Saya sepertinya sudah agak terlambat untuk menulis ini. Namun sebenarnya tidak ada kata terlambat bagaimanapun dalam menyampaikan kebaikan, apalagi gejolak yang dirasakan dari masalah ini masih terus terasa hingga kini, ditambah dengan kejadian-kejadian serupa yang kemungkinan akan terus terulang kedepannya.
Adalah salah satu isu SARA terbesar sepanjang sejarah sejak Indonesia merdeka yang bermula dari seorang pemimpin-dalam hal ini, gubernur-yang intinya mengatakan bahwa kita jangan dibodoh-bodohi dengan AlQuran surat Al-Maidah ayat 51. Saya sebagai muslim yang mendengar hal tersebut tentu saja marah besar dan tidak terima. Karena bagaimanapun, kata ‘dibodoh-bodohi’ sangat tidak pantas disandingkan dengan kitab mulia, dalam kondisi apapun, baik pasif, maupun pasif.
Seperti biasa, sebuah pertanyaan menarik muncul, benarkah muslim dilarang memilih pemimpin kafir?
Berikut adalah terjemahan dari QS. AlMaidah: 51:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Sebelum ada yang berkomentar macam-macam, pahami dahulu bahwa Al-Qur’an sejatinya diturunkan oleh Tuhan yang sama dengan yang menciptakan diri kita, langit, bumi, planet, bintang-bintang, galaksi, dan seluruh jagat raya ini. Maka dari itu, kita sebagai makhluk ciptaannya yang tadinya berasal dari tanah lalu berasal dari air mani, kemudian diciptakan menjadi bentuk yang tampan, cantik, dan sebaik-baik makhluk, apa pantas kita mengomentari ayat dari Tuhan yang mampu menciptakan segala sesuatu?
Benar, baik kafir maupun muslim, adalah makhluk ciptaanNya. Awalnya dari satu manusia yang tentu saja satu agama, kemudian terpecah menjadi banyak agama yang masing-masing memiliki Tuhannya sendiri. Padahal, Tuhan mereka adalah Tuhan yang sama dengan Tuhan menciptakan manusia yang paling pertama.
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa… QS.Al-Anbiyaa:22
Yup, jika di alam semesta ini ada Tuhan-Tuhan selain Allah, maka mereka akan adu kekuatan dan adu kehebatan serta berbeda keinginan.
Lalu kemudian apa maksud Allah swt. dalam menurunkan ayat tersebut? Allah swt., telah menjadikan agama Islam ini menjadi agama yang benar, sebagai agama yang menjadi jembatan sempurna bagi seorang hamba yang diciptakan dengan Sang Penciptanya. Maka dari itu, sudah jelas bagi muslim untuk mempertahankan agamanya sebagai agama yang paling benar.
Allah swt., kemudian menurunkan manual book yang harus dipahami oleh manusia dan dijadikan pedoman. Seperti halnya produsen kipas angin atau telepon selular yang juga menyedianan buku panduan agar dapat dirakit dan dipergunakan dengan baik sehingga tidak rusak, begitu pula dengan manusia, manual book tersebut adalah kitab suci, baik Taurat, Zabur, Injil, hingga sekarang disempurnakan semuanya di dalam Al-Qur’an.
Kembali ke pokok bahasan, mengapa Allah menurunkan QS.Al-Maidah:51?
Kata-kata berpikir sangat banyak diulang dalam Al-Qur’an, menganjurkan kita sebagai manusia untuk selalu berpikir segala sesuatu. Sebenarnya banyak orang-orang awam yang menilai bahwa banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menyimpang, padahal sebenarnya tidak. Di sinilah pentingnya mengaji, menimba ilmu dari yang ahli, agar tidak berasumsi sendiri yang gurunya adalah setan.
