Curug Cilember, air terjun yang cukup dielu-elukan oleh penggemar travelling lokal sebagai santapan manis menu travelling ketika weekend. Lokasinya yang sangat terjangkau, maksud saya, masih di lokasi Cisarua, Bogor menjadikan sebuah pilihan pas warga ibukota yang ingin menghilangkan penat.
Dinamakan Curug 7, karena memang air terjun (curug)nya berjumlah 7. Menurut informasi dari internet, jarak antar curug tidak begitu jauh, sehingga dapat memberikan kesan sendiri-sendiri. Baiklah, seperti biasa saya cek ramalan cuaca dulu pada malam harinya sebelum berangkat, dan kebetulan hari esok memang sedang cerah-cerahnya.
Meluncurrrrr!
Pagi itu tepatnya pukul 06.45 saya berangkat menggunakan ojeg online ke Pasar Rebo untuk menaiki bus P.O Marita yang biasanya sedang ngetem cantik persis di sebelah halte busway Flyover Raya Bogor. Seperti biasa bus ngetem entah menunggu para penumpang tercinta atau menunggu bus selanjutnya muncul. Yang pasti saya di dalam bus tidak menunggu terlalu lama, yakni hanya sekitar 15 menit. Tarifnya hanya Rp25.000.
Mungkin karena saya perginya pas hari kerja, segala sesuatunya berjalan dengan lancar, tanpa macet sedikitpun. Di sepanjang tol, Gunung Salak terlihat dengan jelas karena sedang cerah-cerahnya. Ditambah lagi, waktu perjalanan dapat dikatakan sangat singkat meskipun bus kembali ngetem di Pasar Ciawi.
Turun di pertigaan HanKam (bilang sama kernetnya turun di HanKam), sekitar pukul 08.30. Jalan Hankamnya tidak terlalu besar, tepat diseberang Rumah Makan Padang dan sebelah Alfamart. Saya pada saat itu langsung disambut bak artis oleh… tukang ojeg pangkalan. Namun saya hanya menolak dan just passing by.
Saya tahu, saya harus berjalan sekitar lebih dari 3Km untuk mencapai gerbang masuknya, dan itu sudah saya persiapkan. Awalnya saya ragu-ragu apakah jalan Hankam ini yang dapat mengantarkan saya ke Curug Cilember, namun saya cukup yakin dan meneruskan perjalanan.
Cukup lurus ikuti jalan besar dan sepanjang jalan dan pemandangan-pemandangan eksotis ala Indonesia siap menyapa. Bahkan saya melihat gunung-gunung yang saya tidak tahu apa namanya itu mungkin karena cerahnya. Setelah melewati sebuah jembatan sungai besar yang asri, mulai bermunculan petunjuk arah menuju Cilember, diapit oleh vila-vila komersil.
Ak! Saya tidak memakai kaus kaki. Ketika sudah mencapai pertigaan yang cukup menanjak di kilometer terakhir, kaki saya besot tergesek bahan sepatu yang kasar. Akhirnya saya robek secarik kertas (ehm, revisi tugas akhir saya) dari dalam tas kemudian saya pakai untuk membalut kaki.
Di 400 meter terakhir ternyata ada orang baik yang mau mengantar saya sampai pintu masuk curug. “Sama saya aja kang…” sapaan lembutnya khas orang desa. Ah, terharu saya. Tau aja kaki lagi besot begini. Alhamdulillah.
Tiketnya hanya sekitar 20.000 termasuk asuransi. Diberikan kartu untuk tap in di mesin turnstilenya, persis seperti naik KRL atau busway. Selanjutnya hanya tinggal masuk dan ikuti jalan saja. Kios-kios pun bertebaran di sepanjang jalan masuk.
Tidak jauh setelah pintu masuk, papan arah yang bertuliskan lokasi Curug 7 dengan sebuah tanda panah pun menyita perhatian. Saya cukup ikuti papan arah tersebut melewati jalan manis yang pemandangannya sudah diselimuti dengan pohon-pohon pinus.
Oh, kelupaan. Seperti biasa, di puncak banyak orang-orang Arab. Bahkan setelah masuk pun ada prasasti aneh ini:
Watde? Ada yang nikahan? Atau cuma lucu-lucan aja? sebenarnya di sebelahnya ada Taman Kupu-Kupu, hanya saya tidak tertarik.
Kalian tahu? Jarak dari pintu masuk ke Curugnya ternyata sangat dekat! Hanya 200 meter. Di kanan kiri disuguhi banyak fasilitas, yaitu mushalla, tempat duduk, tenda kemah, sampai tikar, bahkan ada Flying foxnya juga yang sepertinya sudah tinggal kenangan. Bagus-bagus.
