Berawal dari mengajak bukber teman lama, yang pada akhirnya berujung kemari. Well, that escalated real quick. Dia yang ingin jalan-jalan, sekalian ngabuburit alasannya. Ya sudah, saya buka katalog air terjun saya lalu menemukan Curug Aul-Undak Dua… dan ini. Yang entah galau atau bagaimana, saya akhirnya memilih yang ini.
Mungkin sekalian nostaledan (nostalgila melulu bosen) dengan momen ke Curug Ciherang dua tahun lalu, menjadi sebab mengapa saya memilih tempat ini. Saya harap jalanan rusak di Kampung Ciherang sudah diperbaiki mengingat tidak adanya angkutan umum ke daerah potensial ini.
Padahal kemarin saya sudah ajukan saran mengenai penambahan rute ke tempat ini ke Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor via email yang saya dapat dari website resminya, tapi kayaknya cuma diread doang… hix.
Pukul 10.30 lebih kami berangkat dari Jakarta. Sepanjang jalan menuju air terjun, teman saya pun merasa pernah berkendara bersama saya ke tempat ini. Saya katakan memang. Dia bertanya lagi apakah ini air terjun yang sama seperti yang waktu itu, saya jawab bukan, tapi akan terlewati.
AH! Jalanan di daerah Cibinong dan Citeureup benar-benar mimpi buruk! Macetnya…! Beruntung setelah belok kanan menuju desa Sukamakmur atau Cibadak, pemandangannya benar-benar memijat mata saya dengan lembut tanpa harus capek-capek ke panti pijat. Perbukitan ada di sana-sini, termasuk gunung mungil bernama Gunung Batu Jonggol yang mirip rumahnya si Simba serial Disney Lion King.
Jalanannya masih tetap rusak betewe, terlihat tambalan aspal dimana-mana. Tanjakannya pun lumayan curam. Saya tidak tahu apakah mobil kuat menanjak di sini.
Eh, itu Curug Ciherang! Tapi saya tidak ingin ke sana, ‘kan sudah pernah. Ini saatnya menengok abangnya yang cuma 700 meter, Curug Cipamingkis yang katanya ada rumah pohonnya itu. Jadilah kami sampai dan…
TIKETNYA Rp68RB! Allah Kariim!
Perorangnya 33k, ditambah sepeda motor 2k, dan ditambah lagi dengan tetesan air mata saya yang merelakan lembaran-lembaran kucel nan berharga dari dompet saya yang berpindah tangan.
Tapi katanya “All In”, berikut kolam renangnya. Jadi pakai fasilitas sana sudah tidak bayar lagi karena semua sudah termasuk harga tiketnya, bagus lah. Namun saya jadi teringat kembali Curug Luhur yang memang tarif masuknya benar-benar bikin bulu kuduk kabur.
Oh, bahkan saya lihat waktu di jalan tadi bahwa Curug Ciherang juga sekarang ada kolam renangnya. Saya jadi merinding membayangkan tarif masuknya yang saya yakin pasti juga ikut naik.
Setidaknya petugasnya ramah. Sebuah nilai plus yang memang harus. Kan gak lucu capek-capek harga fantastis tapi petugasnya jutek, alamat cari air terjun lain bahahahah.
Di dalam ada villa-villa-an, saya tidak tahu yang itu bisa dipakai untuk menginap atau tidak. Kemudian ada kolam renang khusus anak dan… dewasa? Cetek semua soalnya. Lalu jembatan alay dengan hiasan hati, taman-taman bunga dan gazebo, serta penyewaan kuda.
Kata petugasnya ada beberapa fasilitas yang tidak termasuk ke dalam “all in” alias harus bayar lagi. Lhaa, “All” itu kan artinya semua. Tapi, tapi… “bayar lagi” hanya berlaku untuk Weekend saja, kemudian petugas tersenyum pamit untuk kembali bertugas.
Saya bertanya kepada teman saya, bahwa sekarang hari Sabtu, berarti sekarang Weekend ya? Tapi saya bombandir fasilitasnya kayaknya nggak ditagih ulang. Mungkin karena bulan puasa pengunjungnya sepi.
Eh, ada pohon bagus. Kameraku, lakukan tugasmu. Cekrek!
Saya benar-benar tidak tahu jika memang area pikniknya sudah dipercantik. Banyak gazebo dan taman-taman dimari, sampai kami lupa bahwa ini tuh wisata air terjun, bukan J*ngleland apalagi W*terboom.
Setelah keliling-keliling berapa lama, saya dan teman saya memandang satu sama lain, mengingatkan bahwa kami sekarang ada di areal wisata “air terjun”.
Jadi kami sekarang benar-benar berburu air terjun yang entah di mana rimbanya. Curug Cipamingkis, di mana dirimu bertengger? Tidak ketemu, hanya sungai dan hutan-hutan.
OOPS, hampir miss… Ada plangnya ternyata menuju si air terjun. Ke kanan, katanya. Baiklah kami ke kan… WHAT?! Sekarang kami benar-benar disuguhi tangga-tangga alami dan menanjak menuju curugnya. Aduh, lagi puasa begini justru disuruh menanjak. Semoga tidak haus… semoga tidak haus…
Eh, tapi memang benar-benar tidak haus, capek, dan lapar. Mungkin karena kami mendaki pelan-pelan dan udaranya benar-benar sejuk, jadi… alhamdulillah. Tangganya pun tidak jauh, hanya beberapa belas anak tangga saja, atau mungkin kurang dari tiga puluh seingat saya (bandingkan dengan halte busway yang sampai 50 anak tangga bheheheh… *tapi itukan pendek-pendek).
