Saya ingin merencanakan travelling saya dengan super dahsyat! Keluar pulau? Tidak jadi musholla masalah! Setiap blog tentang travelling yang berhubungan dengan itu saya cermati. Dari mulai akses (terutama dengan kendaraan umum), kemudian kemudahan, dan tentu saja, panoramanya itu sendiri. Jangan sampai kita telah lelah-lelah sampai, hanya disuguhi pemandangan daun yang jatuh menghajar angin (mirip judul novel yah?)Semua saya prepare dengan sangat luar biasa, dari mulai waktu, cuaca, hingga apapun yang mendukung acara travelling saya tersebut menjadi meriah. Hari H pun tiba! Daannnn… saya kesiangan. Nyebelin banget sumpah. Tadinya rencana berangkat setelah shalat shubuh, tahu-tahunya eh, dan eh, dan EH!
Yup, tetap tidak jadi musholla masalah! Saya punya backup agenda kok (ciyee). Meski ujung-ujungnya destinasinya ke Bogor juga, jadi ya, tidak masalah, yang penting saya bisa mengenyangkan nafsu travelling saya yang telah meronta-ronta kelaparan.
Saya rencana mau berangkat pagi setelah shalat shubuh, atau sekitar jam 6an. Namun setelah shalat shubuh saya memejamkan mata dan baru terbangun ketika jam 7 lewat. AH! Saya ingin undur ke hari Minggu, tapi saya memang sudah menjadwalkannya Sabtu. Ya sudah setelah itu saya melanjutkan tidur lagi…
Jangan, jangan tidur lagi! Saya melompat untuk mandi dan tiba-tiba HP saya meledek saya dengan posisinya yang menggoda. Jadilah saya bermain Candy Crush sampai bila-bila.
Ketika nyawa Candy Crush saya sudah habis, saya harus menunggu 30 menit untuk mengisi satu buah nyawa sehingga dapat dimainkan kembali. Pada saat itulah saya sadar bahwa saya sedang tercabik-cabik dengan waktu.
You know, saya akhirnya berangkat jam 9 kurang dari semula rencana jam 6. Saya benar-benar sedang jadi pengkhianat waktu. Jika itu tidak bisa disebut dengan demikian, saya tidak tahu apa itu.
Saya sudah tidak mempedulikan lagi apakah langit cerah atau berawan, tapi melihat cahaya matahari ternyata terang-benderang, saya jadi sumringah. Kaay, saya langsung sim salabim ada di gerbong KRL tujuan Bogor dan turun di Stasiun yang paling akhirnya, tentu saja, Stasiun Bogor.
Based on aplikasi Trafi, saya disuruh untuk naik angkot arah Bogor Trade Mall atau BTM (no. trayek 02) sekeluarnya dari stasiun dan melanjutkan ke Angkot ke Cihideung dengan nomor trayek 04A dari samping BTM. Ternyata malu bertanya jaman naw sudah tidak benar-benar menjadi tersesat di jalan hehe…
Tidak masalah dengan angkot 02-nya, namun angkot 04A-nya itu loh… agak jarang keknya. Yang seliweran cuma angkot 04 aja, nggak ada embel-embel “A”nya, danΒ itu rutenya ke Warung Nangka, bukan Cihideung.
Namun ternyata memang harus bertanya apakah di sini, di samping Mall dapat menunggu angkot Cihideung, orang-orang jawab iya. Dan setelah 15 menit, nongol juga angkotnya. Katanya sih, angkotnya kejebak di macetnya pasar arah BTM.
Sedikit lebih parah dari Jakarta keknya. Yang bikin lucu itu nomor angkotnya tepat ada di atas lampu depan angkot, dengan latar putih dan tulisan 04 disertai dengan huruf “A” yang super kecil untuk dilihat. Maksudnya pakai font kecil begitu apa? Tulisan untuk semut?!
Saya bisa konfirmasi memang kebanyakan angkot 04A memakai tulisan trayek dengan huruf A yang super kecil dihiasi dengan latar putih yang terlihat seperti cipratan cat atau hanya latar putih biasa.
Btw, tulisan 04-nya saja sudah cukup kecil, bagaimana dengan huruf A-nya yang jauh lebih kecil dari itu??? Warna angkotnya kadang hijau muda atau biru tua seperti angkot 03 tujuan Ciapus. Ah, persetan dengan warna, yang penting fokus sama tulisan trayek yang segede anak kutu tersebut.
