Ketika saya sedang melihat statistik mengenai transparansi, muncul di hadapan saya sebuah website yang berjudul Corruption Perception Index. Di sana disajikan laporan visual mengenai indeks transparansi seluruh negara di dunia. Pada laporan tahun 2020, Indonesia mendapatkan skor 37 dengan peringkat 102 sebagai negara bebas korup.
Agak miris, atau miris, atau bahkan sangat miris. Tapi, yah kita sama-sama tahu.
Sejatinya bukan itu yang ingin saya bahas. Ada sebuah kesimpulan yang cukup menarik setelah saya mengamati sajian visual di situs tersebut. Apa itu? Sebagian besar peringkat-peringkat teratas ternyata diisi oleh negara maju. Bahkan tidak ada negara maju yang berada pada peringkat rata-rata atau di bawahnya.
Artinya, negara maju memiliki tingkat korupsi yang rendah. Membuat saya kagum sekaligus terheran mengapa negara maju minim koruptor.
Saya dan rekan kerja sempat berdebat kecil mengenai sistem pendidikan sebuah negara maju. Rekan kerja saya beranggapan bahwa, karena negara maju itu minim koruptor maka berimbas kepada sistem pendidikannya yang juga ikut maju. Saya kurang setuju dengan pendapatnya.
Saya katakan, justru maju tidaknya sebuah negara, korup atau tidaknya sebuah negara, bergantung dari sistem pendidikan yang telah diajarkan kepada para pemegang wewenang selama mereka masih menjadi rakyat.
Sekarang dengan pendidikan terapan yang minim praktek, di mana sebagian besar orang yang saya temui justru hanya menggunakan teori sebagai dalih dan penanda bahwa mereka adalah orang berilmu, bagaimana bisa dengan kenyataan yang seperti itu membuat sebuah negara menjadi lebih baik?
Banyak yang bilang, termasuk diri saya sendiri, bahwa memang sedari kecil pendidikan yang kebanyakan masyarakat kita dapatkan justru menjurus kepada cikal bakal tindakan korupsi.
Saya ingat sedari sekolah, teman-teman saya yang ‘rajin’ dapat dihitung dengan jari. Sisanya hanya murid yang bahkan tidak punya niat sebagai murid sama sekali. Mereka cenderung menggampangkan ujian selama mereka kenal dekat dengan murid yang rajin.
Dari sini sebenarnya prinsip “orang dalam” dan “suap menyuap” sudah tumbuh subur dan akan menjadi kuat beberapa tahun kemudian jika tidak segera diluruskan setidaknya saat mereka lulus.
Apalagi jika ada ‘murid yang berani’ untuk menolak memberikan contekan. Murid tersebut paling tidak akan dimusuhi jika tidak mendapatkan ‘teror’ dari satu kelas.
Inilah mengapa menghentikan, atau setidaknya melaporkan tindakan para koruptor sudah dapat disebut dengan medan perang. Karena sang pahlawan tidak hanya berhadapan dengan satu orang, melainkan juga berhadapan dengan seluruh klan korupnya beserta dayang-dayang serta prajuritnya.
Dari sini kita sudah menorehkan sebuah tanda minus besar sistem pendidikan yang banyak sekali dikecap oleh generasi kita turun-menurun.
Kita pastinya sudah sering mendengar bahwa masyarakat di negara maju adalah pekerja keras. Bahkan bukan cuma pekerja keras, mereka juga pekerja cerdas. Meski masyarakat negara maju juga komplain dengan kehidupan mereka, namun perjuangan mereka masih belum dapat disetarakan dengan perjuangan kebanyakan orang-orang di negara berkembang.
Misalnya, petugas OB atau Cleaning Service di Jepang, mereka selalu mencari tantangan baru hampir setiap harinya. Seperti, mencari sesuatu yang sulit dibersihkan atau ditangani, jika mereka berhasil maka itu akan menjadi suatu prestasi bagi mereka.
Atau saya pernah lihat sendiri di Singapura, seseorang bertanya di mana toilet padahal di atasnya terpampang petunjung arah yang terang, besar, dan jelas. Namun petugas customer service yang mendengar itu justru mengantar si penanya langsung ke depan pintu toiletnya dengan ramah. Padahal, dia sendiri juga sudah kelelahan dengan pekerjaan utamanya itu.
Bahkan, di negara-negara maju, orang mabuknya saja diam dan sopan. Seperti teman saya pernah ke Jerman dan saya sendiri pernah melewati klub malam di Singapura yang mana terdapat banyak orang mabuk. Namun posisi mabuk mereka adalah diam di atas kursi, tidak mengganggu yang lain.
Di Jepang, jika ada pengemudi yang ingin berganti lajur, maka mereka bukan hanya memberikan lampu sign dan menunggu yang belakang mempersilakan, melainkan mereka juga akan berterima kasih dengan menyalakan lampu hazard meski hanya sebentar.
Jika kita membayangkan negara maju karena mereka memiliki teknologi yang serba canggih, mohon pikir kembali. Karena akhlak atau etika pun juga menentukan sebuah negara menjadi maju atau tidak. Bagaimana sebuah negara maju di mana masyarakatnya banyak yang malas dan berbudaya ‘senggol bacok’?
Kalau kita lihat pula, akhlak negara maju bahkan bukan hanya mereka yang kebanyakan berhasil untuk menjaga sebuah mood seseorang, namun tingkat kepedulian mereka pun sudah menyentuh ke ranah disabilitas.
Saya seringkali melihat para inovator negara maju berlomba-lomba untuk membuat pembaharuan yang bertujuan untuk membantu atau memudahkan masyarakat di negara mereka. Bahkan ketika masyarakat mereka sudah sangat puas dengan produk inovasi yang dikembangkan, produk tersebut dapat mendunia.
Apa pun dilakukan negara maju untuk membuat masyarakatnya produktif. Bahkan di Singapura, trotoar beratap (covered walkway) terus dibangun karena pemerintah mereka sadar jika masyarakat mereka terlindung dari sengatan panas dan derasnya hujan, tingkat keterlambatan dapat ditekan dan produktivitas dapat digenjot.
Banyak hal yang sangat sepele, namun karena punya dampak positif nan bermanfaat bagi sekitar, tidak luput dari intaian ekosistem di negara maju.
Hasilnya, masyarakat yang bahagia dan produktif akan menambah penghasilan negara lewat pajak yang mereka bayarkan karena minimnya pengangguran. Pada akhirnya, para pejabat tidak perlu lagi melakukan korupsi karena apa yang mereka dapatkan atas kompetensi mereka sudah lebih dari cukup.
Ditambah lagi, bukankah itu sebuah hal yang membahagiakan jika kita berhasil membuat orang lain bahagia?
Masyarakat di sebuah negara seharusnya menyadari apakah tindakan mereka dapat membuat negara lebih maju atau tidak, dimulai dengan memperhatikan sesuatu yang kecil, karena dari masyarakatlah pemimpin mereka lahir.
Tidak ada koruptor yang langsung korupsi besar, para koruptor jika tidak memulai dari pelanggaran kecil-kecilan dan menganggapnya biasa, mereka dapat dipastikan termakan bujuk rayu keji solidaritas mereka.
Namun entah negara maju atau berkembang, negara yang sekarang kita tinggali bagaimana pun adalah rumah kita sendiri. Kita punya hak atas pemerintah, namun kita pun memiliki kewajiban yang harus ditunaikan sebagai warga negara yang baik.