Mungkin musim kemarau. Yap, sepertinya musim kemarau. Karena itulah saya berani katakan air terjunnya tidak berkesan. Ternyata jauh-jauh saya kemari hanya untuk melihat ini? Not worth my feet!
Setidaknya saya tahu mitos curug tersebut yang jelas dipaparkan di sebuah papan.
Saya hanya berfoto sebentar dan langsung melanjutkan untuk pulang. Berpapasan kanan kiri dengan orang-orang Arab dan wanita bercadar. Oh my! Hingga ada seorang perempuan yang berniqab hitam bertanya yang saya tidak mengerti karena memakai bahasa Arab versi originalnya, bukan bahasa Arab aksen kita.
Saya jawab, “I’m sorry, Walaakinni laa astathi’a an atakallama ‘arabiyyan illaa qaliilan.“
Perempuan tersebut sepertinya mengerti, namun mengapa dia tidak bersama mahramnya? Saya diam sejenak dan memanggil perempuan tersebut kembali.
“Syallaal? Hunaalik. (Air terjun? Di sana.)“
Perempuan tersebut sepertinya senang. Alhamdulillah, bisa komunikasi dikit-dikit dengan orang asing hehe…
Saya melihat kembali papan petunjuk ternyata masih ada curug lagi yang lainnya. Yang tadi hanyalah curug 6 dan 7. Bahkan debit air curug 6 sangat lah kecil sehingga saya tidak mau repot-repot menyebut itu bagian dari curug terpisah.
Ada peta petunjuk yang jelas terpapar bagaimana cara ke curug 5, 4, 3, bahkan hingga 2. Jarak ke Curug 5 dari curug 7 katanya hanya 500 meter. Yang benar, untung tidak gegabah langsung pulang.
500 meter itu jarak yang dekat… sebelum saya tahu bahwa kata dekat di sini diapit oleh tanda kutip.
Di sebelah peta besar tersebut ternyata ada petunjuk arah yang lumayan ngumpet yang memberikan sebuah tanda panah ke Curug 5. Oh, harus melewati jalan yang tidak layak disebut jalan ini? Baiklah jika hanya 500 meter.
Kau sebut ini akses, saya sebut ini pendakian. Melewati akar-akar pohon, tanah yang tidak terlalu bersahabat, dan lekukan-lekukan tajam. Ok, ini benar-benar seperti mendaki gunung. Bahkan karena terus menanjak, saya tidak tahu bagaimana jarak 500 meter yang dimaksud itu, saya hanya melihat jalan, dan jalan lagi, lengkap dengan tebing dan jurangnya.
Saya agak kelelahan. Lelah kaki saya, dan lelah melihat orang-orang Arab yang menghiasi jalan itu. Well, setidaknya masih jelas batu-batunya dan masih terorganisir jalannya.
Seorang Arab bertanya kepada saya apakah masih jauh ke air terjunnya.
Saya jawab, “Well, I think it just one hundred.“
Dia bertanya balik, “One hundred metre or kilo?“
Saya jawab kembali, “If it’s 100 kilometers I will just die.“
Orang arab tersebut tertawa. Namun saya sepertinya benar bahwa tinggal 100 meter lagi, badai pasti berlalu. Jalanan mulai mendatar dan deru air mulai terdengar. Yes! Curug 5 terlihat. 500 meter yang menanjak, bukan seperti 500 meter lagi.
Saya segera ambil foto curug 5 tersebut karena setelah itu langsung diserbu orang-orang Arab yang ingin mandi. Kemudian saya menemukan sebongkah kayu besar dan saya istirahat sejenak. Saya tarik nafas, mencoba menikmati alamnya Allah ini. Lalu saya menjepret apa yang saya lihat itu.
Kaki saya makin besot. Saya putuskan untuk pulang. Papan petunjuk keluar sudah jelas terlihat. Namun ketika saya baru memulai perjalanan pulang, saya melihat papan petunjuk yang lain lagi.
See? Lihat?! Curug 4 hanya 150 meter! Saya agak menyayangkan jika harus pulang sekarang. Kaki makin besot? Sudah lupa tuh. Hanya 150 meter! Tidak ada alasan untuk berkata tidak. Curug 4, I’m coming.
Yang tadi mengatakan akses ke curug 5 kurang manusiawi, kau benar-benar mendapatkan huruf ‘X’ besar. Karena kali ini jalurnya lebih sadis lagi, jurangnya lebih dahsyat lagi, dan akar serta bebatuan yang ada tidak lagi menjadi pijakan yang baik hati, mereka bahkan berubah menjadi penghalang yang tangguh.
Semakin sedikit orang yang terlihat, jalurpun semakin sempit dan terjal. Saya harus benar-benar tahu mana tempat yang harus saya pijak, karena taruhannya adalah jurang yang benar-benar tidak memiliki kompromi. Tanah merah nan licin, jalanan yang kadang harus memanjat, tidak apalah itu semua demi sebuah 150 meter.
