Ada Pembunuh
urban legend oleh anandastoon
Sore itu aku bermain bersama 3 orang temanku ke suatu tempat yang memiliki pemandangan sore yang sangat menarik. Jalannya cukup menantang, karena kami menggunakan bus untuk mencapai tempat itu, dan kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri pemukiman penduduk sejauh 2 kilometer. Pemandangan di sekelilingku cukup aneh, karena rumah penduduk begitu rapat dan padat namun sangat sepi. Bukan berarti tidak ada orang, namun sepertinya beberapa dari mereka yang terlihat terlihat dingin dan agak antisosial.
Ya sudahlah, bukan itu tujuanku. Setelah beberapa lama akhirnya aku tiba di sebuah padang rumput yang sangat luas dan di tengah-tengahnya dibelah oleh sungai yang cukup lebar. Mentari senja mengintip dari sela-sela pepohonan yang jauh di seberang sungai. Wah benar-benar pemandangan yang sangat menakjubkan, aku sangat menikmatinya. Aku duduk dan bercengkrama dengan teman-temanku hingga tak terasa mentari sudah bersembunyi di balik ufuk. Kami agak panik begitu menyadarinya. Namun ketika kami ingin berbalik pulang, kami tersesat, membuat kami jauh lebih panik.
Aku dan teman-temanku berusaha mencari jalan keluar, hari pun sudah semakin tidak bersahabat. Suara jangkrik mulai bersahutan dimana-mana. Jalan keluar sedikitpun belum terlihat. Aku dan temanku mulai putus asa. Di tengah-tengah keputus-asaan itu salah satu temanku menemukan seberkas cahaya dari kegelapan. Tentu saja itu sangat membuat kami senang. Maka langsung saja kami berlari ke arahnya, semoga itu adalah sinar lampu dari salah satu rumah penduduk.
Namun ternyata kami salah. Itu hanyalah sinar dari sebatang rokok yang dihidupkan. Sebentar, ada orang lain di sini. Menyadari kami sedang memperhatikan dia, secara tiba-tiba dia melihat kami dengan sangat cepat dan raut muka yang sangat tidak senang. Wajahnya cukup menakutkan, dan matanya merah. Dengan gerakan yang cukup cepat seseorang yang aku tidak tahu siapa itu mengambil sesuatu yang menggantung di ranting pohon dekat tempat ia duduk dan langsung berjalan cepat menuju ke arah kami dengan membawa benda itu.
Ya ampun! Itu sebilah golok! Kami sepertinya sedikit terlambat untuk lari. Karena kami kaget dan sedikit tidak percaya apa yang kami lihat, maka ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya kami lari terbirit-birit. Aku lihat ke belakang, orang itu ternyata juga berlari mengejar kami dengan lebih cepat. Kami panik, sangat panik. Tiba-tiba temanku yang paling belakang tersandung dan terjatuh. Kami memperhatikan orang itu mendekat dan langsung menebas leher teman kami itu dengan sangat cepat. Oh tidak! Dia adalah seorang pembunuh! Tidak ada waktu bagi kami untuk menolong teman kami yang malang itu. Bahkan tidak ada waktu bagi kami untuk berhenti meski hanya sejenak.
Kami terus berlari, lurus tanpa berbelok sedikit pun. Berharap ada sesuatu di depan kami. Dan benar. Kami akhirnya menemukan perumahan penduduk yang tadi sore di depan kami. Kami hanya berteriak meminta tolong dengan sangat keras. Di antara temanku ada yang sudah tidak kuat berteriak karena begitu lelah berlari. Kami masih melihat orang itu berlari ke arah kami, bahkan jarak kami dengannya menjadi lebih dekat. Kulihat ia mengayunkan goloknya ke arahku. Tepat terkena rambut bagian belakang. Ia mulai mengayunkan lagi goloknya ke arah kami secara membabi buta. Pikiranku gelap. Aku sedikit menabrak temanku hingga ia terjatuh, lalu sudah dapat diduga, dia jadi korban tebasan golok orang itu berikutnya. Untunglah temanku yang satunya lagi tidak terlalu memperhatikannya.
Maafkan aku, aku terpaksa mendorong temanku begitu karena aku juga ingin selamat. Setidaknya kami bisa sedikit menjauh dari pembunuh kejam tersebut ketika dia sibuk menghabisi nyawa temanku itu. Akhirnya tiba juga di rumah-rumah penduduk itu, aku mulai berteriak kembali meminta tolong kepada mereka. Namun aku baru menyadari bahwa rumah-rumah mereka sangat gelap, lampu-lampu depan rumah mereka tidak ada yang dinyalakan. Setiap pintu rumah mereka ditutup rapat dengan ditempel kertas atau papan besar bertuliskan ‘Jangan Berisik!’. Aku tidak mengerti apa maksudnya itu.
Kami tetap menggedor pintu rumah mereka, bahkan kami melihat setitik cahaya dari celah-celah dinding rumah mereka. Namun tidak ada balasan sedikitpun.
“Tolonglah kami! Ada pembunuh mengincar kami! Selamatkan nyawa kami! Kami tahu kalian ada di dalam!!!”
Namun naas, tidak terdengar sepatah jawaban apapun. Hingga tak disadari pembunuh itu sudah tinggal beberapa puluh meter dari kami. Tentu saja kami kaget bukan main. Aku langsung menyuruh temanku agar berpencar, sekarang juga. Aku langsung berlari sambil berteriak “Cepat berpencar!!!”
