“Saya tunggu ya di Pejaten Village, kita makan-makan tanggal 7 Maret.”
Sebelumnya salah seorang teman saya membuat janji terlebih dahulu untuk melakukan pertemuan dengan saya. Saya katakan bahwa saya insyaAllah menyanggupi karena saya sendiri hampir tidak pernah mengingkari janji selama hidup saya. Justru yang saya khawatirkan adalah banyak teman saya yang memang hanya pintar berucap janji, padahal saya tahu mereka mungkin punya kesibukan lain, atau bahkan memiliki pengelolaan waktu yang sangat buruk.
Pada hari H, kenyataannya setiap pesan saya justru kebanyakan hanya di’read’, dengan berbagai macam alasan pembatalan beberapa jam berikutnya. Atau jika dipenuhi pun, mereka sangat terlambat untuk datang.
Saya tidak suka waktu saya dipermainkan oleh orang-orang yang menggampangkan hidupnya sendiri dan orang lain, meskipun mereka adalah teman dan keluarga saya sendiri. Tetapi sebenarnya bahasan kali ini jauh lebih luas daripada hal yang barusan tersebut.
Berapa banyak orang yang ketika ditanya mengenai masa depan mereka, mereka selalu menjawab dengan optimis bahwa masa depan mereka akan terlihat cerah. Nyatanya, hingga hari ini orang-orang tersebut justru memiliki kualitas hidup yang lebih buruk dari sejak mereka optimis kala itu dan menjadi semakin buruk dari hari ke hari.
Optimis dan menggampangkan merupakan hal yang sangat berbeda, namun akan jauh lebih sulit dikenali karena kebanyakan kita sendiri yang enggan untuk mencari tahu dan berusaha untuk membedakannya.
Optimis adalah keyakinan yang mantap dalam melihat sesuatu yang positif, sedang sikap menggampangkan untuk mencapai harapan-harapan baik tersebut justru menjadi bumerang karena pada akhirnya setiap cita-cita yang telah di-optimis-kan justru tidak ada yang tercapai sama sekali.
Kita manusia sangat dibolehkan untuk memiliki harapan. Tapi ingat, kita manusia juga diberi kuasa untuk berusaha mencapainya lewat kerja keras dan perencanaan-perencanaan detail. Sekarang, jika janji yang telah dibuat sendiri masih tidak mampu untuk ditepati, bagaimana dengan keinginan-keinginan yang jauh lebih kompleks dan berat?
Saya yakin sebagian besar perusahaan justru menggulung tikarnya karena mereka terlalu lalai memenuhi target dan kebutuhan pasar. Para pelaku bisnis amatir terkadang menganggap bisnisnya merupakan bisnis yang banyak dicari para pelanggannya sehingga lupa untuk berusaha lebih mempertahankan kualitasnya.
Ujung-ujungnya kita sudah bisa menebak, para pelanggan banyak yang merasa tidak nyaman dan beralih ke bisnis serupa di sekitarnya.
“Nanti kalo kita punya ini, bisnis kita akan meroket…”
“Nanti kalo kita implementasi ini, bisnis kita akan banyak pelanggan…”
Nanti kalo…
Nanti…
Nanti…
Kita sepertinya banyak yang tidak mengerti bahwa sudah berapa banyak harapan yang memang jika terwujud, belum tentu lebih baik, atau setidaknya sama dengan apa yang diharapkan, bahkan bisa jadi berbeda jauh dari apa yang telah diidam-diamkan. Kita kebanyakan membiarkan waktu kita banyak yang berlubang di saat saingan bisnis kita gigih menambal setiap waktu yang diperkirakan akan terbuang dan tidak produktif.
Rencana A, B, C, dan rencana pengganti lainnya terkadang kita pun lalai mempersiapkan jika memang terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Bisa jadi kendaraan operasional terkena musibah kecelakaan di saat klien justru sedang membutuhkan jasa kita dalam urgensi yang cukup tinggi.
Setiap orang mungkin pernah menggampangkan sebuah peristiwa yang akan terjadi. Begitu pun dengan saya. Namun jika dibiarkan, dikhawatirkan akan menjadi endapan watak yang berbahaya bagi tubuh.
Saya mencoba mencari solusinya dan saya dapat beberapa. Mungkin akan bermanfaat bagi kalian juga.
Kita juga harus belajar ‘mempersulit’ diri sendiri dan ‘memudahkan’ orang lain. Rasulullah saw. selalu memilih perkara yang sulit untuk diri Beliau sendiri dan paling mudah untuk umatnya. Kita yang merasa muslim seharusnya mencontoh perbuatan Beliau tersebut.
Belajarlah untuk tidak menggunakan kalimat, “Ah, tapi kan…”, atau “Kan masih bisa begini…”, karena perkataan-perkataan tersebut seringkali bermaksud untuk menganggap remeh sebuah proses dan tidak menghormati siapa pun yang menjadi objeknya. Kita sendiri tidak ingin diberi alternatif sembarangan yang tidak sesuai dengan keadaan kita oleh orang lain bukan?
Wallaahu A’lam Bishshawaab.