Curug Jatake

Jujur, rencana saya sebenarnya sudah menyasar ke air terjun ini sejak dari jauh-jauh hari. Namun rencana saya alihkan ke Curug Luhur dan Curug Lontar karena saya baca di-review dan blog-blog yang membahas Curug Jatake ini bahwa sepertinya ada bagian curug yang harus pakai acara rafting. Dan saya sudah ‘trauma’ waktu ke Curug Naga kemarin hehe…

Btw, saya nemu air terjun ini waktu sedang mengacak-acak Google Maps seperti sebelum-sebelumnya. Kemudian entah mengapa di daerah IPB sonoan dikit, ada penanda indah yang bertuliskan Lembah Pelangi. What the heck is dath! Pas saya klik ternyata bagus… mau…!

Sampai akhirnya tiba giliran kosong waktu saya yang bisa saya pergunakan untuk hinggap dimari. Yang tadinya rencana jalan jam 8 kurang, justru jadi jam 9 lebih karena magnet kasur yang sulit dimatikan hehe… Saya harus cepat karena katanya Bogor jam 11an akan hujan (maklum saya buka lagi ramalan cuaca karena sudah masuk musim hujan).

Cepetan mumpung masih teraaannggg…! Eh, saya bawa payung kok. Waaaaa, mataharinya menggoda…! Pengen cepet sampe!


Bonus dari langit

Sampai di Stasiun Bogor jam 10.30, saya lupa apakah baterai kamera saya sudah di-charge atau belum. Ya sudah selama 8 menit saya isi dulu di booth chargeran Stasiun Bogor. Makasi de siapapun yang udah naruh charging booth di setiap stasiun. Ini merupakan salah satu bentuk pelayanan yang saya sukak.

Trafi sudah handy di tangan. Beneran lho, sudah 4 kali termasuk ini perjalanan saya dibantu Trafi karena akuratnya kebangetan. Alhamdulillah. Saya sudah hapal, saya menyebrang dengan JPO untuk naik angkot ke terminal Laladon yang sedang berjajar manis di sebelah barat stasiun menunggu penumpang tercinta.

Yah ngetem. Keburu ujan deh…

Saya sampai di Terminal Laladon akhirnya jam 11 lewat dengan tarif goceng. Langsung cari angkot Jasinga atau Leuwiliang (sama aja sih) yang enggak ngetem. Yang ternyata ngetem juga sampe setengah 12.

Nggak sabaran, saya langsung lompat dari angkot mencari yang langsung jalan. Super banyak kok angkotnya, yang pada jalan tapi masih kosong juga banyak. Saya bahkan diklakson angkot Jasinga sana sini berebut saya agar jadi penumpangnya.

Ehm enggak. Makasih.

Sampai akhirnya feeling saya ingin masuk ke sebuah angkot, sambil bertanya ke supirnya, “Langsung?” Sang supir mengangguk dan saya langsung naik tepat di samping pak kusir, eh, pak supir yang mulai menggas. Asik…

Eh, tapi langit masih cerah. Padahal saya sampai di Ciaruteun jam 12-an. Kalau di Trafi, turun di pemberhentian Jl. Labuan – Cianjur 2 (jujur saya paling benci nama setopan begini). Tarif angkotnya masih sama, Rp. 5.000,-

Curug Jatake

Kemudian saya menyebrang menuju jalan Ciaruteun sambil menggeleng manis dengan ajakan akang-akang ojek yang menggoda. Benar, saya berlenggang di tengah pemukiman yang saya bahkan tidak tahu di mana.

Eh, alhamdulillah masih cerah lho. 1,86km jalan kaki jadi nggak kerasa. Bahkan di tengah jalan saya nemu ini,

Curug Jatake


Β Manajemen keuangan yang terselamatkan

Pliss, tetep jalan lurus saja jangan bulak-belok hingga kalian bertemu dengan gapura kampung Jatake (yang menjadi nama curugnya) pun masuk dan tetep lurus aja. Karena saya pakai Google Maps di arahin belok ke suatu gang memakai mode jalan kaki, namun anehnya jika saya memakai mode sepeda motor, justru diarahkan untuk lurus.

Terus lurus dari awal kalian naik angkot, jangan belok kecuali jalannya yang nyuruh belok, bahkan jika ada pertigaan pun tetap ambil yang lurus. Karena ujungnya adalah,

Curug Jatake

YAY!!!

Kemudian saya langsung turun dan bersapa-sapa ria dengan setiap orang kampung yang berpapasan juga beberapa santri pesantren di tengah jalan. Betewe, saya akhirnya masuk parkir.