Temanku kebingungan dan ragu ingin ambil jalan yang mana, dan itu sama saja memberikan kesempatan bagi pembunuh itu untuk segera melanjutkan aksinya. Aku bisa mendengar dari kejauhan ayunan golok milik pembunuh itu dan teriakan terakhir temanku. Kini tinggal aku sendiri menyusuri gang-gang sempit rumah penduduk, berharap setidaknya mendapat tempat untuk bersembunyi dari pembunuh itu.
Aku terus berlari dan berlari, melewati lorong-lorong gelap rumah penduduk dengan hanya disinari lampu-lampu yang sedikit keluar melalui celah-celah dinding dan kusen dari rumah-rumah penduduk itu. Aku sempat berhenti karena lelah, sangat lelah. Masih kudengar langkah pembunuh itu sepertinya tengah mencariku. Memang terdengar seperti masih jauh, namun aku tidak boleh menggunakan kesempatan ini untuk beristirahat.
Akhirnya aku menemukan sebuah lorong buntu yang sangat sempit di antara lorong-lorong sempit di antara rumah-rumah penduduk itu. Aku bisa bersembunyi di sana, untungnya di sana juga terdapat banyak barang bekas seperti kardus dan plastik sehingga aku dapat jongkok serta menutupi diriku dengan itu. Di tengah persembunyianku itu aku tetap mendengar suara langkah pembunuh itu yang masih menelusuri lorong demi lorong untuk mencariku. Aku tidak tahu mengapa dia masih bernafsu untuk membunuhku.
Aku sadar, hanya aku yang tersisa dari teman-temanku yang sudah dilibas oleh pembunuh itu. Aku sangat sedih, di saat itu aku justru rindu rumah, rindu orang tuaku, mereka pasti sedang khawatir mencariku. Aku rindu semuanya. Aku berharap seseorang datang menolongku, namun sepertinya ini akan mustahil. Aku masih terus mendengar derap langkah cepat pembunuh itu, yang terdengar sepertinya semakin keras, tanda ia sudah semakin dekat.
Di saat-saat itu aku teringat ibuku yang pernah menceritakan bahwa ada suatu perkampungan di daerah dekat kampung halamanku yang setiap malam Rabu pertama pada setiap bulan seluruh aktivitas di sana ditiadakan. Semua lampu di luar rumah dimatikan, dan dipasang di setiap pintu rumah sesuatu agar tidak mengganggu penghuninya. Konon itu karena ada seorang pembunuh yang selalu mengincar warga dan menghabisinya tanpa rasa kasihan jika dia menemukannya. Hingga saat ini tidak diketahui siapa pembunuh itu, karena warga tidak pernah berhasil menangkapnya, bahkan pembunuh itu justru mengakhiri warga yang mencoba untuk membunuhnya.
Aku baru ingat. Sekarang malam Rabu pertama bulan ini. Artinya, ini waktunya pembunuh itu berkeliaran. Aku agak yakin pembunuh itu bukan manusia, mungkin siluman atau makhluk jadi-jadian. Aku semakin ketakutan. Tak terasa kini derap langkah pembunuh itu sudah sangat dekat denganku dan aku sebisa mungkin tidak ingin diketahui posisiku olehnya, bahkan nafasku pun kutahan sebisaku. Akhirnya pembunuh itu hanya tinggal beberapa langkah lagi dari posisiku dan langkahnya mulai melambat ketika ia tiba di dekatku. Aku pasrah. Sangat pasrah.
Waktu berlalu, aku tidak dapat merasakan dan mendengar sesuatu apapun, namun sepertinya pembunuh itu masih berada di sampingku. Setelah itu aku mendengar perlahan-lahan derap kaki itu menjauh dan melanjutkan untuk mencari di lorong-lorong lainnya. Aku masih tidak berani bergerak. Namun karena banyak semut mulai menggigitku, aku sedikit bergeser perlahan dari tempatku bersembunyi. Lalu perlahan-lahan aku berdiri, mengintip dari sela-sela kardus tempatku bersembunyi. Kosong. Aku pikir aku sudah aman untuk berdiri sekarang, langkah pembunuh itu sudah tidak terdengar lagi.
Aku mulai menyingkirkan semut-semut itu sambil mulai berdiri. Ketika mulai melangkah, kakiku tiba-tiba keram dan kesemutan, aku terjatuh. Kakiku tidak bisa digerakkan. Bersamaan dengan itu langkah berat si pembunuh mulai terdengar kembali entah darimana, mungkin karena dia mendengar suaraku sewaktu terjatuh. Sepertinya langkahnya kali ini lebih cepat, dan menuju ke arahku. Aku tidak dapat melakukan sesuatu, aku panik. Apalagi melihat dia tiba-tiba keluar dari sebuah lorong di dekatku dan langsung mengangkat goloknya sambil berjalan dengan cepat mendekatiku.
Aku teriak sebisaku, pembunuh itu kini tiba tepat di sebelahku dan goloknya kini terayun ke arahku. Spontan aku membuka mataku lebar-lebar dan bangun dari tempat tidurku. Nafasku masih terengah-engah. Apa? Ini hanya mimpi? Aku masih berada di atas tempat tidurku, di kamarku tercinta. Tetapi semua itu tadi seperti nyata. Aku kemudian melihat sekelilingku, benar ini masih kamarku. Aku masih berada di kamarku.
Di tengah-tengah kesadaranku yang masih belum pulih sepenuhnya itu, ada yang berbisik dari belakangku,
“Sial! Kenapa kau terbangun…”