Yang lebih parah, angkotnya penuh dengan belanjaan dan kardus emak-emak. Saya hampir-hampir ngeteng di pintu kayak anak SD yang nggak kebagian tempat duduk di angkot. Yah, tidak jadi musholla masalah. Jam berapa sekarang, oh, jam 11.
Jangan terkecoh dengan rambu hijau yang menunjukkan ke Curug Pelangi selagi masih di dalam angkot, karena bagi pejalan kaki dan angkoters seperti saya, tempat turun sebenarnya ada di Indomaret Cihideung persis seberang sebuah masjid.
Jadi pas melihat ada Indomaret dengan tulisan Cihideung di sisi kiri saya, sontak saya langsung lompat dari angkot dan bayar tarif sebesar goceng (itu pun setelah diberitahu penumpang lain masalah tarifnya hehe…).
Saya belum makan, jadilah saya belanja susu dan roti di Indomaret, sambil bertanya kepada sang kusir, eh kasir mengenai gang sempit ke antah berantah persis seberang Indomaret dan tepat di sebelah masjidnya.
“Teh, ai ka Curug Putri Pelangi teh leres kadinya jalanna?” Tanya saya.
Tidak, saya tidak pakai bahasa Sunda, cuma pamer kebolehan bercakap dengan bahasa Sunda. Si teteh menjawab iya, hanya saja tidak yakin. Ya sudah, bagaimana pun Google Maps harus selalu handy kalau begitu. Saya lihat dari Indomaret jaraknya ‘hanya’ 2km ke Curugnya, makanya saya langsung serbu ke gang masuk perkampungan itu.
Jalanan terus menanjak meski kanan kiri rumah dengan diakhiri oleh sebuah pesantren. Aduh, tumben baru 500 meter saja saya sudah ngos-ngosan. Saya akhirnya duduk dahulu di pelataran rumah warga yang sedang kosong untuk menyantap belanjaan.
Entah dari kapan, atau dari mana, tiba-tiba pemukiman berubah menjadi kebun dan jalanan berubah menjadi hancur. Keserimpet di sana-sini sepertinya sudah menjadi lagu kebangsaan jika menemukan jalanan yang seperti itu. Saya terus mengikuti jalan yang agak besar hingga belok kanan dan tiba-tiba…
Subhanallah viewnya…!
Eh, itu Gunung Salak btw… Kok bisa selandai itu ya? Tapi bodo jasa, yang penting saya bisa berputar-putar bak Putri Disney menari di tengah panorama ciamik ini. Ehm, lebih mirip orang gila sebenernya. Peduli-kucing dengan tatapan orang-orang sekitar, masalah kapan lagi bisa menikmati lahan pandang se-MasyaAllah ini? Ya kan, ya kan?
Sepertinya ini tidak akan jadi jalan menuju Curug jika tidak hancur berantakan dengan bebatuan kemana-mana. Untung saya jalan sendiri, tidak dengan teman saya yang senang dengan sepeda motornya, jadi saya tidak perlu mendengar kendaraannya jerit-jerit kesakitan rodanya melewati jalanan seperti ini.
Oh iya, bagi kendaraan bermotor memang telah disediakan jalan khusus dan mobil bisa lewat juga. Jadi pengendara tidak perlu lewat sini. Beberapa kilometer sebelum Indomaret tempat saya turun itu ada plang menuju Curug Putri Pelangi, jalanan beraspal. Tapi kalau pejalan kaki jomblo macem dirikuh ini better lewat sini wkakakak.
Tapi yang buat saya terharu adalah, disediakannya lahan untuk pejalan kaki terpisah dari jalanan bebatuan yang bahkan tidak sudi saya lihat itu, jadi saya bisa jalan dengan penuh harmoni sambil lihat sekeliling. π
Ayok, masih 1 kilometer lagi. Yes, yes, dengan pemandangan seperti ini. Jalanan mulai berbelok dan berbelok, menuju sebuah jalan kecil yang bahkan lebih parah dari yang lebih parah. Are you guys serious kendaraan-kendaraan harus lewat jalan ini? Saya lihat mobil box bisa lewat, berarti seharusnya tidak jadi musholla masalah.
Akhirnya saya belok dan ada rambu lagi.
