Plang Asmaul Husna

Seringkali saat saya mengunjungi suatu daerah, kira-kira hampir sepuluh daerah (kota/kabupaten) yang saya kunjungi, hampir saya temukan kesamaan.

Kesamaan tersebut yakni berupa pemandangan hiasan religi entah berupa gapura selamat datang bertuliskan dua kalimat syahadat atau potongan ayat alQuran, atau hiasan jalan berupa plang asmaul husna.

Pemandangan seperti itu membuat saya begitu gatal ingin mengeluarkan sebuah opini mengenai plang-plang asmaul husna atau hiasan-hiasan religi yang dibangun resmi oleh pemerintah daerah setempat.

Saya akan membuat postingan ini singkat dan manis.

Sebelumnya apakah saya menilai hiasan religi tersebut buruk? Tentu tidak sama sekali, terkhusus saya yang muslim.

Bahkan, plang asmaul husna dapat membangkitkan kembali hafalan saya tentang nama-nama Allah Ta’ala tersebut yang mungkin ada satu atau beberapa yang saya telah lupa. “Memperkuat ingatan”, kira-kira begitu intinya.

Tetapi, saya justru memikirkan hal lain, yakni lebih condong ke dampak yang mungkin jarang dipikirkan oleh banyak orang.


Pertama, saya ingin membahas masalah maksud dan tujuan pemerintah setempat membangun plang-plang hiasan tersebut. Jika diniatkan untuk membuat suasana menjadi lebih ‘sejuk’ karena mendapatkan pemandangan rohani dari plang religi tersebut, bisa jadi itu adalah niat yang baik.

Namun kenyataannya, seberapa efektif plang tersebut yang dipasang sebanyak 99 buah sepanjang jalan dapat ‘menundukkan’ hati para pengendara?

Dear, look, banyak sekali pengendara yang menyalip seenaknya, berkendara semaunya dan tidak taat aturan dari ulil-amri, arogan di jalanan, dan melakukan kegiatan tidak menyenangkan lainnya sepanjang jalan tepat di bawah naungan plang-plang asmaul husna itu.

Artinya, plang asmaul husna sebagian besar hanya berfungsi sebagai hiasan jalan saja, tidak lebih. Hanya sedikit sekali dari para pengendara yang benar-benar peduli dengan hiasan tersebut.

Saya justru lebih memilih jika plang-plang religi di pinggir jalan digantikan dengan covered walkway atau pos-pos tempat berteduh saat hujan untuk para pejalan kaki dan para pengendara sepeda motor. Saya yakin itu pasti akan sedikit lebih bermanfaat.

Terserah jika di pos-pos tempat berteduh itu ingin dipasang hiasan religi sebanyak mungkin untuk dibaca dan diresapi.


Kedua, saya agak merasa lucu jika di sepanjang jalan yang terdapat plang tersebut justru tidak memiliki kualitas jalan yang baik. Seperti misalnya jalanan berlubang dan lampu jalan yang tidak kunjung diperbaiki.

Saya hanya khawatir jika hiasan jalan yang diambil dari nama-nama Allah yang Maha Mulia ini justru hanya digunakan tidak lebih dari sekedar menaikkan citra pemerintah setempat.

Semoga tidak ada yang beranggapan bahwa jika pemerintah suatu daerah memasang hiasan religi di sepanjang jalan, artinya pemerintah tersebut soleh dan taat syariah.

Saya pernah berbincang dengan seorang warga di Jawa Barat bagian selatan mengenai hal ini. Saya berkata, “Jika pemerintah kalian mengerti syariat, seharusnya ia melakukan banyak pembetonan jalan, menerangi jalan-jalan yang masih gelap, transparan, dan menyediakan layanan keluhan rakyatnya. Bukan dengan memperbanyak hiasan religi.”

Sekarang berapa banyak jalanan gelap yang akan menjadi terang, atau berapa banyak kilometer jalanan yang akan memiliki aspal mulus jika anggaran hiasan religi tersebut dialihkan untuk perbaikan-perbaikan itu?

Padahal salah satu sahabat Rasulullah saw., Umar Bin Khaththab r.a yang tentu saja beliau termasuk dari kalangan sahabat Nabi yang diutamakan, sewaktu menjadi khalifah beliau pernah berkata,

β€œBila seekor keledai terperosok di kota Baghdad niscaya Umar akan diminta pertanggungjawaban, seraya ditanyakan: β€˜Mengapa tidak meratakan jalan untuknya?’”

