Saya hampir lupa kapan terakhir kali saya menyentuh Photoshop untuk kebutuhan besar seperti memanipulasi foto dan mengerjakan proyek pelanggan. Akhir-akhir ini saya sudah sangat jarang membuka Adobe Photoshop apalagi Illustrator. Sekalipun buka, hanya untuk membuat stiker WhatsApp atau mendesain ringan seperti ucapan-ucapan. Dan itu pun saya tidak ingin memakan waktu lama untuk membuatnya.
Mengapa bisa demikian? Apakah saya sudah tidak tertarik lagi dengan desain grafis?
Bukan itu, tentu saja. Saya masih senang dengan desain grafis. Saya hanya… tidak nyaman. Itulah mengapa saya kemudian pindah menjadi programmer dan saya benar-benar mencintai kegiatan saya sekarang ini. Bahkan tidak jarang, saya diundang menjadi pembicara di workshop atau talkshow ringan membahas programming.
Memangnya apa yang membuat saya tidak nyaman dengan desain grafis? Saya akan jabarkan di artikel berikut.
Saya memang tidak pernah mengaku-aku sebagai seorang “graphic designer” atau “photographer” meskipun dahulu hobi saya memang hampir setiap hari membuka aplikasi-aplikasi pengolah gambar tersebut dan tentu saja, fotografi.
Namun sekarang tidak lagi, bahkan ketika beberapa orang meminta saya untuk saya buatkan mereka logo, banner, spanduk, dan sebagainya, saya menolak dengan mantap.
Saya sudah nyaman menjadi programmer, saya bahkan alhamdulillah sudah memiliki perusahaan sendiri dan beberapa karyawan.
Jadi, apa alasan saya tidak ingin lagi menjadi freelancer desain grafis?
Saya benar-benar ‘lelah’ melihat terlalu banyaknya desainer lewat jejaring sosial bahkan dari yang paling newbie sekali pun. Sejujurnya saya tidak menganggap itu buruk, saya bahkan senang dengan banyaknya bibit-bibit desainer yang tumbuh di negeri ini.
Namun yang menjadi masalah adalah, saya hanya merasa ‘desainer penghuni rumah’ sudah benar-benar membuat rumah menjadi agak sesak. Jadi, entah mengapa saya lebih memilih untuk mengalah dan ‘mundur’.
Bahkan ada penyelenggara acara yang melapor kepada saya, bahwa seminar yang bertema desain bahkan meskipun itu hanya fotografi ringan saja memiliki begitu banyak peminat dibandingkan seminar teknologi lainnya. Sebentar, apa barusan saya menyamaratakan bidang desain dengan teknologi? Jawaban saya adalah 90%.
Apa kabar sekolah desain dan fotografi? Kalian cukup duduk manis di depan Youtube dan tinggal memilih beragam tutorial gratis yang memiliki banyak pilihan tema.
Bahkan tidak perlu tutorial dari luar negeri, dari negeri sendiri pun sudah terlalu banyak orang-orang yang membuat tutorial desain gratis, terkadang ditambah dengan sebuah syarat ringan, yaitu hanya menonton iklan yang dengan mudahnya di-skip.
Belum lagi, aplikasi pengolah gambar semakin ke sini semakin memiliki fitur yang ‘hanya tinggal sekali klik’ yang membuat begitu banyak orang-orang non desainer dengan sekejap mata menjadi desainer profesional, yang hasil karyanya dapat dibandingkan dengan para profesional bertahun-tahun.
Lebih sedih lagi, desainer profesional dadakan tersebut menjadi lebih terkenal dan lebih diakui dibandingkan dengan desainer yang benar-benar profesional hanya karena mereka ‘sedikit’ lebih kreatif.
Sekali lagi, saya tidak mempermasalahkan tutorial, template, atau toolsnya, saya hanya mempermasalahkan bagaimana desainer pemula menggunakan semua itu, alih-alih itu untuk membantunya mendesain lebih mudah, mereka justru menyejajarkan karya mereka dengan para profesional bertahun-tahun.
“Be Yourself”, inilah mengapa desain seseorang dapat dikatakan unik. Namun sayangnya, tren sekarang sepertinya sudah tidak lagi mempedulikan hal itu. Semua seakan menjadi terlalu flat dan membosankan.
Banyak desainer yang terlalu terpaku dengan tren yang sedang berkembang. Saya sekali lagi tidak bilang ini buruk, namun ini seakan kreativitas mereka hanya terpaku sampai sana.
Berapa banyak saya melihat desainer yang mendesain sebuah karya namun semuanya bertema sama? Meskipun karya mereka menakjubkan, namun serius, karya mereka sama sekali tidak menginspirasi.
Ibarat meminum sebuah minuman yang sangat lezat, namun setiap hari menu minumannya hanya itu-itu saja.
