Meski judulnya ada embel-embel Indonesianya, sebenarnya saya ingin memulai dari yang paling pusat dan yang paling semrawut dahulu, yaitu Jakarta. Kita tahu bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki penduduk terbanyak ke-4 di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Dengan penyebaran paling padat terpusat di ibukota Jakarta. Hal itu tentu berpengaruh kepada kualitas dan kuantitas pelayanan masyarakat salah satunya adalah pelayanan angkutan umum sebagai moda transportasi sehari-hari.
Di Jakarta terdapat 2 transportasi masal andalan berupa Transjakarta dan KRL (MRT dan LRT masih dalam tahap penmbangunan) dengan sisanya angkutan umum reguler yang dapat berhenti di sembarang tempat meski sebenarnya sudah ada haltenya masing-masing.
Dimulai dari angkutan umum bus sedang seperti Kopaja, Metro Mini, Koantas Bima, Dian Mitra, Deborah, Kopami, dan yang lainnya. Tidak adanya standarisasi di mana lajur untuk transportasi umum dan kendaraan pribadi, serta pengemudi yang sepertinya tidak melalui tahap seleksi terlebih dahulu (baca: asal-asalan, yang penting bisa narik), senang ngetime, tidak memiliki SOP (Standar Operasional Prosedur), bahkan seragamnya saja ogah pakai.
Hal ini benar-benar membuat masyarakat sangat-sangat tidak nyaman menggunakan transportasi umum tersebut. Padahal yang namanya ibukota harusnya menjadi percontohan bagi provinsi lainnya. Ditambah lagi tingginya angka kejahatan yang terjadi di angkutan umum menambah buruk citra transportasi umum di Jakarta.
Kemudian lahirlah transportasi masal pertama di Asia yang bernama Transjakarta yang mana memiliki masterplan 15 koridor atau rute yang cukup meninabobokan masyarakat Jakarta akan kehadirannya. Namun…
Saat ini sudah 12 koridor utama beroperasi untuk transportasi masal yang bernama Transjakarta. Rutenya pun tidak hanya di daerah yang gemuk-gemuk saja melainkan menyebar hingga semi pelosok ibu kota. Namun apa itu saja sudah cukup?
Banyaknya keluhan dari para customer alias penumpang dengan persentase yang cukup tinggi dari tahun ke tahun menunjukkan minimnya pelayanan yang diberikan oleh Transjakarta apalagi sekarang sudah menjadi PT.
Contohnya keluhan yang paling sering dilontarkan adalah kurangnya armada yang melayani perjalanan para customer ke tujuannya masing-masing sehingga tak jarang keterlambatan pun sering terjadi. Tetapi justru ada satu koridor yang justru overcapacity atau kelebihan armada hingga tidak muat masuk terminal.
Hal ini membuat saya bertanya-tanya, apakah Transjakarta tidak punya standar armada minimum tiap masing-masing koridor? Bukan pembagian armada yang tidak seimbang, di mana koridor lain kekurangan armada yang cukup parah sedangkan koridor satunya memiliki armada yang terlalu membludak hingga harus menunggu antrian sangat lama saat akan memasuki halte.
Bus-bus yang dioperasikan juga banyak yang tidak sesuai Standar Operasional Prosedur seperti seringnya kasus mogok, bus bobrok, interior kumuh, kursi patah, AC mati, hingga terbakar hingga tidak berbentuk yang justru itu semua terjadi saat bus-bus tersebut sedang berdinas.
Di mana Standar Operasional Prosedur dan Standar Pelayanan Minimum transportasi masal yang katanya primadona itu? Mimpi menjadi standar internasional, padahal standar lokal saja masih mendekati nol.
Transportasi masal selanjutnya yang dimiliki ibukota tercinta ini adalah kereta rel listrik atau kereta komuter yang sering disebut dengan Commuter Line. Yang ada dibayangan orang-orang, yang namanya kereta itu pasti jauh lebih cepat dibandingkan bus, dan KRL adalah kereta. Kesimpulannya KRL lebih cepat dari bus, termasuk Transjakarta karena KRL tidak memiliki hambatan sedikitpun.
Mungkin untuk daerah perbatasan iya, namun untuk daerah pusat? Saya pernah naik KRL di hari libur dari stasiun Sudirman hingga Manggarai yang mana jarak keduanya hanya berkisar sekitar 1 kilometer dan tidak ada stasiun di antara keduanya (ada, Mampang, tetapi nonaktif) saja harus ditempuh dalam waktu 1 jam! Saya tidak bercanda, 1 jam! Setiap 200 meter sekali berhenti, antrian katanya. Bahkan Transjakarta dari Dukuh Atas ke Manggarai saja sudah lebih dahulu sampai.
