Saya lupa kapan saya ke sini. Hehe… Yang pasti sekitar hari Sabtu, atau Minggu. Oh, kamera saya mencatat bahwa foto-foto Curug Panjang saya diambil tanggal 8 September 2018. Ternyata sebulan lebih baru saya kemudian tuliskan artikelnya. Mungkin kemarin-kemarin saya sudah terlalu lelah…
Teman saya, tiba-tiba mengajak saya jalan-jalan dengan sepeda motornya, yang kali ini dia menggunakan moge milik kakaknya, wew. Perjalanan dilakukan menjelang siang sayangnya, padahal biasanya pagi. Tapi tidak masalah, karena memang beberapa kali saya suka jalan-jalan siang.
Serius deh, tadinya saya mau berkunjung ke Curug Cibeureum yang tetanggaan sama Kebun Raya Cibodas itu… Namun ternyata teman saya khawatir terlalu sore jika sampai. Saya ngedumel, “Lagian siapa suruh bangunnya telat!”
Seperti biasa, saya mengandalkan pusaka warisan mbah untuk travelling ke tempat yang saya bahkan belum tahu. Benar, produk Maps dari mbah Gugel, siapa lagi? Jadilah kami menelusuri sepanjang Jalan Raya Bogor untuk sampai ke Puncak. Karena memakai rute khusus sepeda motor, kami diarahkan ke Jalan Pasir Angin, kemudian ke tempat yang berada di belakang jalan raya Puncak. Saya tidak tahu jalan apa itu.
Kira-kira itulah jalan yang kami lalui pada saat itu. Saya screenshot dari PC yang tidak ada rute khusus sepeda motor, namun saya atur kembali rutenya menjadi rute yang persis kami kendarai dengan sepeda motor.
Stop! Stop! Bagaimana dengan rute angkotnya? Artikel ini kan di-tag “wisata dengan angkot“. Berarti apa ada angkot ke sana?
Untuk langsung ke curugnya… saya hanya tersenyum sedikit kecut sambil menggeleng manis. Maaf ya, untuk ke sini tidak ada angkotnya. 🙁
Oh, tapi jangan khawatir. Angkoters sejati seperti saya knows kebutuhan para pecinta umum dalam rangka turut menyejahterakan sektor pariwisata negeri ini. Jika naik bus dan bus boleh lewat puncak, maka lebih baik yang itu. Jika tidak, boleh naik Elf ke puncak dari Baranangsiang atau Ciawi jurusan Cianjur, atau angkot biru ke Megamendung dari Ciawi.
Terus kalo naik angkot turunnya di mana? 🙁
Bilang saja, Masjid Nurul Huda Mega Mendung, kira-kira viewnya seperti gambar di atas. Tepat di sampingnya, banyak ojeg yang menanti rezeki datang kepada mereka. Katakan saja ingin ke Curug Panjang, namun ongkosnya saya tidak tahu. Mungkin bilang saja bolak-balik Rp50.000 semoga tukang ojegnya mau.
Kami sempat tersasar melewati jalanan yang bahkan kami tidak tahu apa yang kami bahkan tidak tahu. Saya ragu jika mengikuti si mbah mengingat rute khusus motor menawarkan jalan yang aneh-aneh. Akhirnya kami tetap ikuti jalan lurus walaupun simbah menyuruh belok.
Di mana ini? Sebuah jalan kecil aneh ke perumahan penduduk terpencil yang sinyal bahkan hampir lenyap. Mbah Gugel berkali-kali nyuruh balik lagi! Dan sekarang saya akhirnya menyerah. Untung ada mushalla kecil sehingga kami dapat shalat zhuhur dulu. Setelah itu saya menyuruh teman saya untuk putar balik di tengah pekarangan kecil rumah warga yang dihiasi dengan jemuran-jemuran. Hehe… Mana dia pakai moge…
Ketika kami menurut akhirnya sampai juga. Eh, betewe ada dua jalan. Di sana petunjuk mana arah Curug Naga dan Curug Panjang. Saya sudah tahu bagaimana gambar Curug Panjang di situs-situs travel, apa salahnya ke Curug Naga?
Tidak jauh memang dari pertigaan kami sudah sampai dan parkir. Namun… Zonk…! Curugnya tidak dapat ditempuh kecuali dengan menyewa guide dan rafting. Please No! Ya sudah kami tidak jadi namun masih tetap harus bayar uang parkir goceng… 🙁
Melanjutkan perjalanan ke curug satunya, Curug Panjang. Yang setelah sampai dari pertigaan kami belok kanan. Tapi…
Eh, sepeda motor teman saya miring, miring… dan semakin miring. Tanda-tanda saya harus menyelamatkan diri sendiri. Suara “Gabruk!” baru terdengar setelah saya dengan sempurnanya melakukan loncat indah dari jok. Benar, sepeda motor teman saya terjatuh. Teman saya juga ikut melompat ternyata.