Banyak aplikasi ringan yang menyediakan fitur instan yang membuat gambar langsung terlihat keren. Saya paham bahwa developer aplikasi tersebut ingin mempermudah kinerja para desainer, saya pun sering mengumpulkan aplikasi-aplikasi tersebut.
Tetapi, saya melihat ada beberapa desainer pemula yang justru menggunakan aplikasi tersebut sebagai sarana untuk meraih banyak engagement di jejaring sosial.
Coba saja untuk mengikuti sebuah tutorial desain yang menakjubkan, diubah dan ditambahkan sedikit, diputar warnanya, tambahkan watermark cantik di pojok bawah, dan postinglah ke komunitas desainer. Duar! Ketenaran instan.
Ada dua peluang bagi desainer yang merupakan nilai plus untuk bangga menjadi seorang desainer. Dua peluang tersebut adalah kaya dan terkenal, tentu saja. Namun pada kenyataannya, kata sambungnya bukanlah “dan”, melainkan “atau”. Saya yakin ada beberapa desainer yang mendapatkan kedua-duanya, tetapi berapa persen desainer yang hanya mendapatkan salah satu, atau bahkan tidak mendapatkan kedua-duanya?
Ketika seorang desainer mengeluh karena setiap pujian yang ia dapat di jejaring sosial ternyata tidak membuat kehidupan di dunia nyatanya lebih baik, saya memilih untuk mengacuhkan desainer tersebut.
Persepsi kebanyakan manusia secara naluri adalah, ketika seseorang sudah dikenal luas bahkan mendunia, kehidupannya kemungkinan besar sudah sejahtera karena dia terlihat menikmati pujian tersebut di saat yang lain tengah berjuang dalam menginginkannya.
Di sinilah kemudian beberapa desainer mengalami konflik dalam hidupnya. Jejaring sosial menjadi salah satu konflik terbesarnya.
Belum lagi masih adanya kemungkinan para desainer mendapatkan tekanan dari orang-orang sekitarnya yang mencemooh kegiatan desainnya yang tidak begitu terlihat bermanfaat dan membanding-bandingkannya dengan mereka yang sudah memiliki mobil atau rumah mewah.
Bahkan terkadang, karena sudah begitu banyaknya saingan, terutama dari para ‘newcomer’, tidak semua desainer bisa mendapatkan ketenaran selamanya. Kebanyakan desainer hanya mendapatkan pujian seperti, “Mantap”, “Keren”, “Hebat”, “Bikin Bangga”, bahkan hingga diinterview oleh situs-situs desain lokal maupun mancanegara. Setelah itu? Kebanyakan audiens langsung mencari-cari karya desainer yang lain.
Desainer hebat itu, pernah menjadi hebat. Ya, pernah.
Saya akui, dulu alasan saya untuk berkarya adalah bahwa saya ‘haus’ pujian dari orang lain. Namun saya belajar bahwa hampir 90% dari setiap pujian tersebut hanya ‘numpang lewat’. Tidak berarti bagi kehidupan saya sama sekali, kecuali sangat sedikit.
Diperparah lagi, pujian-pujian yang saya terima bisa jadi dapat menyuburkan hasad dan dengki di benak orang lain, padahal saya sendiri tidak begitu mendapatkan apa-apa dari ‘prestasi’ tersebut.
Pujian-pujian tersebut benar-benar menyenangkan untuk didengar, dipandang, dimasukkan ke dalam hati. Apalagi jika karya kita sampai dimuat di media massa. Terkadang kita berdalih bahwa pujian tersebut dapat membangkitkan motivasi. Meskipun itu benar, namun banyak dari kita lupa bahwa pujian-pujian tersebut tidak bertahan lama.
Ada saat di mana orang akan bosan dengan gaya kita, ada saat di mana orang-orang akan meninggalkan kita di saat kita sedang asyik-asyiknya menekuni kegiatan desain kita.
Belum lagi, berapa banyak customer yang ingin desain fantastis namun dengan budget yang minimalis? Andai saja setiap timbal balik positif yang didapat di dunia maya dapat diuangkan…
Lebih buruk dari itu, beberapa customer sekarang yang saya kenal, mereka lebih memilih mendesain mandiri mulai dari logo, brosur, hingga situs web mereka lewat platform desain online murah atau membeli lewat pasar desain yang harganya berlomba-lomba untuk menjadi yang paling murah.
Saya menyerah, saya akan masih tetap mendesain iseng dan ringan, namun saya lebih fokus kepada kegiatan saya sebagai programmer. Alhamdulillah saya lebih nyaman dengan posisi saya sekarang sebagai presdir IT alias CTO.