Boys, 99 plang religi dengan hiasan ciamik saya yakin tidak dipasang dengan anggaran yang sedikit.


Terakhir, Indonesia adalah negara yang dengan bangganya mengusung semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menjunjung keharmonisan antar ras, suku, dan agama.

Baiklah, sebelumnya saya mengerti bahwa penduduk daerah yang memiliki plang asmaul husna itu mayoritas adalah muslim. Namun bagaimana pun, para non-muslim sekalipun mereka adalah minoritas, mereka juga ingin diakui eksistensinya.

Saya hanya khawatir akan muncul rasa insecurity antar pemeluk agama di daerah tersebut.

Sekalipun memang kesenjangan antar pemeluk agama tidak terjadi hanya karena plang-plang religi di jalanan, masih tetap ada dampak lain yang akan terjadi.

Bagaimana pandangan non-muslim tentang pemimpin yang memasang hiasan religi dimana-mana namun tidak lama pemimpin tersebut tersandung kasus korupsi, misalnya.

Atau bagaimana pandangan non-muslim tentang pemimpin yang memasang hiasan religi dimana-mana namun ia tidak melayani rakyatnya dengan baik, sangat jarang mendengarkan keluhan rakyatnya, seakan Islam tidak mengajarkan itu semua.

Bukankah kontradiksi tersebut akan memfitnah agama karena seakan-akan agama tidak memiliki pedoman bagaimana cara pemimpin dalam melayani rakyatnya?

Pastinya kita yang muslim juga ingin nama-nama Allah yang Maha Terpuji tersebut tidak hanya akan berakhir sebatas menjadi hiasan jalan saja bukan?


Dear, listen, saya tidak kontra dan tidak anti dengan hiasan religi berupa gapura selamat datang yang bertuliskan dua kalimat syahadat atau plang-plang asmaul husna yang bertebaran di sepanjang jalan.

Hanya saja perlu diketahui bahwa hiasan tersebut sifatnya tersier. Artinya masih ada kebutuhan primer dan sekunder yang wajib dipenuhi terlebih dahulu.

Mengapa perlu ada hiasan yang bertema religi dengan anggaran yang tidak sedikit sedangkan jalanan dalam radius 10 kilometer di sekelilingnya masih banyak yang hanya berupa tanah merah dan minim penerangan?

Mungkin sebaiknya memang hiasan religi tersebut tidak dibangun dari anggaran penting yang seharusnya ditujukan untuk kemakmuran daerah. Bahkan dana CSR pun seharusnya diputar ke arah yang lebih mendesak seperti menambah fasilitas sekolah dan rumah sakit.

Inilah pentingnya menjadi rakyat yang kritis di mana mereka tidak beranggapan bahwa pemerintah yang memasang hiasan religi adalah pemerintah yang taat beragama.

Sebab tentu saja, rakyat yang kritis dan peka akan melahirkan pemimpin yang juga peka kepada siapa yang dipimpinnya. πŸ€—


—<(Wallahu A’lam Bishshawaab)>—

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
πŸ€— Selesai! πŸ€—
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    5 Bukti Allah Maha Baik yang Mungkin Tidak Kita Sadari

    Berikutnya
    5 Sebab Muslim Enggan Ke Masjid


  • 2 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    1. Selama sekolah – saat ini, saya sering dijuluki kritis oleh guru dan teman-teman. Setelah membaca artikel ini, saya sadar kalau saya tidak berpikir kritis. Bahkan pikiran “pemerintah yang memasang hiasan religi adalah pemerintah yang taat beragama” pernah mampir di otak saya. Saya sadar kalau wawasan saya masih minim. Terimakasih atas pencerahannya.. Sukses dan berkah selalu untuk situsnya ya..

      • Dear Dea, sebelumnya terima kasih banyak atas kunjungan dan komentarnya. Saya senang. 😊
        Jangan khawatir, jika kamu marasa bahwa dirimu masih belum kritis, artinya kamu sudah lebih kritis daripada kamu yang kemarin. Agak jarang menemukan orang yang mau mengakui kekurangan dirinya dan ingin terus belajar. Jadi saya ucapkan selamat dan pertahankan sikap seperti ini. πŸ‘
        Negeri ini memerlukan lebih banyak orang-orang yang kritis dan terbuka.

        Saya dulu bahkan lebih parah. Keras kepala, tidak ingin menerima masukan apa pun, dan merasa diri paling bijak. Alhamdulillah sekarang saya sudah mulai terbuka dengan sekitar.

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. πŸ˜‰

    Kembali
    Ke Atas