Contoh lain? Dari Juanda hingga ke Gondangdia saja mesti menunggu antrian hingga lebih dari setengah jam. Normal? Wajar? Alasannya klasik, antrian KAJJ (Kereta Api Jarak Jauh) di Gambir. Dan ini terjadi setiap hari. Yang seperti itu standar internasional?
Lalu apa yang dilakukan PT. KCJ (Kereta Commuter Jakarta) terkait hal itu? Mereka hanya rutin meminta maaf atas keterlambatan kereta tanpa adanya rasa bersalah dan memperbaiki pelayanan. Untung ini bukan di Jepang yang mana masyarakatnya kebanyakan sukses karena mereka keras terhadap waktu.
Bahkan PT. KCJ menyebutkan bahwa penumpang adalah salah satu penyebabnya karena lamanya proses naik dan turun. Sebentar, PT. KCJ menyalahkan penumpang? Sebuah perusahaan menyalahkan customer yang dari sana uang makannya berasal? Profesional? Bagaimana kerja ingin berkah jika tidak menghargai perantara rezeki sendiri? Waktu kuliah diajarkan etos kerja? Atau hanya lulusan SMA dan sederajat tanpa bimbingan pelayanan lebih lanjut?
Proses naik turun penumpang paling-paling hanya memakan waktu sekitar 1 menit. Jika keterlambatan hingga 30 menit, di mana 29 menit yang harus PT. KCJ pertanggungjawabkan? Memang ada formulir keterlambatan, saya tahu itu. Namun sosialisasi yang kurang sama sekali tidak membantu jika setiap hari tidak ada perubahan.
Padahal banyak penumpang yang memberikan saran agar KAJJ dipindahkan ke Stasiun Senen atau Jatinegara saja dan saran ini harus dimusyawarahkan lebih lanjut. Atau mungkin perlunya mengkaji ulang Grafik Perjalanan Kereta Api (Gapeka) sebagai salah satu solusi. Bukannya mengambil keputusan sepihak dengan membatalkan atau memangkas jadwal KRL.
Kita ingin transportasi murah, nyaman, dan cepat. Ingat, ketiga elemen itu wajib ada jika standar internasional, atau setidaknya standar nasional ingin dipenuhi. Bagaimanapun jika masyarakat ingin beralih ke transportasi umum untuk mengurangi kemacetan, maka biaya yang dikeluarkan untuk naik kendaraan umum haruslah lebih murah daripada kendaraan pribadi.
Sekarang kita beralih kepada profesionalitas para petugas.
Pernah belanja ke minimarket atau restoran? Apa yang pertama kali didapatkan? Yaitu senyuman dan ucapan salam manis dari para karyawan setempat. Betul, itu saja -sudah- membuat nyaman. Apakah hal itu juga didapat dari pelayanan transportasi umum? Misalnya, ketika kita masuk ke dalam halte transjakarta ada yang mengucapkan, “Selamat datang di Transjakarta” dengan senyuman manis dari petugas yang bersangkutan.
Kebanyakan mereka akan mengeluh, “Bayar murah saja minta yang macam-macam!”
Sebenarnya kita -wajib- membalas pernyataan mereka dengan, “Justru saya kasihan dengan kamu yang nilai jualnya masih sangat murah. Lulusan SMA jika diberhentikan ingin melamar lagi di mana? Padahal nilai jualmu masih kalah jauh dengan mereka-mereka yang berdinas di minimarket. Padahal lulusannya masih sederajat.”
Pernyataan saya bukan merendahkan lulusan SMA, karena saya juga lulusan Madrasah Aliyah, namun sekali-kali memang harus dengan teguran seperti itu agar mereka dapat mengetahui betapa pentingnya bekerja sesuai SOP dan SPM.
Saya sering menegur petugas yang masih tidak menjalankan SOP apalagi SPM, namun dengan bangganya mereka sebut itu pelayanan. Padahal apakah perusahaannya tidak mengajari bahwa uang makannya itu berasal dari penumpang, terus waktu ngapel ngapain aja?
Sebenarnya penumpang lebih berhak memberhentikan mereka daripada atasannya.
Sebenarnya penumpang lebih berhak menyalahkan mereka daripada atasannya.
Dan sebenarnya menggunakan ojek online jauh lebih mahal, namun mengapa transportasi tersebut jauh lebih diminati?
