Tukang Jagal Daging
urban legend by : anandastoon
Bekerja sebagai tukang jagal sebenarnya tidak seperti apa yang ada dipikiran orang. Aku justru benar-benar menikmatinya. Memang benar lantai yang bermandikan darah itu pasti terjadi ketika aku menyembelih hewan-hewan itu. Tetapi mungkin karena ini sudah menjadi profesiku, jadi aku sudah sangat terbiasa. Toh, nantinya daging-daging itu akan dimakan kalian-kalian juga.
Aku biasanya menyembelih kambing, sapi, atau bahkan kerbau tergantung permintaan perusahaan pada saat itu. Namun akhir-akhir ini mungkin karena tuntutan pasar dan saingan perusahaan lain sudah meluap, maka aku merasa sangat tidak nyaman dengan perubahan-perubahan kebijakan dari perusahaan tempatku bekerja itu. Tak lama kemudian aku keluar dan berniat membangun perusahaanku sendiri.
Apa yang terjadi setelah itu benar-benar sangat tidak sesuai harapan. Baru saja perusahaanku mulai berkembang, aku mengalami sesuatu yang sangat tidak enak. Karyawanku kabur dan aku menderita kerugian yang sangat besar. Ditambah lagi pesanan yang tiba-tiba menurun dan aku bangkrut. Hingga akhirnya aku mendapat tekanan dari keluargaku dan tentu saja gunjingan masyarakat sekitar karena mereka menilai aku sudah tidak dapat menghidupi keluargaku lagi.
Sampai pada suatu hari, salah satu dari teman lamaku datang dan memberitahuku bahwa di tempat kenalannya yang berada di salah satu pulau di kepulauan Maluku Utara sangat membutuhkan jasa tukang jagal. Aku sedikit keberatan karena tujuannya terlalu jauh, namun temanku memotivasiku hingga aku bersemangat. Aku segera mengucapkan terima kasih kepada dia dan langsung memberitahukan hal yang membahagiakan ini kepada keluargaku.
Mereka senang, tentu saja aku langsung mengemas barang-barang yang aku perlukan sebelum aku diantar temanku itu ke bandara esok paginya. Temanku hanya dapat mengantar sampai bandara, dia kemudian memberikan aku sedikit uang dan petunjuk mengenai bagaimana cara hingga tiba di tempat tujuan. Jujur aku baru pertama kali naik pesawat, dan perjalanan ke Maluku tidak memakan waktu yang sangat lama.
Dengan taksi aku melanjutkan perjalanan dari Bandara, argonya akan dibayar dengan menggunakan uang dari temanku itu. Maluku sekarang sudah menjadi sedikit Modern, aku dapat melihatnya banyak daerah-daerah industri di sini. Tetapi hingga 2 jam perjalanan, aku belum sampai ke tempat tujuan. Daerah-daerah industri tadi sudah berganti dengan rimbunnya hutan-hutan yang sinar matahari hampir tidak dapat menembus lagi.
Bahkan ketika aku sampai di tempat tujuan pun, aku masih harus naik perahu kecil dan berjalan sekitar 1 KM lagi untuk tiba di pabriknya. Aku menjadi sedikit khawatir mengenai hal ini, namun itu semua kulakukan demi menghidupi keluargaku. Lagipula temanku itu adalah teman baikku di masa SMA, aku hanya bermodal keyakinan saja kepadanya. Dia juga memberikan uang lebih kepada aku, tandanya memang dia menanggapi hal ini dengan tidak main-main. Aku pun membawa sejumlah uang jika memang terjadi sesuatu, apalagi di daerah terpencil diluar dugaanku sebelumnya.
Ketika tiba aku cukup kaget karena pabriknya cukup luas, namun ketika setelah selesai wawancara, aku diantar menuju ruang tempat jagalku. Tak jauh dari sana aku dimasukkan ke dalam sebuah pondok yang aku duga itu adalah tempat pemotongannya sekaligus mess untuk aku bermalam. Tawaran gajinya cukup besar dan diberikan sejumlah peraturan perusahaan yang cukup ketat. Aku akan bekerja di sana mulai besok.