Saya terus memanjat, berkali-kali hampir terperosok ke jurang, lanjut dan lanjut. Kaki saya sepertinya kehilangan kesabaran. Bohong! Ini bukan 150 meter. Ini sudah hampir 1KM! Saya akhirnya istirahat selama 3 menit di tengah tangga alami yang sudah tidak berbentuk lagi serta sempit.
Saya duduk ditemani semak belukar yang cukup horor dan sepertinya sarat akan ular. Duduk di tengah kesunyian, tanpa ada siapa-siapa, bahkan saya tidak tahu sedang berada di mana. Tetapi saya usahakan agar pikiran saya tidak kosong.
Baik saya lanjutkan lagi.
Ok, tenang Nda, sabar. Yakin ini sudah dekat.
Oh, please… Ini sudah dekat kan? Di mana Curug 4 nya? Ini sudah 1KM!
Oh tidak… “Ayo anak baik, anak kuat, kau pasti bisa. Air terjunnya sudah sangat dekat. Sedikit lagi…”
Stop it already! Lihat jurang pada gambar di atas? Oh, setidaknya jalurnya sudah mendatar. Dan kemudian beberapa saat setelah itu…
Curug 2!!! YaY! Alhamdulillah!
Sebentar, saya di sini sendirian. Sunyi. Sepi. Sendirian. Parahnya saya ingin mandi tetapi tidak bawa baju ganti. 1 jam saya mendaki cuma untuk melihat hal seperti ini. Ya sudahlah, pengalaman. Saya keluarkan kamera dan berfoto-foto ria. Di saat-saat seperti itu saya dikagetkan oleh sesuatu.
Seorang Arab tiba-tiba menegur saya dari belakang membuat saya agak teriak kaget. Orang arab tersebut juga ikut kaget dan meminta maaf, kemudian bertanya perihal saya.
Saya jawab, “Na’am, waahidan faqath. (Iya, saya sendiri)“
Kemudian lanjut pulang.
Ketika ingin mencapai tempat awal saya mendaki ke curug 2, saya melihat ada jalan setapak yang mengarah ke suatu tempat. Setelah saya telusuri ternyata…
OH! TERNYATA INI DIA CURUG 4!!! Memang hanya 150 meter. Mereka tidak bohong. Lalu di sebelahnya apa? Curug 3? Hanya seperti ini? Saya bahkan tidak mau tahu di mana letak curug pertama. Peduli setan hahah. Cukup saya menjerit-jerit ketika turun karena kaki saya yang besot ini terus tergesek sepatu saya dan berhimpitan dengan akar serta batu-batu besar.
Saya mampir di kantin curug 5 untuk makan dan shalat. Saya terlebih dahulu bertanya berapa harga makanan di sana. Kan nggak lucu jika sepiring mie goreng harganya hampir sejuta seperti kasus-kasus yang terkenal itu. Ternyata sepiring nasi goreng nikmat dan komplit hanya dihargai sekitar 15 ribu. Ditambah air mineral yang harganya standar 5 ribu. Alhamdulillah.
Kantin tersebut lengkap dengan toilet dan mushalla, namun keran air wudlunya ada di tempat yang cukup jauh dari mushalla, sekitar 10 meter. Saya agak kagum para penjual di sana fasih melayani orang-orang Arab dengan bahasa Arab. Keren. Saya sendiri berpikir bagaimana caranya mereka naik kemari setiap hari demi mencari nafkah?
Jalanan turun untuk menuju pintu keluar pun dilalui. Kali ini jalanan menurun lebih sakit dibandingkan jalanan menanjak, dan jaraknya juga cukup jauh. Mungkin istilah dengkul yang ingin lepas itu benar adanya, karena dengkul saya benar-benar mau lepas. Saya salut dengan orang-orang warug tadi yang setiap hari mereka memanjat untuk melayani pengunjung. Apakah mereka mungkin memakai helikopter? Hehe…
Setelah berhasil keluar, saya sudah tidak kuat jalan. Awalnya saya menolak semua tawaran ojeg yang ada, namun di tengah jalan saya sudah tidak sanggup. Untung ada ojeg yang sedang diparkir dan menawarkan saya kembali. Tarifnya ternyata hanya Rp25.000 hingga ke jalan utama, saya pikir sampai Rp50.000 hehe…
Menunggu bus Marita di seberang hanya sebentar. Perjalanan pulang hanya 45 menit lebih sedikit dari Hankam sampai Kampung Rambutan, ditemani hujan deras sepanjang perjalanan.
Iya, selama 2 hari kemudian kaki saya sakit.