Pemahaman dasar QS.Al-Maidah ayat 51 sebenarnya sangat mudah, sekarang mari mengambil contoh di lapangan. Sebuah instansi mengumpulkan berbagai sekolah untuk acara tertentu. Darinya dipilih seorang pemimpin yang akan memimpin acara tersebut. Pastinya, setiap sekolah akan memilih seorang perwakilan dan berharap pilihannya menang, meskipun mungkin mereka paham bahwa sepertinya tidak ada kandidat yang diandalkan. Sungguh sangat tidak lucu jika mereka memilih kandidat dari sekolah lain.
Atau contoh lain? Perkumpulan bangsa-bangsa ingin memilih salah satu warga negara sebagai pemimpin di suatu ajang antarnegara yang memukau. Pertanyaannya, apakah kita akan memilih perwakilan dari negara lain meskipun sekiranya kita paham bahwa dari negara kita tidak terlalu ada kandidat yang mumpuni?
Nasionalis boo! Nasionalis! Mana jiwa nasionalisnya???
Nah ini sekarang agama! Yang seharusnya memiliki tempat di atas segalanya.
Ketika masuk kubur dan akhirat, di mana kita sekolah, di negara mana kita tinggal, tidak akan ditanya, sementara masalah agama dan apa saja yang telah kita kontribusikan untuknya, iya.
Memang banyak pertanyaan-pertanyaan yang menggoyahkan keimanan kita dalam membolehkan dalam memilih pemimpin lintas agama. Salah satunya adalah,
Lalu jika kita harus memilih pemimpin dari agama yang sama, berarti sama halnya dengan orang miskin yang harus memilih pemimpin yang sama-sama miskin, atau orang bodoh yang harus memilih pemimpin yang sama-sama bodoh, begitu?!
Sekilas, pertanyaan ini akan sukses membungkam mulut kita dan mengacak-acak keimanan kita. Bagi yang awam, tanggapan “Iya juga, ya.” Akan dengan sangat mudah meluncur dari mulutnya setelah di-ACC oleh hatinya. Hancurlah imannya.
Padahal jika diteliti dengan lebih lanjut, ada kesalahan yang super fatal dalam pertanyaan tersebut. Mudah saja membantahnya, pertanyaannya adalah, siapa yang mereka samakan dengan orang miskin? Mengapa mereka samakan agama mereka dengan orang bodoh?! Mengapa bukan dengan orang kaya? Orang cerdas? Yang mereka bandingkan itu agama lhooo….. agama! (benci sumpah saya sampe ubun-ubun)
Nah! Lalu bagaimana jika yang menang ternyata adalah bukan muslim? Maka kewajiban untuk patuh kepadanya telah menjadi syariat. Sama halnya jika perwakilan yang telah kita pilih untuk maju di ajang ternama ternyata kalah, maka tentu saja, pemimpin yang telah terpilih, baik dari sekolah maupun negara manapun, selanjutnya kita wajib untuk menaatinya.
Islam juga begitu, bahkan,
“Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai atau ia benci kecuali jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.” (Al-Hadits)
Kita tetap diwajibkan untuk taat kepada pemimpin terpilih meskipun dia kafir, yang jika ternyata pemimpin kafir terpilih tersebut ternyata lebih baik daripada pemimpin muslim, kita sebagai muslim mendapatkan 3 (tiga) keuntungan. Yaitu, menikmati kebaikan pemimpin tersebut, membela agama kita, dan menjadikannya tauladan agar ditiru oleh pemimpin muslim berikutnya.
Agama ini memang benar-benar indah bukan? Ya iya dong, yang membuat peraturan/agama ini kan yang juga menciptakan alam yang instagrammable, juga menciptakan pelangi, planet, galaksi, nebula, dst… dst…
Makanya, jangan terpengaruh dengan omongan-omongan setan. Dia memang maunya menyeret kita ke neraka supaya rame nerakanya. Setan gak suka neraka sepi.
Oh, saya beri kalian PR untuk menjawab pertanyaan aneh bin sesat ini:
“Jika muslim dilarang memilih pemimpin non muslim, mengapa banyak yang bekerja di perusahaan non muslim?”
Jawabannya gampang beud kok… sudah dibahas di atas.
—<(Wallaahu A’lam Bishshawaab)>—