“Nguukk… nguukkk…” Malam itu sebuah notifikasi terdengar dari smartphone saya (astaghfirullah gitu amat suara notifnya) dan terlihat ikon Instagram di daerah topbarnya. Eh, seorang teman lama mengirimkan sesuatu di Pesan Pribadi. Dia bilang “Ada di Subang, Curug Cileat namanya, gede banget dan air terjunnya banyak di sepanjang perjalanan.”
“Jengkring!!!” Suara notifikasi piknik langsung berbunyi di otak saya. (Nggak ada sonefek yang lebih bagus lagi ya?! Jangan bilang yang lebih mahal banyakkk!!!)
Ok, ta masukin wishlist yang Cileat itu. Kebetulan saya juga mau bantai setiap air terjun yang ada di Subang! Eh, emang bakal keburu ya waktunya? Ah yang penting saya bisa berbulan madu dengan si Pirikidil lagi ke tempat yang jaooohhh… di sana. 155km, yah masih lebih deket daripada ke Ciletuh.
Oh iya, hari Senin libur soalnya hari kemerdekaan, jadi saya berangkat Sabtunya aja deh. Males soalnya ngeliat kerumunan orang pada ngibarin bendera di air terjun cuma buat foto doang terus sampah berserakan. Merdeka di mananya??? Hahah.
Hari Sabtu itu saya kinclong, dengan penampilan yang begitu bersinar sampai sinar matahari aja udah kayak sinar bulan saking kinclongnya. Siap untuk berkelana ke daerah nun jauh di sana. Weeee ~
Eh, tapi perasaan saya kok nggak enak ya pas mau berangkat? Nggak jadi deh. Saya cari kafe aja. Ngupi sepanjang hari. *padahal yang dipesen susu
Hari Minggunya seperti biasa, saya berangkat siang. Yah gimana udah kebiasaan sih hahah. Saya mencari-cari hotel murah di Subang yang harganya sekitar 100 sd 200ribuan. Ih serius lho, kenapa nggak ada yang kepikiran buat bisnis hotel ramah kantong backpacker missqueen ala ogut di sekitar tempat wisata? Daripada pesen homestay yang harganya gila-gilaan dengan semua furnitur bak sultan? Padahal langkah kaki paling cuma sekitaran tempat tidur sampe kamar mandi doang.
Okay saya langsung cuss jam 10 lewat via pantura dan belok di jalan Industri. Saya melipir sebentar di Purwakarta, tepatnya di Wanayasa sekalian solat Zhuhur, itu masjidnya mantep banget, ada curugnya! Yah meski air terjun buatan sih cuma ya niat banget jadi adem hehe…
Jam 2 siang, saya lanjut ke tujuan. Yes 40 ka’em lagi! Semangat! Semangat!
Eh pas beberapa kilometer lagi saya masuk gang arah Curug Cileatnya, saya ketemu sama gunung aneh tak bernama. Gunung apakah ini?
Gunung Tampomas kah? Oh iya, kan udah deket Sumedang, mungkin gunung Tampomas. Okay, problem solved. Saya melanjutkan berkendara hingga saya sadar kalau gunungnya makin gede dan gede! Tidak! Kau bukan Tampomas! Siapa dirimu sebenarnya?! Kau Apa kau adalah kroninya si Jubah Hitam yang di Detektif Conan itu?! Kau kemanakan Tampomas?! Jawab!
Saya tanya warga tentang gunung apa itu tidak ada yang tahu. Sedangkan pemandangan saya sekarang semuanya di blok oleh gunung itu yang saya tahu dia sedang memperhatikan saya dari kejauhan! Hiii… atut! Kabur ah, kebetulan gang menuju air terjunnya sudah di samping mata jadi saya bisa melarikan diri dari gunung tak bernama yang menakutkan itu.
Alhamdulillah plong juga bisa terbebas dari gunung itu setelah belok. Wah sudah jam 3 sore, kata mbah Gugel masih 5km lagi. Sip udah deket banget. Sekarang pemandangannya benar-benar ciamik! Kanan kiri sawah yang saya bisa berbahagia menikmatinya dan melupakan peristiwa mengerikan dipelototin gunung tak bernama tadi.