Masih terkait dengan poin di atas, mengingat sebagian besar petugas lapangan hanya lulusan SMA yang nyata-nyata tidak mendapat mata pelajaran etos kerja, customer behavior, dan manajemen resiko, serta hanya dibimbing sekenanya saja, membuat mereka tidak siap dengan berbagai perilaku bos dari bosnya sendiri (baca: penumpang) di lapangan.
Akibatnya, banyak petugas yang kaget melihat bermacam-macam tabiat penumpang di lapangan. Banyak yang mengeluh ternyata betapa sulitnya pekerjaan mereka (padahal pekerjaan mana yang tidak sulit, pada dasarnya memang belum ada pengalaman) dan betapa tidak dihargainya pekerjaan mereka (padahal mereka sudah digaji, ingin dihargai apa lagi? Dan mereka sendiri apa sudah menghargai perusahaannya?)
Perilaku semena-mena pun kerap dilakukan petugas kepada penumpang, bahkan berapa banyak penumpang yang menjadi pelampiasan masalah mereka dengan perusahaannya. Itu terjadi karena perusahaan tidak memiliki standar khusus dalam mengelola SDM.
Tegur saja langsung, tidak apa-apa, penumpang memiliki kedudukan tertinggi di suatu perusahaan transportasi. Bilang saja,
Customer kamu masih bernama penumpang yang membayar kamu murah, sehingga resikonya masih sangat kecil. Bagaimana jika customer kamu sudah sekelas nasabah, klien, atau bahkan investor yang jauh lebih tinggi resikonya? Katanya ingin pendapatan lebih dan kenaikan jabatan, hal kecil saja sudah tidak mampu.
Ketika perusahaan termasuk seluruh anggotanya sudah berani menyalahkan customernya, maka perusahaan tersebut tidak memiliki standar sama sekali.
Tips dari saya untuk para petugas, jangan mengharapkan customer itu beretika, kamu yang justru harus beretika agar customer beretika. Belajarlah arti dari pelayanan sebelum bekerja di bidang pelayanan.
Customer memiliki hak untuk melapor dan memperbaiki perusahaan. Mengapa setiap perusahaan membutuhkan testimoni dan kepuasan para customernya? Karena mereka paham akan saingan, sedangkan sebagian besar karyawannya tidak.
Sekarang teknologi sudah semakin canggih, ketika pengaduan sudah tidak dapat dilakukan lewat telepon karena pulsa yang tidak cukup. Masih ada jejaring sosial (dalam hal ini, Twitter) yang dijadikan wadah untuk kritik saran yang lebih baik.
Jangan ragu melapor, karena jika hanya menggerutu maka pihak perusahaan tidak akan melakukan perubahan. Dengan sekali melapor dan mengkritik, itu sudah dianggap berkontribusi untuk negara yang lebih baik.
Jangan takut dianggap hater atau tukang ngadu hanya karena memberikan kritik dan saran, itu hanyalah paradigma menyesatkan negara berkembang yang menahan negaranya untuk maju. Bagaimana bisa berubah lebih baik tanpa adanya kritik? Tidak perlu menyertakan solusi jika tidak terpikirkan, pastinya di dalam perusahaan haruslah ada lulusan manajemen yang bertanggung jawab akan solusinya.
Negara kita sampai kapanpun tidak akan bisa maju jika masih dikuasai oleh paradigma-paradigma negatif. Mengapa tidak ingin naik transportasi umum? Gengsi. Sebuah jawaban yang tidak masuk di akal. Mereka rela terlambat asal naik kendaraan pribadi daripada tiba sebelum waktunya karena naik kendaraan umum.
Bagi yang lahir tahun 80-90an, pastinya tidak asing dengan serial kartun Doraemon dan Crayon Shinchan, terutaman Shinchan yang nyata-nyata ayahnya memiliki kendaraan pribadi berupa mobil. Coba perhatikan, apakah ada di antara ayah-ayah mereka yang menggunakan kendaraan pribadi ke kantor? Mereka semua naik kendaraan umum berupa kereta. Kita seperti tidak pernah belajar dari hal kecil seperti itu, padahal sudah tertinggal jauh dengan negara-negara tetangga.
Di saat negara maju mulai berpikir bahwa menggunakan kendaraan bermotor ke tempat kerja adalah kampungan, negara berkembang justru mulai berpikir bahwa menggunakan kendaraan bermotor menjadi suatu gengsi yang agung untuk pergi ke tempat kerja.
Beda negara, beda IQ…