Saya sebenarnya telah mengincar air terjun ini dari seminggu sebelumnya. Tapi, saya tidak tahu kenapa sedang malas-malasnya travelling. Mungkin istilahnya bisa disebut dengan mabok travel sehingga perlu istirahat dulu mengerjakan hal lain yang lebih bermanfaat hahah.
Sampai suatu hari di mana saya jenuh, bin bete, bin bentar lagi musim hujan (apa hubungannya), maka saya pastikan agar saya mengunjungi tempat ini sebelum kilatan petir menyerang. Dan jadilah aplikasi ramalan cuaca yang handy tersebut kembali saya buka lagi setelah berdebu karena musim kemarau panjang.
Akhirnya jalan-jalan sendirian lagi, episode ke sekian puluh kalinya, saya mulai.
Saya sebenarnya tahu dan malas ke sini disebabkan tempat ini dijadikan wisata kolam renang seperti yang ada embel-embel “Janggel” begitu dan biaya masuknya super mahal untuk ukuran wisata yang hanya melihat air yang meluncur jatuh dari tebing saja. Namun karena saya ‘percaya’ jika swasta yang mengelola dan rasa penasaran saya juga mengalahkan semuanya, akhirnya saya cuss terbang pakai KRL ke Bogor.
Dari Stasiun Bogor…
Oke, banyak situs jalan-jalan bilang bahwa saya harus naik angkot ke Kebun Raya, kemudian jalan ke BTM, dan sambung angkot ke Ciapus (bilang mau ke Curug Luhur), kemudian jalan lagi, kemudian naik angkot lagi atau ojeg. Saya agak pusing dengan pilihan begitu. Akhirnya seperti biasa, saya mengandalkan Trafi ~
Trafi bilang bahwa dari Stasiun Bogor saya harus naik angkot ke Laladon, kemudian sambung angkot Tenjolaya. Nice! Namun Trafi bilang saya harus turun di Kompleks Sindang Barang, 200 meter setelah terminal Laladon. Tetapi saya ingkar dan memilih turun di Terminal Laladonnya, padahal angkotnya masih bisa jalan terus.
Akhirnya? Tidak ada angkot Tenjolaya. Angkot Jasinga lagi, dan Jasinga lagi yang lewat. Saya tanya ke orang-orang, tidak ada yang tahu. Kecuali satu orang ibu, yang dia juga bertanya ke supir angkot yang ingin dia naiki, bahwa jika ingin ke Curug Luhur harus naik angkot Tumaritis. Ngetemnya di depan pertigaan komplek Sindang Barang yang banyak plang Alfamartnya.
Tuh kan, nggak nurut sih sama Trafi. Akhirnya saya jalan 200 meter yang untungnya jaraknya masih pendek. Dan bertemulah saya angkot biru yang memiliki tulisan imut “Tumaritis” di bagian depan dan belakangnya, sedang memanggil-manggil penumpangnya dengan merdu… Naiklah saya.
Khawatir tersasar, saya bertanya sama mbak-mbak di sebelah saya,
“Maaf, ini angkot ke Curug Luhur ya?”
“Iya A, nanti dari Pangkalan Tenjolaya, naik lagi angkot hijau.” Jawab si gadis.
“Oh, jadi ini sebenarnya angkot Tenjolaya ya? Cuma namanya Tumaritis aja?”
“Iya A, hehe…”
Oh… bagendrong. Btw, angkot ini termasuk memiliki rute yang cukup panjang. Trafi bilang ongkosnya Rp15.000,- jika memang sampai akhir, dan memang saya harus turun di tempat pemberhentian akhir rute angkot ini, yang akhirnya cuma tinggal saya sendirian karena penumpang yang lain sudah bersih dari angkot.
Selesai menurunkan satu-satunya penumpang di pemberhentian terakhir (betewe tarifnya beneran Rp15rb, Trafi keren), ada angkot-angkot hijau yang juga menunggu penumpang ke arah Curug Luhur. Namun mengingat jaraknya hanya 700 meter, saya lebih memilih jalan kaki.
Aduh turunannya, kira-kira saya kuat gak ya kalau pulang jalan kaki lewat sini? Hehe… Jalanannya memang menurun tajam, namun setidaknya sudah diaspal. Sepanjang perjalanan sudah gerimis, tetapi karena jaraknya dekat menurut maps, jadi saya yakin saya akan tempuh dengan berjalan kaki.
Dan benarlah saya langsung tiba hehe… Dekat lho dari pangkalan Tenjolaya.
Ada jalan setapak yang sepertinya dikhususkan untuk pejalan kaki dan kendaraan roda dua. Mobil ada jalan lain di sisi satunya.