Saya berhenti sebentar di pelataran alay yang bertuliskan I LUV U besar yang saya tidak mengerti maksudnya apa. Mungkin untuk peredam lelah saya yakin. Ngapain saya di sana? Gak jelas, gak tau ngapain. Saya dan teman saya akhirnya melanjutkan lagi ke air terjun yang ternyata sudah di depan mata.
Kabar baiknya, pengelola sudah menyediakan jembatan cantik (gak cantik-cantik amat sebenarnya) untuk menyebrang sungai.
Asikkk gak ada manusia selain kami berdua. Jadi bisa langsung nyemplung!
Kami duduk di antara bebatuan. Melepas sepatu dan merasakan dinginnya air. Ya Allah, inilah saat-saat travelling terbaik di saat bulan puasa. Saya benar-benar tidak merasa sedang puasa karena memang tidak lapar dan haus sama sekali.
“Nanda, kena embun dan percikan air terjun batal nggak?” Teman saya bertanya.
Enggak, selama enggak dihirup dan diminum dengan sengaja. InsyaAllah. Ya kali saya sampai bawa-bawa gelas tetangga cuma buat mengumpulkan embun dan diteguk habis-habisan pas puasa. Ya sudah, kami berdua benar-benar menikmati tontonan percikan-percikan air yang pada bunuh diri dari tebing.
Pukul 14.2-sekian, saya menawarkan teman saya untuk beristirahat di gazebo taman. Teman saya menyetujui dan kami turun tangga lagi. Namun setelah turun tangga kami menemukan sebuah plang ‘racun’ yang memaksa kami untuk naik lagi ke tempat lainnya dengan jumlah anak tangga yang sepertinya tidak jauh berbeda.
Rumah Pohon Mukidi. Begitu tulisan plangnya. Eh, sebentar… Kenapa bisa ada embel-embel Mukidi di situ???
Sampailah kami di rumah pohon yang ternyata juga sepi maksimal. Asikk! Dunia jadi hanya milik berdua, yang lain ngekos hahah. Kami berhamburan menuju jembatan ke rumah pohon dan… tiba-tiba teman saya menarik saya dari jembatan.
“Awas Nda!”
Hah? Ada apa? Ada apa?
Hii… jembatannya ternyata dipenuhi sarang laba-laba. Sepertinya memang sudah benar-benar jarang yang datang ke sini. Saya tidak tahu. Akhirnya dibereskanlah semuanya dengan kayu-kayu yang ada hingga kami bisa ke rumah pohon yang bertuliskan “maksimal 5 orang”.
Saya lihat alas beton di rumah pohonnya sudah retak-retak. Gak berani saya. Akhirnya semuanya berfoto di jembatannya saja, tidak di pohonnya.
Puas, kami langsung ke gazebo. Saya mengeluarkan laptop saya melanjutkan kerja ngoding. Sedangkan teman saya sedang berjalan menuju mimpi indahnya. Suara dengkurannya cukup menyeramkan, untung sepi bhahahah. Tapi serius, inilah sebaik-baiknya tempat kerja. Berapa biaya pindahan kantor kemari?
Keasyikan kerja, saya sampai kaget ketika melihat jam sudah pukul 4. Saya mendengar banyak knalpot berisik memecah konsentrasi saya dan saya menutup laptop saya. Rombongan anak-anak… SMP mungkin ya? Mengendarai kendaraan bising ke areal gazebo kami yang ternyata mereka semua ingin berenang.
Tapi teman saya benar-benar hebat, suara knalpot yang mirip suara sangkakala abal-abal itu tidak mengganggunya sedikit pun. Harus saya pukul dengan kayu godamkah agar bisa bangun?
Oke, skip cerita, dia sudah bangun. Jangan tanya saya bagaimana saya membangunkannya. Kami shalat ashar di mushalla tempat wisata yang airnya benar-benar sejuk dan mushallanya bagus. InsyaAllah tidak ada nikmat yang saya dustakan ya Kariim…
Selepas shalat, saya ingat bahwa tempat ini dekat dengan jalan raya Puncak. Jadi saya tawarkan teman saya untuk melipir ke masjid At-Taawun untuk berburu takjil. Dia menyanggupi.
Bye… Curug Cipamingkis.
DUH, ADUH! ADUH! Jalanannya ternyata rusak parah! Bahkan tambah hancur persis setelah memasuki plang “Selamat Datang di Kabupaten Cianjur”. Benar-benar aib daerah yang terpampang jelas, padahal pemandangannya biyutippul sumpah lho! Saya menyiapkan diri saya jika nanti teman saya menagih biaya servis kendaraannya kepada saya, hehe…
Eh, saya lihat bus-bus sudah banyak yang lewat Puncak? Asikk, selanjutnya ke Puncak bisa kembali pakai kendaraan umum setelah sebelumnya dilarang karena katanya bus-bus tersebut jadi biang jalan longsor. What?!