Kami akhirnya membangunkan kembali kendaraan “berat” tersebut dan melanjutkan perjalanan kembali.
“Apa tadi licin?” Saya tanya.
“Enggak, saya baru tahu agar tidak boleh mengganti kopling ketika menggas dan belok.”
Nais inpoh meit. Saya hanya bisa pakai yang matik, itu pun tidak saya sentuh selama hampir 8 tahun. Semoga saya masih bisa mengendarainya. Hahah. Semenjak kenal Transjakarta jadi lupa sama kendaraan pribadi.
Sampai ke gerbang Curug Panjang (maaf ya minim foto… hehe), saya langsung memburu sang petugas parkir. “Apakah harus rafting? Apakah medannya sulit? Apakah air terjunnya…”
“Amm… tidak perlu pakai rafting, dekat kok cuma satu belokan…”
Saya tidak tahu standar satu belokan itu berapa meter. Ya sudah, teman saya belum makan, saya juga, di parkiran ada warung jadi kami maksi dulu di sana. Jam berapa ini? Jam dua lebih, hampir setengah tiga. Setelah kami bayar Rp25.000,- (atau 27 saya lupa) dengan rincian 10rb per orang sisanya parkir, kami langsung menuju si curug.
Di tengah jalan ada tebing kecil dan ada aliran air mungil. Saya menyebutnya curug mini.
Itu teman saya btw…
Air terjun atau curugnya memang benar-benar tidak jauh dari sana. Bahkan sungai bagian atasnya harus disebrangi dahulu lewat jembatan bagus. Baguslah. Oh, kira-kira jarak dari parkir ke jembatan curugnya mungkin sekitar 200 hingga 300 meter. Jadi memang benar-benar ‘hanya 1 belokan’.
Kemudian setelah itu ada petunjuk arah yang lumayan lengkap. Tapi… saya menemukan sesuatu yang aneh dengan petunjuk jalan itu…
Oh! Kenapa arah panahnya semuanya sama?! Bhahahahah…
Ya sudah, kami turun dan menyebrang sedikit sungainya untuk melihat curug. Turunnya pun tidak menggunakan banyak tangga, memiliki gazebo, dan dapat berendam di areal curug dengan syarat menyewa pelampung yang dijual seharga… entah Rp5k atau 10k, saya lupa hehe…
Keadaan waktu itu juga ramai, jadi saya dan teman saya buka sepatu untuk menyebrang sungainya dan mencari tempat yang agak terisolir. Hah? Mau ngapain? Mau ngobrol lah. Memangnya mau apa lagi? Bhehehehehe…
Dan pastinya, foto-foto… Agak capek memang menunggu sedikit lebih sepi dahulu sebelum saya bisa memijit tombol shutter kamera.
Setelah itu ngapain? Sudah pukul setengah lima. Saya dan teman saya shalat ashar di mushalla yang cukup kotor halamannya (banyak tanah, tidak tahu kaki siapa) dan tempat wudlu yang bau pesing. Siapa orang iseng yang pipis sembarangan?!
Setelah selesai semua, ya sudah, pulang. Melihat air jatuhnya sudah kan? Namun tetap, aroma pepohonan pinus dan segarnya wisata alam itu lah yang akan selalu dirindukan orang yang sehari-harinya menatap layar, berdesak-desakan, dan bergelut dengan polusi. Sebelum meninggalkan jembatan yang tadi kami lewati, saya melihat aliran-aliran sungai yang bakal jadi curugnya…
Alhamdulillah. Semoga bahan bakar saya terisi penuh setelah ini untuk bertarung kembali dengan pekerjaan dan customer-customer saya di hari-hari berikutnya. 🙂
Dan ini adalah foto curug dari jembatan sisi satunya, tampak atas.
Pemandangan selama pulang sebelum tiba ke parkiran juga bagus-bagus.
Pulangnya kami lewat jalur puncak, kembali ke rumah seperti jalan siang.
Negara ini diberi keindahan alam yang bagus. Sayang pengelolaannya begitu kurang, baik dari pemerintah, organisasi, dan masyarakat itu sendiri. Banyak tempat-tempat wisata yang begitu potensial, namun tidak ada ‘marketing’ sama sekali.
Terkadang beberapa dari kita yang berkunjung, masih belum memahami etika dan membuat rusak pemandangan yang ciamik tersebut. Entah coretan, sampah, atau kegiatan-kegiatan yang menyalahi aturan lainnya.
Akhirnya, untuk tujuan travelling, saya hanya mengandalkan dari Google Maps, dan blog-blog travel lainnya yang bersifat pengalaman.
Sudah, selamat malam, saya mau kembali bobok. Seindah-indahnya tempat nan jauh di mata, tetap saja lebih indah bantal yang empuk di depan mata.
Zzzzzzzzzz…