Pirikidil pun dengan happi berlenggang kanan berlenggang kiri yang menyusuri jalan perkampungan yang nggak jelek-jelek amat aspalnya, menghayati pemandangan sekitar dan kemudian EH BUSET GUNUNGNYA MUNCUL LAGI! MAKIN DEKET MALAH!!!
Kata gunung: Mau kemana loh! Gak bisa ngumpet sekarang!
Ampun mbah, ampun… mbah cantiqqq deh! Dan akhirnya saya menemui pertigaan dan saya memilih lurus hingga akhirnya saya diberitahu orang desa itu kalau saya salah jalan. Alamak! Untung nanya, mana udah setengah empat sore lagi. Katanya, “Tanya aja di pertigaan, lewat jalan tengah, ada plangnya!“
Hah? Plang? Mana? Lagipula jalan tengah tuh yang mana???
Oh. Di pertigaan belok sedikit dan ada jalan lagi di sebelah pertigaannya. Saya cari-cari plangnya, tidak ada. Sampai akhirnya saya ngeh kalau yang dimaksud dengan plang itu ternyata…
Ucil amaattt plangnaaa…
Mana keliatan say…?
Tapi ya sudahlah, kali ini saya menyusuri perumahan penduduk dan begitu pemukimannya habis saya dihadapkan dengan hutan-hutan dengan jalanan yang hanya muat satu mobil tok. Moga-moga nggak ada mobil lewat dari arah balik… biasanya mobil pickup sih.
Tapi ya sudahlah, seenggaknya jalanannya cukup mulus seperti paha dirikuh… *isinya stretch mark semua. TIDAAAACCCC!!!
Lurus, lurus, lurus, eh nemu lapangan voli! Di situ ternyata pintu masuknya. Saya langsung disuruh parkir dan… wah pengunjungnya banyak, ada yang pakai mobil, namun tentu saja sisanya sepeda motor.
Saya belum ditagih parkir jadi saya melenggang masuk. Tapi kok orang-orang yang baru dateng pada bawa peralatan pendakian ya? Oh bisa kemping juga. Ya sudah saya terus berjalan hingga bertemu dengan loket masuk. Tarif masuknya Rp10k jika tidak kemping dan 20k jika bermalam.
Si Bapak penjaga loketnya punya anak, dan anaknya seakan kaget melihat saya dan terus memperhatikan saya dengan tatapan yang begitu aneh. Kenapa? Ada apa? Kok natapnya begitu? Apa saya semenyeramkan gunung yang tadi??? Apa saya terlihat seperti titisan gunung tanpa nama tadi???
“Pak, sorangan bae eta pak! Sorangan bae! (Pak, sendirian aja itu pak! Sendirian aja!)”
Iya, saya sendirian. Jombs ya begini. *hiks
Si Bapak ke saya: “Aduh dik, udah sore yakin mau naik?”
Saya: “Memang jauh ya pak? Berapa lama?”
Si Bapak: “Curugnya ada empat, cuma ya sekitar satu jam ke sananya. Kalau mau cukup sampai curug satu dan dua saja terus balik lagi. Udah sore dek.”
Saya: “Yang paling bagus curug berapa pak?”
Si Bapak: “Justru curug terakhir yang paling bagus.”
Saya: “(Alamak, rugi juga kalo nggak sampe terakhir udah jauh-jauh ke sini) Nggak apa-apa pak, udah biasa kok! (hahah sombong!)”
Si Bapak: “Dianter anak saya aja ya biar cepet?”
Saya: “Sendiri aja deh pak, tinggal lurus ikutin jalan kan? Yasudah saya buru-buru deh.”
Saya kemudian setengah berlari meninggalkan si Bapak, treknya tiba-tiba melewati persawahan dan mulai menanjak ke atas. Alamak langsung tepar ogut. Naiknya nggak main-main ternyata. Keburu nggak ya? Udah jam empat sore lagi… saya bertemu dengan rombongan orang-orang tua (sekitar 40an sih) yang sudah selesai dari atas dan ingin pulang.
“Semangat! 3 jam lagi!”
What?! 3 JAM! You must not kiddin’ me. Bohong ah, paling cuma satu jam! Saya terus memanjat dengan istirahat selama tiga menit setiap beberapa langkah sekali.
Alhamdulillah bertemu warung, saya ingat saya belum makan siang jadi saya pesan Energ*n saja.
“Dari mana A? Sendirian?” Sapa pemilik warung.
“Iya bu, dari Jakarta.”
