya iri melihat kawannya sudah disentuh orang-orang. Semoga integrasinya dapat segera terlaksana, sehingga saya bisa transit dari halte Masjid Agung ke CSW via stasiun ASEAN. YaY!
Oh, sewaktu kereta berpapasan saat berhenti di stasiun layang, saya benar-benar dapat melihat jelas apa pun yang ada di kereta sebelah via jendela yang bening. Seorang anak balita di kereta seberang melihat saya dan saya lambaikan tangan ke arahnya, membuat kakak dan ibunya tertawa geli. Ya ampun.
Oke, sampai Lebak Bulus, yang ternyata stasiunnya bochorrr bochoor… Apa bekas hujan deras tadi ya? Sayang sekali. Oh tenant-tenant makanan seperti St*rbucks, L*wson, dan F*mily Mart sudah buka, namun kemungkinan besar mereka tidak menyediakan tempat ‘makan di dalam’ karena tidak adanya tempat sampah di stasiun.
Mungkin pihak MRT masih ‘trauma’ dengan kegiatan piknik viral di dalam stasiun sewaktu Grand Opening MRT 24 Maret kemarin. Atau memang mau meniru luar negeri yang memiliki budaya tidak boleh menyampah dalam stasiun?Ada pintu keluar yang langsung menyambung ke halte Transjakarta Lebak Bulus.
Tapi… keadaan berubah total di tempat doi. Halte yang sempit benar-benar penuh sesak dengan para penumpang yang ingin ke… sebagian besar Ciputat. Wew, antriannya disaster.
Saya tahu di saat yang sama ternyata KRL jalur Serpong mengalami gangguan dari Tanah Abang. Mungkin itulah sebabnya MRT malam ini benar-benar full manusia, termasuk hingga antrian Ciputat di halte Lebak Bulus.
Tapi biarin, daku bahagia menikmati subway gretong hari ini bahahahah. Dari Lebak Bulus tinggal naik TJ 6H ke halte Warung Jati supaya saya bisa bertemu bantal kesayanganquuh.
Bulan berikutnya setelah uji coba, MRT akan dikenakan tarif 14 ribu rupiah dari sebelumnya Rp8.500. Namun untungnya bulan awal masih ada diskon setengah harga.
Saya dapat berkata tarif ini terhitung sedikit mahal untuk sebuah transportasi masal. Namun banyak yang beralasan bahwa MRT khusus untuk menarik pengguna mobil naik moda ini. Baik, saya setuju, namun jika dihitung radius maksimum 1 KM (TOD), maka per harinya jumlah penumpang per stasiun akan sangat sedikit sekali dan kemungkinan untuk mencapai target penumpang subsidi akan lebih sulit.
Apalagi tidak semua yang memiliki mobil, juga memiliki rumah yang langsung terkoneksi Stasiun MRT. Mereka juga kemungkinan harus menyambung angkot atau transportasi online ke stasiun MRT terdekat, dan masih harus melanjutkan lagi dengan transportasi lain ke kantor tujuan, jika memang dirasa dengan berjalan kaki masih terlalu jauh.
Perlu diingat, jika sistem per KMnya dikenakan seribu rupiah, maka berapa harga tiket yang harus dibayarkan jika nanti fase dua sudah rampung dari Lebak Bulus ke Sawah Besar atau Kota jika ke Bundaran HI saja sudah 14 ribu?
Saya rasa tarif 10 ribu dari ujung ke ujung sudah cukup demi menarik mereka yang sudah nyaman dengan transportasi pribadi ke transportasi masal. Karena pada prinsipnya angkutan masal (sesuai namanya ‘masal’) adalah ‘bisnis’ volume based, yang artinya targetnya adalah pelanggan sebanyak-banyaknya.
Ditambah, kebanyakan masyarakat kita bekerja dengan penghasilan rata-rata Rp4 juta per bulan, belum jika dia harus membayar cicilan rumahnya atau menghidupi anak dan istrinya. Mungkin kebijakan untuk membuat tarif lebih bersahabat di mata warga akan sangat dihargai. Seperti yang saya katakan, dari Lebak Bulus ke HI saya rasa 10 ribu sudah cukup.
“Tapi kan MRT bukan transportasi untuk masyarakat Ndeso yang bikin kumuh lingkungan stasiun…! Makanya biarin dimahalin sekalian.“
Well, masyarakat kita sebenarnya bisa diedukasi, selama kita siap melapor dan customer servicenya benar-benar cepat tanggap. Sekali lagi, MRT pun perlu target penumpang untuk meringankan biaya subsidinya.
Dan lagi, MRT juga seharusnya menyiapkan sarana penunjang di sekitar area stasiun sebagai akses mempermudah mereka untuk berlalu lalang di area stasiun seperti trotoar yang layak dan kanopi sebagai perlindungan dari panas dan hujan, serta tetap steril dari pedagang kaki lima yang dirasa akan mempersempit ruang pejalan kaki.