Curug Jatake

Mana karcisnya? Mana loket kasirnya? Hanya ada bapak-bapak. Beliau bertanya, “Sendirian?” Saya jawab iya. “Jalan kaki???” Kembali saya jawab iya. Si Bapak hanya melongo tidak percaya. Lho, itu hal wajar bukan? 1,86 km bukan jarak yang jauh. Bahkan saya ke Curug Putri Pelangi saja harus jalan lebih dari 2,5 km! Tapi si Bapak super ramah kok. Bahagia ya dapet pengunjung, biar bisa beli rokok hehe…

Kebetulan, nama air terjunnya sama-sama ada kata pelanginya. Nggak tau maksudnya apa pakek kata pelangi. Mungkin lain kali bisa saya tanya sejarahnya.

Ternyata bayarnya juga hanya goceng! Hari ini semuanya serba goceng! Saya nggak tahu dompet saya mimpi apa semalam sampai bisa beruntung begini. Semoga destinasi wisatanya juga bagus ya…

Curug Jatake

Ok, apa yang ditunggu lagi. Berlari bak Sonik de hedgehog mengambil koin-koin cincin, eh, menggapai anak-anak tangga yang sudah disediakan. Ingat, hanya ambil anak tangga yang biru ya…

Curug Jatake

Di tengah tangga sudah terlihat jelas air terjun Lembah Pelangi, eh maksudnya air terjun Jatakenya (padahal sama saja sih), membuat saya semakin turun bertubi-tubi meskipun jalan tangga dihalangi anak-anak muda yang pacaran sambil duduk. Ya ampun, kek kekurangan kursi aja ya para manusia ini.


Lebih dari sekedar harapan

Sepi. Hampir tidak ada orang, Saya memfoto anak-anak sekolah yang mungkin habis pulang dari sekolah langsung pada nyebur bahagia begitu. Melihat saya foto-foto dari jauh, yang alhasil mereka pun ikut saya foto, melambai-lambai ke saya dan,

“ABAAANNGGG!! FOTO KITA BANG SINIII!!!!”

Salah satu dari contoh teriakan yang menggema di alam terbuka.

Curug Jatake

Merasa diserang dengan kata-kata dan teriakan, saya melarikan diri. Bhahahahah… Nggak, cuma pengen foto air terjun utamanya saja sebelum tiba-tiba langit vivis.

Ada tambang sebagai penanda jika tiba-tiba ada banjir dan longsor, cuma saya langgar hehe… Mau bagaimana lagi, mumpung lagi cerah sih.Curug JatakeSaya semakin mendekat dan mendekat ke areal curug yang ternyata debitnya sangat besar. I wonder jika memang nama Lembah Pelangi itu berasal dari debit air di sini yang kepulannya dapat membuat pelangi jika matahari sedang terbit/terbenam. Tapi saya tunggu-tunggu pelanginya nggak muncul (ya iyalah, mataharinya lagi mentog di atas kepala).

Ya sudah, saya nekat berjalan lebih dekat ke curug dan saya foto sisanya which is super duper banyak sampah. Banyak sempak bekas yang sudah tercampur tanah di sini. Baunya itu loh, Allah rabbi, saya tidak tahu dahsyatan mana mual saya dengan mualnya wanita hamil jika dibandingkan pada saat itu. Nggak, nggak jadi. Airnya pun butek.

Saya hanya foto dengan batu dan timer…

Curug Jatake

Saya balik lagi ke tempat anak-anak berendam tadi. Yang setelah saya telusuri, ada air terjun lain yang debitnya lebih kecil. Sebenarnya memang bukan air terjun, tapi ini disebut apa? Setidaknya slightly better daripada Curug Cilember pada mode musim panas.

Curug Jatake

Ketika menuju curugnya, jalannya berubah licin drastis. Berapa kali saya terpeleset dan hampir jatuh. Terima kasih de siapapun yang bangun pagar untuk ini. Jadi saya bisa pelan-pelan jalan sambil pegang besi sambungan pagar bak kakek-kakek yang sudah hampir tak sanggup berjalan.

Asik, terbalur percikan air terjun. Dan dengan pose yang cukup mencari mati, saya berhasil memfoto ini,

Curug Jatake

Benar-benar menikmati saya ini. Alhamdulillah, murah meriah dan cukup puas. Dan pada saat itu memang kondisi air terjun yang benar-benar hampir kosong. Akhirnya setelah hepi main ciprat-cipratan, saya kembali ke tempat asal yang kemudian saya jatuh menjeledug.

AAAKKKK!!! Sepatu saya hancur sudah terkena lumpur. Untung ada pancuran air dekat kamar mandi, jadi saya bisa cuci… ci… ci. Persetan dengan kaki bau nan lembab setelah itu. Saya nggak mau ada lumpur di kaki saya ini.

Curug Jatake

Sudah disediakan saung oleh pengelola yang sangat baik. Sehingga siapapun bisa ngadem hingga bocan (bobok cantiq) gratis di sana. Awas banyak semut hitam besar yang juga pada ikut ngadem. Tapi semutnya baik-baik kok, gak gigit insyaAllah. Saya akhirnya mengeluarkan roti dan air yang saya beli di warung sebelumnya (di saung ada warung, tapi tutup. Karena sepi kali yakk?).