Si ibu secara dramatis melotot ke arah saya. Apa? Kenapa? Kok tiba-tiba melihat saya secara tidak wajar begitu. Saya tidak dirasuki oleh gunung tanpa nama yang menyeramkan itu tadi kan???
“Pernah ke sini?” Tanya si Ibu kembali. Saya menggeleng.
“HEEBBBWAATTT!!!” Si Ibu takjub secara luar biasa. Hah? Apa sebegitu ekstraordinarinya kah saya?
Saya kemudian diberitahu si Ibu kalau air terjunnya yang terakhir bisa ditempuh sekitar satu jam lagi jika jalan terus tanpa henti. Saya langsung bergegas, saya pun melihat kabut-kabut mulai turun. Tapi alhamdulillah sih, setelah sampai warung, jalannya agak landai, hampir tidak ada lagi tanjakan curam seperti waktu di awal tadi.
Dan terlihat lagi si gunung tanpa nama itu dari kejauhan, mengawasi saya dari balik punggung-punggung bukit.
Nah, curug satu sudah tiba. 45 menit total saya berjalan dari loket tadi. Alamak hujan… untung saya bawa payung. Aduh mana jas hujan ada di Pirikidil lagi. Ya sudahlah, dengan payung ini episode melenggang putri Disney yang lagi ayannya terulang lagi ya…
Saya tidak terlalu lama berfoto-foto di curug pertama, mengejar waktu. Dan alhamdulillah lima belas menit kemudian tiba di curug dua! Namun tak lama setelah itu tentara kabut sudah mulai menyerang dari langit, membuat segala sesuatunya menjadi menyeramkan. JAM LIMA BUSEDT!
Saya agak berlari, dan menemukan pondok Abah Danu, ada warung, toilet, dan musala, serta banyak pendaki lain yang menggelar tenda. Yasudah, saya beli air minum dan shalat ashar. Katanya air terjunnya tinggal 15 menit lagi, jadi keburu jika maghrib sudah tiba lagi di pondok ini.
Ketika saya mulai menerobos hujan sendirian hanya bermodal payung, saya disoraki setiap orang di pondok, seperti upacara pelepasan kandidat tentara ke medan perang.
Wah alhamdulillah hujannya agak reda, namun saya masih dapat melihat sisa-sisa awannya di persawahan.
Bohong! Sudah lima belas menit saya belum menemukan air terjunnya! Alamak sudah jam lima lewat, keburu nggak ya?
Di tengah kekhawatiran di daerah orang tersebut saya dikejutkan oleh sesuatu yang muncul di hadapan saya.
ALHAMDULILLAH, sudah terlihat pondok warungnya pula. Setelah bersapa ria dengan pemilik warung, saya dengan happi meneruskan sisa perjalanan ke Final Boss! Nah, setelah warung ada tangga menanjak yang saya pikir di atas adalah air terjunnya. Wah nggak sabar saya mendaki tangganya!
Ternyata zonk. 17:30.
Dari sana masih agak jauh ternyata. Yaampun. Jalanannya sudah mulai kehilangan cahayanya, jadi saya dituntut untuk semakin terburu-buru. Mana hujannya deras lagi plus geluduk. Ditambah lagi playlist saya pas banget lagi nyetel lagunya ABBA yang judulnya “I Let The Music Speak”, beuh nuansa horornya jadi 130%. Mamakkk tolong oguttt…
Intinya setelah saya melihat pondok terakhir ya di sanalah tempat berkumpulnya air-air yang ingin pada bunuh diri. TERNYATA GEDDE AIR TERJUNNYA BREY, TINGGI PULAK! Waahamdulillah…
Sayang udah mau maghrib.
Saya hanya berfoto-foto tidak lama, dan ada plang astronaut di depan air terjunnya. Astronaut itu ternyata singkatan, Air terjun S… apaa gituh. Ternyata ada beberapa tenda juga di atas yang dari salah satunya keluar anak kecil yang mau minta difoto di air terjun setelah hujan reda.
Wah, keluarga bahagia ya yang keluar dari dalam tenda. Mungkin mereka mendaki selama 3 jam itu…
Saya tiba-tiba menggigil, seperti ada yang mengawasi. Saya seketika langsung menoleh ke belakang…
AHELAH GUNUNG YANG ITU LAGEEE!!!