Ada tulisan hitam kecil di bawahnya, 150m…? Beneran deh, itu jaraknya kenapa harus pakai tanda tanya??? Biasanya suka menipu, kadang 150m ternyata 1,5km seperti waktu saya ke Curug Citambur kemarin. Tapi yaa… semoga benar 150 meter, sekalipun meleset, marginnya jangan jauh-jauh…
Akhirnya saya berjalan di jalanan yang super berbatu dengan ditemani jurang. Apa? Sepeda motor lewat mana? Lewat sini bisa. Banyak kok yang lewat sini. Atau lewat jalan lain juga ada. Saya terus menghitung jarak dan sepertinya lebih dari 150 meter. Setelah berharap semoga selisih margin jarak tidak terlalu jauh, saya dihadapkan dengan ini,
Eh, itu gerbang masuknya. YaY! Seorang keamanan menghampiri saya, dan menagih Rp10.000,- dari saya dengan ramah. YaY lagi! Ya sudah, saya turun menuruni tangga menuju curug yang ternyata sudah disediakan kursi setiap beberapa puluh meter sekali. Wah, perhatian juga ya dengan para customer curug yang kemungkinan mengalami kelelahan. Terima kasih.
Tangganya bagus lagi, meski jarak antar anak tangga benar-benar random.
Akhirnya episode turun tangganya selesai, kini tinggal jalan ke curugnya. Fasilitasnya cukup OK ternyata. Ada kamar bilas gratis, warung, mushalla, dan… apa? Pengamen? Darimana datangnya? Pengamennya bukan pengamen yang bawa-bawa ukulele, tapi salon dangdut! MasyaAllah. Saya malas ditagih makanya saya sembunyi di kamar mandi bhahahah. Tidak, saya mau sekalian wudlu untuk shalat Zhuhur.
Mushallanya sederhana dari bambu dengan banyak bagian yang bolong, namun suasanyanya itu lho… shalat pun jadi adem karena mungkin kanan-kiri penuh dengan hal natural. Meski hanya muat dua orang, tidak jadi musholla masalah. Ada mukena dan sarung juga yang sudah disediakan.
Saya kembali ke curug seselesainya shalat. Makasi de siapapun yang bangun jembatan mini ke arah curug.
Curugnya itu sendiri tidak begitu melambungkan impian sampai langit ke-18, hanya sebuah pancuran kecil yang mirip pancuran air di rumah-rumah kalian, dengan beberapa anak-anak telanjang. Sudah. Namun justru ini merupakan curug yang cukup tertata dari beberapa curug yang saya pernah kunjungi.
Pengelola benar-benar ajib dalam menata tamannya sehingga lebih beautiful menutupi ‘aib’ sang curug. Makanya saya betah duduk lama-lama dengan mengutak-atik kamera saya. Dilihat oleh banyak orang pun tidak jadi musholla masalah. Yang penting, saya bisa jeprat-jepret. Tanda Seru!
Sekeliling curug pun cukup nikmat dipelototin. Allah Kariim… andai setiap hari saya ada di tempat seperti ini…
Sedang nikmat-nikmatnya menghayati nyanyian alam, tiba-tiba saya diserbu oleh anak-anak SMP entah datang dari mana yang mulai pada buka baju. Hancurlah ekspektasi saya untuk bermesraan dengan alam pada saat itu, terutama suara air terjunnya.
Ya sudahlah saya kembali lagi ke saung dan memesan mie goreng telor, yang ternyata mie dan telornya sedang tidak ada. Ya sudah, makanan kebangsaan, Pop Mie… Sekali lagi, itu tidak jadi musholla masalah.
Saya mulai mengeluarkan laptop meski tidak ada sinyal di sini. Tidak mengapa, saya kerjakan apa pun yang dapat offline. Ah, benar-benar nikmat. Alhamdulillah.
Setelah makan dan kerja, saya ingin pulang jam 2 siang. Oh iya, di warung ada penyewaan alat-alat renang, harganya pun masih wajar dan ada daftarnya. Dan ketika beres-beres ingin pulang, rombongan anak-anak SMP tadi sudah bergegas pulang, namun ada rombongan lain yang sepertinya sedang ospek, kali ini lebih senior. Tapi untungnya, bukan pas di curugnya.