Ya sudah, saya berhepi-hepi ria sendirian di saung diliatin para pengunjung sisa yang pada bawa pasangan. Bomat!

Curug Jatake

Alhamdulillah, setelah merenung sambil ber-IGstory (it’s not really the same thing), saya mencoba menikmati keindahan yang saya tidak temui ketika hari kerja dan di balik layar.

Saya lihat jam tangan yang baru menunjukkan pukul 1.30 dan saya belum shalat zhuhur. Ya Allah, bentar dulu ya saya tunda shalatnya hehe… (Adegan berbahaya tsb jangan ditiru para muslimin dan muslimat).

Puas, saya kembali pulang. Dan sedikit memfoto curug tengah yang kata orang-orang dipakai untuk rafting. Ohhh… jadi ini yang buat rafting.

Curug Jatake Curug Jatake

Ya sudah, saya naik lagi menuju tempat peristirahatan saya, indekos saya tentu saja, apa lagi? Ternyata di atas ada mushalla.

Curug Jatake

Dan you know? Tempat mukena dan sarungnya ditaruh di dalam kulkas seperti yang terlihat di foto di atas. Dan… mana tempat wudlunya?

Di bawah ada pipa kecil yang saya tebak itu pancuran air, tapi dalam kondisi yang mati. Jadi apa jika mau wudlu saya harus kembali ke pancuran tempat saya mencuci sepatu saya tadi? Nanti aja deh shalatnya pas udah keluar areal wisata hehe…

Sampai di atas, ternyata saya menemukan banyak bunga, masyaAllah.

Curug Jatake Curug Jatake

Dan setelah bunga-bunga ada saung untuk istirahat. Di sana, di depan pandangan saya, ada sebuah tebing, di mana saya melihat ada tempat wisata lain. Apa itu? Puncak Lalana kah? Atau Puncak Batu Roti? Beneran, ada orang lain yang gerak-gerak dari kejauhan.

Curug Jatake

Foto di atas saya zoom ya…

Curug Jatake

Tuh kan, kek ada ayunan sama dua sejoli. Mauk ke sanaa… Tapi nanti aja kali ya, ok noted.

Pulangnya pun saya kembali menegur si bapak yang dari awal tadi sudah dalam kesendirian. “Pak, duluan…”, si Bapak mengangguk tersenyum. Kemudian ini adalah foto terakhir sebelum saya completely meninggalkan area air terjun,

Curug Jatake

Alhamdulillah. Saya meninggalkan air terjun menuju masjid terdekat dalam kondisi badan dan kaki yang bauk karena keringat dan lembab.


Pulang sudah

Saya shalat Zhuhur di masjid sebuah TK. Yang mana saya menemukan suatu ragam indah kedaerahan. Apa itu? Yaitu sebuah tulisan,

Curug Jatake

“Maap & Polume”… What a beauty of culture variety

Setelah shalat zhuhur, saya lihat kanan kiri sudah mendung. Bahkan setelah saya turun dari angkot di Laladon dengan angin yang sudah bergemuruh, saya memilih untuk shalat Ashar di masjid hijau dekat terminal, Al-Madinah kalau tidak salah nama masjidnya.

Benar saja, 15.45 hujan angin yang semakin deras dan deras, membanting-banting jendela masjid di mana saya yang duduk dekat imam saja hingga terguyur gerombolan cipratan hujannya. Belum puas, halilintar mengamuk di sana-sini, yang sudah memakai jas hujan pun terlihat mengungsi di masjid.

Bahkan sudah hampir jam 5 sore pun, hujan justru semakin deras. Apakah Jakarta akan menerima ‘hadiah’ spesial dari Bogor? Setelah mulai reda pukul 17.09 dan saya mendapatkan angkot, saya lihat aliran kali Cisadane yang sepertinya sedang kesetanan menuju arah utara. Hii, saya tidak tahu bagaimana yang Ciliwung.

Bahkan, hampir maghrib saya tiba di Stasiun Bogor pun, langit masih mendung.

Curug Jatake

Tadinya mau maghriban di Stasiun Bogor, cuma karena saya lihat penuh padahal belum adzan, saya akhirnya memilih untuk maghriban di Stasiun Depok Baru. Tentu saja dengan menahan malu karena badan dan kaki saya yang super bauk ini. Mana lupa lagi saya bawa parfum…


Galeri

Curug Jatake Curug Jatake Curug Jatake Curug Jatake Curug Jatake Curug Jatake Curug Jatake Curug Jatake Curug Jatake Curug Jatake

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
πŸ€— Selesai! πŸ€—
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Mature Enough: Antara Travelling dan Kedewasaan

    Berikutnya
    Permasalahan Pebisnis dan Startup di Indonesia


  • 2 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    1. Mas selama jalan kaki 1.8 km itu medannya kayak apa? jalanan datar kan ya? kira2 kalau naik motor dari stasiun KRL Bogor memungkinkan nggak ya?

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. πŸ˜‰

    Kembali
    Ke Atas