Oh iya, udah mulai gelap. Pulang ah.
Ternyata benar, jalanan jadi gelap sumpah. Mana udah maghrib lagi, mana jalanan jadi licin parah lagi. MANA SAYA SENDIRIAN LAGI. Saya mau hemat baterai smartphone jadi saya hanya mengandalkan sisa-sisa cahaya yang ada, berhati-hati meniti jalan setapak yang kanan tebing dan kiri jurang.
Hingga akhirnya… saya benar-benar harus menyalakan senter.
Lalu yang lebih parah? Saya salah jalan. Betul-betul menyasar ke hutan. Sekilas saya mengarahkan senter ke ujung jalan, saya melihat sesuatu yang putih-putih tergantung di atas pohon. Siapa yang pasang spanduk di atas pohon di belantara begini??? Saya langsung kembali lagi mengikuti percabangan jalan lainnya.
Saya tahu itu bukan spanduk. Tapi ya sudahlah. Saat saya tergopoh-gopoh mencari jalan lain itulah saya ngejeledag berkali-kali hingga air minum saya jatuh ke jurang! Ya Allah licin betul jalanannya! Betul-betul hampir nggak ada gaya gesek. Yaampun jadi inget zaman SMP pertama kali kenal pelajaran fisika hahah.
Ngejeladag!
Ngejeledug!
Aduh ini sepatu udah nggak bisa ‘ngegigit’ tanah lagi. Licinnya menjadi-jadi bok… aduh bisa pulang nggak ya? Untung ada orang yang lewat terus saya dianter ke pondok Abah Danu tadi. Saya kasih aja upah meskipun dia tolak. Yah daripada saya bayar hotel mending bayar orang hahah.
Mau nggak mau saya harus menginap di tempat yang saya harus say gutbai dengan sinyal apa pun. Seenggaknya ada tempat buat bermalam lah, alhamdulillah.
Lanjut ngoding offline ah… hahah. Sambil makan P*pmie ~
Yah, baterai laptopnya habis. Sudah jam setengah 10 juga. Yasudah saya juga sudah mengantuk, bobok ah. Untung udah shalat isya, tenang deh. Duh, mana pakaian ganti juga lumayan basah, jaket basah, untung bawa sarung. Tapi ternyata angin malamnya kejam say, lebih kejam dari ibu tiri mungkin. Brrrrr…
Ditambah lagi, mau tidur pun susah karena para pendaki yang sudah pasang tenda mau kemping ternyata lebih memilih menghabiskan malam di pondokan. Mana genjrang genjreng gitarnya berisik banget lagi, seenggaknya nyanyiin lagu buat 17-an besok. Udah gitu yang nggak genjrang-genjreng tuh pada nyaring banget ngobrolnya.
Saya akhirnya keluarin headset, dengerin lagu-lagu lembut dan joyfulnya ABBA, eh alhamdulillah ketiduran.
Yah meski cuma setengah jam doang. Yang ngebangunin saya ya masih lagu ABBA itu juga. Yang genjrang-genjreng masih berisik, yang pada ngomong masih nyaring, cuma saya yang beda sendiri di sini huhu. Angin yang nggak bersahabat itu pun masih menusuk-nusuk tulang dirikuh. Toge dikau wahay angin…
Eh di tengah-tengah saya menggigil itu ternyata saya ketiduran lagi hahah. Mungkin kecapean ya…
Terbangun lagi jam 2.
Akhirnya saya dengarkan lagi lagu ABBA yang sekali putaran hingga seluruh playlistnya habis ternyata sudah jam 4. Wah, cepet juga buat manipulasi waktu hahah, perasaan baru sebentar saya setel, saya juga nggak ketiduran, kemana jam 3 nya???
Eh, tapi… TAPI…! Subhanallah itu bintang-bintangnya terlihat dari pondok. Alhamdulillah sehabis hujan ternyata langit cerah. Kamera mana kamera? Moga-moga keliatan lengan galaksi! Eh nggak ada deng. Tapi serius saya betul-betul harus tahan nafas dan mematung secara totalitas untuk mengambil gambar langitnya. Secara, shutter speednya saya setel ke 30 detik, jadi 30 detik itulah saya nggak boleh gerak sama sekali.
Yah, setelah pengambilan yang ke sekian kalinya untuk membunuh waktu, hasilnya OK.
Setelah shalat subuh saya tidur kembali hingga pukul 6.