Kondisi ruangan ini berbeda hampir seluruhnya dari apa yang pernah kutempati di pabrik sebelumnya. Bau amis darahnya sangat terasa meski ruangan ini sudah berkali-kali aku bersihkan. Suasananya berubah menjadi tidak nyaman, aku merasakan banyak energi negatif di sekelilingku. Sepertinya karena memang ada di daerah terpencil dan memang jarang dipakai. Wajarlah jika terjadi hal yang menakutkan seperti itu. Namun tetap, aku sepertinya tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan baruku itu.
Malamnya ketika aku ingin tidur di mess pun di sana mulai terjadi hal-hal yang sangat tidak kuinginkan. Memang kuakui pabrik sebelumnya pun berhantu, namun di sini aku cukup terganggu. Mulai dari suara jeritan secara tiba-tiba, kemudian berubah menjadi suara tangisan. Lalu aku menyadari aku benar-benar sendiri, dengan penerangan seadanya, tanpa karyawan yang lain. Padahal tadi aku banyak melihat karyawan yang bekerja di dalam pabrik.
Tempat tidurku seakan-akan ada yang menggoyang-goyangkan, bantalku seakan-akan ada yang menarik-narik. Aku sangat ketakutan, namun aku mencoba berpikir positif dan tidak sekali-kali mencoba untuk membuka mataku. Aku berpikir mereka hanya ingin berkenalan saja, dan itu lumrah terjadi setiap kali pertama. Semua itu terus kupikirkan hingga akhirnya aku tertidur.
Paginya adalah saatnya mulai bekerja, aku menunggu sampai tiba pesanan datang kepadaku dan melakukan apa yang telah menjadi rutinitasku. Tak lama kemudian muncullah seseorang yang mengaku sebagai seniorku mengantarkan beberapa permintaan untuk aku sembelih. Mereka terlihat terbungkus dan terikat dengan sangat rapi, sepertinya masih cukup baru dan segar. Senior-seniorku tidak lama di sana dan segera pergi setelah memberi sedikit instruksi dan batas waktu pengerjaan kepadaku.
Sejujurnya aku ingin pulang, kerja di daerah orang apalagi di tempat terpencil memang bukan harapanku. Apalagi melihat reaksi senior-seniorku yang dingin dan tidak bersahabat. Setelah aku mendapat tugas, aku sedikit menunda pekerjaanku untuk menelpon temanku itu. Tetapi aku menyadari teleponku tidak mendapatkan sinyal. Aku mengendap-endap keluar dari ruangan dan aku lihat gerbangnya dijaga ketat, dan segala sesuatunya sangat terkontrol. Aku ingat peraturannya adalah karyawan tidak boleh keluar selama jam kerja.
Aku kembali ke ruanganku dan kuambil peralatan memotong untuk melaksanakan bagianku dengan mengeluh. Aku rindu suasana kampungku di sana. Aku kapok bekerja di perantauan apalagi di tempat terpencil seperti ini apalagi dengan keterikatan yang sangat tidak bebas, bahkan hanya untuk staf rendah sepertiku. Memang makanan disediakan, namun itu bukan seleraku karena baunya yang sangat tidak enak dan sangat terbatas. Seniorku pun mematok target kerja dengan sedikit tidak manusiawi, terkesan sangat tidak menghargai keberadaanku. Sepertinya aku harus segera pulang dan mencari jenis pekerjaan lain. Bertahan selama sebulan sepertinya tidak mungkin, di mana harus kurang dari itu dan meminta upahku sebagai ongkos pulang. Ditambah lagi di depanku persis yang katanya pesanan untukku sedang meronta-ronta menjerit ketakutan memandangku.
βDiamlah, aku juga sudah muak dengan pekerjaan ini!β
Aku baru menyadari di sana aku bukan seorang tukang jagal, aku dipekerjakan untuk menghabisi para karyawan yang melanggar peraturan kerja.