Kini saya memblokir setiap desainer ‘setengah matang’ yang karyanya begitu mirip satu sama lain walaupun saya akui karya mereka begitu keren dan mengagumkan. Rasa bosan saya dengan karya-karya seperti itu ternyata telah berhasil memendam rasa kagum saya.
Semoga sikap saya yang mengalah ini dapat membantu memperamping ‘rumah’ desain yang sudah begitu sesak dengan para desainer yang jumlahnya semakin membludak. Saya sudah bahagia di rumah saya sendiri.
Untuk para desainer yang tetap bertahan, tetaplah menjadi bagian dari diri kalian. Jika kalian sudah begitu nyaman dengan pekerjaan kalian, tetaplah dalam posisi itu. Bagaimana pun desain grafis tetaplah dibutuhkan, apalagi jika dalam bentuk animasi/motion.
Tetaplah menjadi unik, namun sebaiknya memang tidak perlu berambisi tinggi untuk menjadi sehebat dan sepopuler aktor bintang laga. Desainer tetaplah desainer. Sehebat apa pun desain kalian, akan tetap ada desainer lain yang dapat mengikuti gaya kalian.
Jadi ikuti saja prosesnya, karena apabila sudah saatnya, para desainer akan sejahtera dengan sendirinya.
Desain yang baik bukanlah desain yang hanya mengundang decak kagum seseorang, melainkan desain yang memiliki jiwa yang dapat menjadi teman bagi para audiens.
Saya sendiri jika sedang sedih sering kembali kepada foto-foto yang pernah saya jepret. Jadilah karya yang bukan hanya dapat membuat orang tertawa, namun juga dapat membuat orang tersenyum. Bukan hanya membuat orang wah, namun juga dapat membuat orang terkesan. 🙂
Hari ini karya-karya tersebut sudah jarang. Sangat jarang.
Dengarkanlah komplain. Berkaryalah dari hati, bukan untuk industri.
Ini bener banget. sekarang ini banyak “newcomer” yang merusak harga pasar. Mereka yg menjadi professional dadakan ini, seringkali menjatuhkan harga dengan cara cara konyol. spt memasang harga seharga selembar uang biru untuk sebuah desain logo, atau branding. Akhir nya, harga pasar desain yang tadi nya mahal, jadi dipandang murahan oleh org org kita. Masalah nya gini, masyarakat kita itu belum punya edukasi kalau desain itu ilmu mahal, dan desain itu problem solving. Nah, karena masyarakat kita itu edukasi desain nya masih rendah. seharus nya “newcomer” ini jangan memperburuk pasar. Memang sih rezeki itu dari yang di atas. Memang sih setiap style punya market nya sendiri. permasalahan nya, market yang ada sekarang ini market adalah yang wide. dimana di market skrg ini, standarisasi harga menjadi suatu hal yang rancu. Bercampur baur nya pasar client tidak berduit dan client yang berduit. membuat desain terkadang di sama rata kan harga “upah” nya.
Hai Rizki, terima kasih sudah berkomentar.
Namun apa pun yang dikeluhkan, bagaimana pun itu merupakan peristiwa yang sudah dan sedang terjadi. Saya memahami ‘komplain’ dari setiap desainer baik dari dalam mau pun dari luar negeri karena kebanyakan mereka mengeluhkan hal yang serupa. Ditambah lagi kenyataan bahwa negara ini adalah negara seni, yang artinya, ketertarikan kepada desain dan musik jauh lebih banyak daripada ketertarikan kepada bidang eksak.
Karena banyaknya para seniman itu lah harga jasa jadi begitu anjlok disebabkan sudah banyak orang yang ‘mahir’ walau hanya dengan sekali klik atau via template. Tentu saja ini menjadi tantangan besar bagi para desainer yang berpengalaman. Jika ingin mematok harga mahal kepada customer? Customer akan mencari alternatif lain yang memang sudah banyak. Satu desainer ditolak, seribu desainer akan bertindak (menawarkan jasa mereka), customer pun dapat tidur nyenyak (karena banyak pilihan desainer).
Apalagi dilema dalam bisnis desain adalah wajibnya memiliki skill atau kemampuan ‘bisa membaca kemauan customer meski sang customer tidak dapat mendetailkan apa kemauannya tersebut’.
Pada akhirnya saya membuat template desain mandiri yang dinamis via kodingan hehe… 🙂
Lho admin bisa desain wih keren harusnya kita collabs kalo aku pake inkscape yang gratis tapi bkn kaleng kalen kalo yang mengoperasikannya hebat betulkan
betul apa betul banget..
Hai Dokawa, terima kasih telah berkomentar.
Betul bahwa saya bisa desain, namun sayangnya, sekarang sudah hampir tidak ada waktu lagi saya untuk kembali mendalami desain karena saya memiliki banyak kesibukan selaku pimpinan IT perusahaan dan saya sedang bereksperimen seputar programming. 🙂