Aduh jam 6 pagi saya terbangun kok ya malas ya? Apalagi saya cuma tidur 3 jam kurang. Mana celana sama jaket pada basah, udara pagi masih bikin saya menggigil. Para pendaki pun mulai pada berisik ingin upacara 17-an, saya akhirnya dengan ogah-ogahan memakai celana yang masih sangat dingin dan mulai beranjak turun.
Disapa matahari di pagi itu, saya dapat mengabadikan momen cantik ‘di atas awan’. Eh, bener lho, di atas awan. Subhanallahi wa bihamdih.
Saya meniti jalan pulang dengan gemulai, tidak selicin semalam ternyata.
Eh sebentar, katanya ada empat air terjun, tapi saya kok cuma lihat tiga ya termasuk yang terakhir itu tadi? Yang satunya manaaaa…?
Ok, saya hitung mundur.
Ini curug ketiga, dengan asumsi curug ke empat adalah curug yang besarnya dan yang paling terakhir itu.
Dan ini curug ke dua.
Curug satunya mana?
Sambil lanjut saya berjalan dengan keanggunan *hoekkk udah ah jijikkk malukk sama jenggot! Saya akhirnya tiba di warung pertama untuk sarapan dan saya tahu ternyata curug pertamanya itu ya di warung itu! Ketutupan pohon ternyata! Tinggi juga sih, sori lupa saya foto. *huuuuuu
Si ibu kaget melihat saya baru kembali lagi hahah, hujan sih semalam.
Finally saya kembali ke tempat parkir dan bertemu lagi dengan Pirikidil yang telah diriku telantarkan sepanjang malam, kehujanan. Aduh pikiridil maaf ya daku benar-benar owner yang ja’at! Kupeluk Pirikidil dengan musik latar biola yang menyentuh.
Oh, akang parkirnya nagih. Kalau nginep Rp15k harganya. Ok deh… Kalau nggak nginep paling 5-10k kali ya…
Ya sudah pulang dirikuh. Babai Cileat ~
Apa saya langsung pulang? What? Pemandangan apik di tengah kebun teh Ciater saya langsung pulang??? Wessss, sekali lagi nanya kek gitu ta gampar juga luh hahah. Galak amat.
Saya tahu masih banyak air terjun daerah sini, apalagi pas saya belok ke Ciaternya. Oh hai Tanjakan Emen a.k.a Tanjakan Surga karena langganan kecelakaan itu… kita bertemu lagi setelah kemarin saya dari Curug Cimahi.
Saya emang mau kemana sih nyari mati begitu?
Ke curug Koleangkak yang disebut Cibiru karena saya lihat air terjunnya warnanya biru banget kalau via Google. Dengan tarif masuk Rp10k dan titian tangganya sangat bersahabat, saya kembali melenggang turun.
Tapi mana warna birunya??? Butek begituh!
Yah seenggaknya fasilitasnya sangat tertata, meski tanpa angkot kecuali dengan ojeg setelah turun dari angkot di jalan gede Ciaternya itu. Namun setelah saya lihat Curug Cileat, melihat air terjun begini saya sudah tidak nafsu lagi hahah.
Wah, seenggaknya ada yang jualan seblak! Kebetulan saya mau sekalian maxyy… alias makan xyang!
Di sini fasilitasnya lengkap, dan ramah keluarga juga. Bahagia deh ada air terjun di belakang rumah warga seperti Curug Lontar itu. Air terjunnya juga bisa dipakai berendam dan berenang. Tengkyu deh pengelolanya.
Setelah itu?
Masih lanjut dong ngebandelnya. Kawah Ratu Gunung Tangkuban Perahu! Biaya masuknya kalau weekend untuk satu sepeda motor Rp49k, pengurusnya agak jutek hahah. Seenggaknya kawahnya langsung tersedia begitu saya parkir.
Eh buset, musim wabah begini pada ngumpul begitu rame sumpah sampe saya aja sulit cari parkir. Enggak pake masker, ngegerombol, serba alamak deh pokoknya!
Yasudah, saya buru-buru pulang setelah shalat zhuhur. Lagian cuma liatin cekungan batu begitu apa lagi yang mau dinikmatin? Hahah somse! Dah bye…
.
.
.
Sebentar, saya masih penasaran ini tuh gunung APAAAA???!!!