Karya Terbaik
urban legend by : anandastoon
Aku mencari-cari ide lain untuk melampiaskan hobi fotografiku. Entah bagaimana terpikir olehku tema-tema horor. Aku jadi mencarinya di internet dan mendapatkan sebuah inspirasi brilian. Apa memangnya? Yakni sebuah foto hantu yang mengandalkan bayangan, ini mungkin akan menjadi salah satu karya terbaikku.
Ini secara teknis kau harus menyalakan timer kamera dan berpose dua kali di depan cahaya. Foto pertama menujukkan ekspresi ketakutanmu dan foto lainnya menunjukkan kau sedang berpose layaknya hantu yang ingin menerkammu. Setelah itu aku menyunting fotonya, mengambil bayangan pose menerkam dan membiarkan foto pose ketakutannya.
Lalu jadilah…!
Aku mempersiapkan segala sesuatunya pada di hari itu. Tempat terbengkalai, cek. Tripod dan remote timer, cek. Lampu duduk portable, cek. Oh, mungkin juga lebih seru jika aku berpose mengancam dengan pisau. Tapi, beli di mana pisaunya? Ah! Aku ingat temanku punya pisau yang bagus! Aku pinjam saja darinya.
Malam itu, aku benar-benar mendatangi lokasi tempat yang mengerikan itu, sendirian. Aku tidak tahu mengapa tempat ini diabaikan padahal memiliki interior yang cukup luas dan bagus.
Itu tidak penting untuk dibahas. Sekarang aku harus mencari titik yang cocok untuk menunjukkan kebolehan fotografiku. Berkeliling sendirian meski aku membawa banyak penerangan yang mumpuni ternyata tidak dapat meredam atmosfer yang tidak menyenangkan di sini. Akhirnya aku menemukan tempat yang cocok untuk mulai beraksi. Sebuah koridor yang berdinding polos, dengan cat yang mulai terkelupas.
Pose pertama mulai kulakukan, namun entah mengapa aku tidak merasa sendiri di sini. Apakah ada sesuatu yang akan ikut terfoto?
Aku hanya sanggup melakukan beberapa pose saja, karena aku semakin merasakan ada sesuatu yang tidak senang akan kehadiranku dan menginginkan aku segera pergi, aku pun mulai sesak nafas karena kuatnya atmosfer aneh di sini. Jadi aku bergegas.
Esoknya, aku mengumpulkan foto-foto tersebut ke aplikasi pengolah gambar untuk melakukan proses manipulasi. Aku perhatikan kembali foto-foto tersebut dan memastikan tidak ada yang aneh. Maksudku, tidak ada penampakan yang bukan-bukan ikut terfoto. Semuanya hanya ada aku, dan bayanganku.
Akhirnya seluruh foto telah selesai kumanipulasi dan aku sangat puas dengan hasilnya. Yah, setidaknya meski hanya tiga foto. Yang pertama pose bayangan menyerang, kemudian…
Sebuah foto menakut-nakuti. Di foto tersebut terlihat bayanganku ingin menyerangku dengan kuku-kuku yang panjang. Aku ingat bahwa aku tidak pernah mengambil foto dalam pose seperti ini. Atau mungkin aku lupa? Memang aku sudah persiapkan model kuku-kuku panjang yang dapat dipasang dan dilepas. Hanya, aku tidak ingat jika aku melakukan pose itu. Seketika aku merinding.
Aku mengakui bahwa aku memang sangat pelupa, padahal usiaku masih jauh dari usia senja. Aku sedikit tertawa dan mengacuhkan foto tersebut. Mungkin karena aku terlalu ketakutan dan terlalu lelah semalam.
Yang terakhir adalah yang menurutku masterpiece, yaitu pose seakan-akan aku akan ditusuk pisau oleh bayanganku sendiri. Semua kejadian tadi malam yang menakutkan aku benar-benar mengacuhkannya dan aku mulai berbangga kepada diriku sendiri.
Aku kemudian mengupload seluruh hasil karya terbaik fotografiku ke situs media sosial yang berisi komunitas fotografer.
Sedikit dapat kusangka, dalam waktu kurang dari setengah jam, ribuan ‘like’ dan decak kagum via komentar tertuju kepadaku. Mereka sangat mengapresiasi foto-foto yang bertemakan horor hingga salah satu fotografer ahli di sana juga ikut berpartisipasi dalam memberikan pujian atas hasil karyaku. Aku puas, tentu saja, sangat puas.
Aduh, lagi-lagi aku lupa, untuk memberitahu temanku atas pinjaman pisaunya dan berterima kasih. Sebisa mungkin akan aku kembalikan hari ini juga, sekali lagi, selama aku ingat. Aku meraih ponselku, dan aku lihat ada beberapa pesan yang belum terbaca. Mungkin akibat aku tidak mengecek ponsel sejak berangkat ke tempat angker itu sampai saat ini.
Oh, salah satunya ada pesan dari temanku itu. Aku penasaran dengan isinya, lantas kemudian aku membacanya,
“Bagaimana? Pisaunya jadi kau pinjam tidak?”