Di curug banyak yang mau difotoin oleh saya. Aduh kek fotografer prewedding ya… Tapi pas mau sampe ke curugnya itu loh…
Saya meminta plastik besar ke pemilik warung. Namun dibalas dengan gelengan kepala dari pemilik warung. Setelah saya jelaskan untuk apa, katanya biar saja biar dia yang bereskan. Oiasud. Cuma sebel ajaaa melihat sampah-sampah bertebaran seperti itu tuh… Pada nggak diajarin atau bagaimana sih?
Finally saya pulang. Saya kembali naik tangga dengan penuh rasa syukur, melihat semua keindahan dari yang Maha Indah, yang sepertinya tidak pernah ada rasa bosannya dilihat. Apa salahnya saya meng-kill Instagram saya sejenak dan duduk di kursi yang disediakan di tangga dan mulai menikmati.
Saya agak salah naik tangga, namun yang saya temukan jauh lebih berkesan,
Saya pulang dengan disambut oleh senyuman langit yang telah menggeser kabut-kabutnya. Segala sesuatunya terlihat lebih cerah di sini. Saya kembali menatap sekeliling sambil mendengarkan lagu instrumental ini,
Semua alam ini, semua pemandangan ini. Ingin rasanya saya bersujud ke arah gunung (saya tidak tahu arah kiblat hehe). Namun bukan kepada gunung saya bersujud, melainkan kepada yang telah meninggikan gunung dan menghias sekelilingnya. Allahu Akbar…
Eh, gunung Gede Pangrango terlihat dengan cukup jelas dari sini. Hai, gunung…
Di tengah puasnya saya meluluhlantakkan memori kamera saya, tiba-tiba saya diklakson oleh sebuah mobil. Saya tidak pedulikan, orang saya jalan di tempat khusus pejalan kaki kok. Namun klakson tersebut semakin menjadi, akhirnya saya menyerah dan menengok ke belakang.
Ada sebuah mobil dan sebuah tangan menjuntai memanggil-manggil saya dari dalam mobil persis adegan film-film horor. Ketika saya hampiri, oh orang-orangnya ingin saya foto juga, katanya mereka minta di-selfie-kan oleh saya dari jauh. Dalam hati saya, “Aduh bu, pak, mungkin kalian tidak tahu arti selfie itu apaan.”
Saya fotolah mereka dengan mobil-mobilnya. Lalu mereka berterima kasih tanpa memberikan basa-basi lainnya lagi sembari melanjutkan perjalanan, saya pikir mau diajak oleh mereka sampai jalan raya. Ah, ya sudah, tidak jadi musholla masalah. Saya setidaknya dapat kenang-kenangan berupa foto mobil mereka,
Saya melanjutkan proses menyatu dengan alamnya. Hingga akhirnya semuanya selesai dan rumah penduduk terlihat. Kebetulan setelah sampai di jalan raya, kondisi sudah hampir ashar, jadi saya meminum minuman yang saya beli lagi dari Indomaret di pelataran masjid.
Kemudian saya shalat dengan nikmatnya di masjid tersebut dilanjutkan dengan sujud syukur karena pengalaman seindah ini. Ditambah lagi kenyataan bahwa tempat ini ramah angkot dan dekat. Semoga jamaah tidak ada yang kebauan dengan keringat yang mengalir deras membasahi baju dan jaket saya, seperti seorang penumpang yang dulu pernah kabur gegara badan saya baukk di artikel ini…
Saya pulang naik angkot ke BTM dan ke Stasiun Bogor untuk naik KRL kembali ke Jakarta.
Alhamdulillah.
Pulangnya memakan waktu hingga 2 jam setengah karena macet arah kota Bogornya. Sekarang saja Bogor macetnya hampir menyaingi ibu kota. Namun ya sudah lah, tidak jadi musholla masalah.
Laptopnya masih awet bang? Sepertinya laptop toshiba keluaran terakhir. Dulu sempet punya juga, touchscreen 15 inch. Tapi sekarang sudah pensiun.
Ke curug lewat jalur satunya, saung keluarga sendisila. Jalannya lebih aman buat mobil. Sekalian camping sebelum jalan2 ke curug.
Hai Dwi, laptopnya masih saya pakai untuk membalas komentarmu kok hehe… Padahal waktu ke Curug Munding saya pernah tabrakan dengan kontener keguling-guling wahahah.
Betul, ada akses jalan beraspal khusus kendaraan bermotor dan ada plangnya pula. Namun bagi pejalan kaki lebih baik turun di Indomaret Cihideung itu. ^_^
Terima kasih.