Ospek
urban legend by : anandastoon
Tak kusangka, memasuki masa-masa kuliah adalah salah satu hal yang mendebarkan, terutama di bagian kegiatan ospek. Ada yang menarik waktu itu, kami harus melakukan ospek di alam terbuka karena kampus sedang dalam renovasi. Jadi kami sekalian menginap di tempat tersebut, dengan tenda tentu saja, seperti perkemahan yang dilakukan anak pramuka.
Lokasinya ada di hutan yang tidak begitu jauh dari kampus sebenarnya, namun tetap saja keadaannya seperti jauh dari pusat kota. Apalagi setelah mendengar desas-desus bahwa hutan ini angker.
Kegiatan ospek bodoh. Menurutku. Biarku tebak pasti ada sesi jurit malamnya juga.
“Yap, sekarang waktunya istirahat karena kalian akan melakukan uji nyali di sekeliling sini.”
Gotcha! Rasa sebalku semakin memuncak ketika melihat senior tersenyum-senyum simpul, seakan rencana mereka untuk mengerjai kami akan dapat dijalankan dengan sempurna.
Pukul dua itu kami dibangunkan dan diperintahkan untuk berbaris, di mana para senior membacakan peraturan dan rutenya, serta memasangkan kami dalam beberapa kelompok. Kegiatan uji nyali dimulai setelah aba-aba.
Sepanjang perjalanan aku tidak melihat cahaya apa pun selain dari lampu senter ponsel kami. Aku yakin tempat ini tidak jauh dari gemerlap kota, namun kami merasa seperti di pedalaman. Suara-suara burung malam dan jangkrik begitu nyaring dan aroma basah-basah ala hutan benar-benar menusuk hidung kami.
Sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, aku ingin buang air. Klasik. Terpaksa aku harus berpisah dengan kelompokku, bahkan aku menawarkan mereka untuk berjalan lebih dahulu sambil menungguku. Mereka cukup menyetujuinya.
“Awas nanti nyasar…!” Ledek salah satu temanku yang lain.
Setelah kutemukan pohon untuk membuang air seniku, aku tiba-tiba merinding. Aku pikir itu hanya efek dari kedinginan karena banyak cairan tubuh keluar ketika buang air tadi. Namun ketika aku berbalik, sesosok pocong besar, kira-kira dua meter sudah berada tepat di depanku.
Aku teriak kaget, merasa senior telah mengerjaiku dengan amat keterlaluan. Tanpa pikir panjang, aku bersiap meninju model hantu menyebalkan tersebut.
Ketika kepalan tanganku diarahkan menujunya, sesuatu yang mirip pocong itu tiba-tiba mundur ke belakang, dan terus mundur ke dalam hutan dengan kecepatan yang semakin meninggi.
Tiba-tiba makhluk tersebut menghilang. Bukan, bukan menghilang dibalik pepohonan, tetapi memang benar-benar langsung menghilang dari pandangan mata. Aku sadar sedang benar-benar sendirian, dan peristiwa ini sangat tidak beres.
Aku teriak berlari tidak tentu arah, memanggil teman-temanku. Naas, tidak ada sahutan balik. Aku melihat sekeliling, yang ada hanyalah rerumputan, aku benar-benar lupa di mana jalan pulang. Sial! Senter ponselku masih menyala, kuarahkan ke sekeliling.
Aneh, banyak ku temukan bantal guling yang dijemur di ranting-ranting pohon. Warnanya putih semua. Keringatku mengalir dingin, sambil menghibur diri bahwa itu milik warga. Namun ternyata kenyataan tidak dapat membohongiku bahwa guling-guling tersebut seperti berdiri bersandar di dahan pohon.
Aku semakin teriak minta tolong, menyusuri jalan apa pun, mencari bantuan.
OH! Bodohnya! Aku lupa yang kupegang adalah ponsel. Aku cepat-cepat menghubungi rekan-rekanku… namun jawaban yang kudapat justru adalah operator yang berkata bahwa pulsaku habis. Tidak ada jaringan internet di sini jadi aku kini benar-benar kacau. Aku bahkan tidak berani menengok ke atas karena aku yakin mereka ‘ada’.
Jika aku mau, aku memilih pingsan. Tetapi aku hanya perlu berjalan lurus. Aku yakin jalan keluar pasti kutemukan.
Dan benar, beberapa ratus meter berjalan, aku menemukan sebuah cahaya. Hal itu membuat aku bergegas keluar dari keadaan yang sangat tidak menyenangkan ini.
Akhirnya aku tiba. Itu adalah gubuk hutan dan para seniorku sedang duduk-duduk di dalamnya, tempat pos jurit malam. Bersyukur, aku berlari menuju mereka.
“Kak! Kakak!!!”
Para senior menoleh kepadaku, kebingungan.
“Keterlaluan kalian! Mengerjai junior kalian dengan seperti ini?!” Aku memaki-maki mereka secara tidak sadar.
Salah satu dari senior tersebut menenangkanku dan menyuruhku duduk di gubuk bersama mereka.
“Ceritakanlah apa yang terjadi.”
Disinari dengan temaramnya lampu pos, aku mulai bercerita apa pun yang kutemui baru saja. Mendengar ceritaku, para senior menatap satu sama lain, lalu mulai angkat bicara.
“Kami memang menaruh beberapa figur pocong, namun sepertinya kami tidak ingat kami menaruhnya di tempat itu dan sebanyak itu.” Salah satu dari mereka menjelaskan.
“Kau mungkin sedang sial. Hahaha! Sesekali tidak mengapa kan? Pengalaman indah kan bro…!” Senior yang lain justru meledekku. Beberapa senior lain mengiyakan dan ikut tertawa, namun sebagiannya menyuruhku untuk istirahat dahulu bersama mereka.
Di saat aku ingin meluapkan kekesalanku kembali, ponselku mengeluarkan notifikasi pesan singkat. Aku melihatnya itu adalah pesan dari teman-temanku. Apa mereka sekarang yang tersesat? Pikirku. Jadi aku mulai membacanya.
“Bro?! Dimana? Kita tadi liat lo dari hutan jalan ke basecamp jadi kita ikutin. Nah, sekarang kita-kita udah sampai di basecamp gak liat lo. Di sini semua pada nyariin lo bro…”
Aku menelan ludah. Kini dari balik layar ponsel, samar-samar kulihat beberapa bagian bawah kain putih yang terikat.