Yay, saya langsung ke kassa (dah kayak di mall aja) untuk ambil barang belanjaan (*eh), maksudnya untuk bayar tiket yang harganya…
Eh, itu dulu deng hehe… tarif yang saya baca di internet. Kalo saya kemarin bayar,
Wow, fantatstiknya! Memang benar sih, di sini semuanya digabungkan wahana kolam renang, taman, dan seterusnya jadi satu. Mungkin setelah itu tidak ada bayar-bayar lagi, kecuali untuk penitipan dan toilet kali ya… Dari awal saja pemandangan sudah begini,Dan baru masuk sedikit ke warung pertama, pemandangan tiba-tiba jadi begini,
Ah, pengelola ~
Ya sudah, katanya menurut Trafi, saya akan tiba pukul 12.06, dan you know? Lagi-lagi tepat. Udah ngomongin trafinya. Yang jelas saya langsung makan nasi di warung terdekat dan sholat zhuhur di mushalla di dekatnya. Yaa lumayan makan nasi, telor dadar, sayur, dan aqua gelas satu (bukan Aqua sih merknya), kena Rp20rebu. Standar lah ya…
Mushallanya juga unik. Tempat wudhunya memang hanya satu, tapi langsung dari pancuran air dari sananya.
Tidak mau berenang? Tak masalah. Bagaimana dengan tempat bermain, taman, gazebo, dan saung bertingkat yang sudah tidak dipungut biaya lagi? Yang ini sih aquh yes…
Tamannya juga not bad…
Dari jauh air terjunnya sudah terlihat. Ah, jadi pengen buru-buru…
Ya sudah, saya terjun dari lantai dua saung dan ngebut ke curugnya, menuruni tangga-tangga yang dihimpit oleh kolam-kolam renang.
Perjuangan saya belum selesai ternyata. Saya harus bertarung dengan gerombolan pengunjung yang sedang selfie menikmati hari liburan mereka ke tempat wisata yang (sangat) tidak murah ini. Ok, saya menyerah. Saya tidak langsung foto air terjunnya, tapi foto ini sebagai gantinya.
Di sini pun banyak tangganya. Jadi jangan khawatir salah jalan. Pihak pengelola benar-benar cukup cerdas dalam membangun wahana dan aksesnya. Bahkan got untuk pembuangan air kolamnya saja, ehm, maksud saya terusan sungai dari curugnya saja, dibuat seeksotis mungkin.
Tidak peduli tangga mana yang kita ambil, dari mana pun kita tetap bisa ke warung, berenang, dan turun langsung ke curugnya. Saya jadi ingat film Maze Runner hehe… Cuma hati-hati, tangga batunya agak licin untuk yang sampai ke air terjunnya langsung.
Di kolam ada tambang, maksudnya jangan berendam lebih dari tambang karena dalam mungkin ya… Warna airnya pun biru jernih seperti banyak alga. Tak jauh dari sana juga ada tangga menuju sisi atas dari curug tersebut di mana tangganya dikelilingi seluncuran berbentuk naga barongsai. Wew! Eh, tapi kenapa harus naga? Ya sudahlah tidak apa, kreatif, kreatif.
Dan ini pemandangan air terjun dari atas.
Good, good. Kemudian saya turun pada sisi satunya setelah saya memesan kopi luwak di warung di atas dan menikmati alamnya. Saya ingat ramalan cuaca bilang kira-kira jam setengah 3-an hujan akan mengguyur kawasan ini. Benar juga. Debit curug dan cipratannya yang mulai ganas sampai saya susah foto bunga, hingga langit yang tiba-tiba menghitam.
Waa… kaborrr…
Ya Allah, pliss jangan ujan dulu, saya soalnya jalan kaki… (padahal angkot hijau seliweran di samping saya).
Saya pun berhasil ‘mendaki’ tanjakan horor tadi dengan sekuat tenaga hahah. Saya akhirnya ke minimarket di pertigaan Tenjolaya untuk beli air minum dan menukar uang untuk bayar angkot (uang saya gede semua hehe…). Kasirnya seperti tidak senang dengan uang besar tersebut, apalagi saya minta kembalian pecahan 5rb-an hahah.
Hujan pun tiba-tiba turun deras gila. Minimarket tiba-tiba ikut menjadi agak gelap karena cahaya yang masuk dari luar sedikit diblok oleh pengendara-pengendara sepeda motor yang berebut ingin mendapatkan teduhan. Saya? Dengan tersenyum girang, mengeluarkan alat Doraemon (bohong, cuma payung motif bunga-bunga) dari tas saya yang sudah seperti toserba.
Jadilah saya berlenggang membelakangi para pengendara tersebut dengan bahagianya hahah. Saya pun menunggu angkot di pangkalan dengan payung yang masih setia. Hingga tidak lama muncul angkot yang kemudian dapat saya tumpangi.
Ya sudah, saya pulang ke Stasiun Bogor dan saya malas turun di Stasiun Pasar Minggu. Akhirnya saya memutuskan untuk turun di Stasiun Pasar Minggu Baru dan memesan ojeg online di masjid yang drivernya tak kunjung tiba hingga setengah jam. Saya akhirnya cancel dan memilih berjalan kaki 2.5km hingga rumah.
Setidaknya jalan kaki saya tersebut menggantikan jalan kaki yang biasanya saya tempuh untuk ke air terjun hehe…