Penjelasan awal:
Artikel ini hanyalah sebagai pembanding dan sebagai pembelajaran semata, tidak ada kecenderungan apa pun dan keberpihakan kepada siapa pun. Sebagai bukti saya benar-benar netral, mohon agar dilihat kembali artikel saya yang membahas masalah-masalah sosial.
Terima kasih. π
Senin itu, sebuah pemandangan yang tidak menyenangkan, terjadi lagi. Saya menegur seorang pedagang kaki lima yang mengganggu namun yang saya dapat adalah hardikan balik, padahal dia yang salah karena meluaskan lapak dan ‘jorok’.
Sebelum-sebelumnya, saya memang tidak mau ambil pusing dengan para PKL yang berjualan di tempat yang dilarang seperti di jembatan dan trotoar karena pikiran saya satu, “mereka sama-sama mengais rezeki”, meskipun cara mereka kurang tepat.
Semenjak kejadian itu, rasa hormat saya mulai berkurang kepada para pedagang tersebut. Tidak peduli yang lain hanya beralasan “itu hanya oknum” tetapi kita tidak tahu sudah berapa banyak oknum-oknum yang bermunculan bak jamur di musim hujan. Otomatis saya laporkan ke provinsi, namun lagi-lagi respon yang saya terima cukup lambat.
Kemudian saya teringat sesuatu, yang membuat saya rindu.
Miracle Maker, seseorang menyebut seperti itu untuk orang yang manfaatnya dirasakan oleh khalayak luas, termasuk saya. Saya sendiri adalah tipikal orang yang sangat mudah terharu jika memang seorang manusia memiliki ‘posisi penting’ dalam masyarakat. Orang-orang yang disebut dengan Miracle Maker adalah manusia bermanfaat yang membawa kebahagiaan sendiri jika kita mendengar sesuatu dari hasil kerjanya.
βSebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.β
(HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jamiβ no:3289)
Siapa yang tidak ingin menjadi manusia terbaik yang mencurahkan kebaikan bagi dirinya sendiri dan orang lain? Kita pastinya senang ditraktir orang, namun bagaimana jika yang mentraktir kita juga mentraktir seluruh anggota keluarga kita? Apakah rasa senangnya juga bertambah?
Begitu pun jika kita sudah berhasil memberikan sesuatu yang bernilai kepada orang-orang yang kita cintai. Melihat kebahagiaan mereka juga merupakan bagian dari kebahagiaan kita, bahkan orang yang kita cinta jumlahnya lebih dari satu dan kita berhasil membahagiakan semuanya, seakan itu menjadi sebuah ‘prestasi’ yang sangat penting dalam hidup kita.
Kebermanfaatan kita bukan hanya membuat diri kita bahagia dan akan menambah rasa hormat orang lain kepada kita, namun juga memiliki potensi disebut sebagai salah satu manusia terbaik berdasarkan hadits Rasulullah saw. di atas.
Kini, poin saya tertuju kepada orang-orang yang disebut sebagai Miracle Maker di mana manfaat orang tersebut bukan hanya dirasakan oleh satu, atau dua orang, melainkan dalam jumlah yang sangat besar! Sebuah cita-cita setiap orang sepertinya, untuk memiliki karya yang dapat membuat orang lain menghormati dirinya.
Orang-orang yang saya sebut Miracle Maker memang memiliki dampak positif yang sangat dirasakan orang banyak termasuk saya. Setiap orang mungkin memiliki pilihan mengenai siapa Miracle Makernya masing-masing. Atau barangkali memang kita sendiri justru bercita-cita menjadi Miracle Maker tersebut?
Menjadi orang yang menebar kebaikan yang manfaatnya dirasakan oleh masyarakat luas seringnya memiliki halang-rintang yang cukup tangguh untuk dihancurkan. Kita berbicara bahwa masyarakat kita masih sulit untuk menerima perubahan baik dan berpindah dari ‘budaya’ lamanya yang memang tidak dibenarkan. Pertentangan demi pertentangan cukup hebat dirasakan bahkan hingga ancaman dan kekerasan. Hanya orang yang benar-benar memiliki dedikasi tinggi yang bisa tahan atas ujian-ujian tersebut.
Kita lihat betapa hebat para Nabi dan Rasul dahulu dalam mendakwahi umat-umat mereka yang membangkang.
Di zaman saya, hingga saya menuliskan artikel ini, apakah masih ada orang-orang yang disebut dengan Miracle Maker? Tentu saja. Inilah alasan saya membuat artikel yang sedang kalian baca.
Mungkin di bawah ini akan saya tuliskan satu, atau beberapa nama orang yang kalian tidak suka.Β Tapi cukup rendahkan dahulu ego kita masing-masing, karena sekarang tidak ada hubungannya dengan apa pun kecuali sebagai pembelajaran.
Syukur jika kita bisa lebih baik dari mereka.
Dulu, pertama kali naik KRL (Kereta Rel Listrik) atau yang disebut-sebut sebagai Commuter Line yang melayani Jabodetabek, saya ingat betul betapa repot dan kumuhnya suasana kereta. Pedagang asongan dan pengamen (dan dahulu masih zamannya orang-orang naik ke atap kereta) sangat mengganggu kenyamanan bahkan saat kereta sedang sangat penuh sekali pun. Petugas di lapangan pun terlihat malas dan sangat tidak menyenangkan.
Muncullah sebuah nama Ignasius Jonan, yang dulu menjabat direktur KAI 2009-2014 yang pada saat itu masih asing di telinga saya. Waktu itu saya tidak tahu siapa beliau, karena saya sendiri memang tidak mau tahu-menahu siapa orang yang memang tidak memiliki pengaruh dalam hidup saya.
Barulah waktu 2014, saya kembali menaiki KRL karena diajak oleh teman saya. Saya cukup kaget bahwa pada saat itu keadaan berubah total.
Petugas ramah, stasiun diimprovisasi, tidak ada lagi pedagang dan pengamen, apalagi atapers. Semuanya kereta bahkan sudah setara, tidak ada lagi kasta ekonomi maupun bukan. Tentu ini menjadikan saya auto-betah naik mode transportasi yang satu ini.
Lebih dari 200 pekerja diganti dengan yang lebih baik. Hasilnya adalah PT. KAI berhasil membalikkan kerugian Rp83,5 milyar pada tahun 2008 menjadi keuntungan Rp564 milyar setahun kemudian. Bahkan di akhir jabatannya, tercatat laba Rp15,2 trilyun.
Perjuangan pak Jonan pasti menemui banyak hambatan waktu itu. Bahkan pernah diprotes mahasiswa-mahasiswa Universitas Indonesia karena beliau ‘mengusir’ pedagang di kawasan stasiun. Pak Jonan hingga meminta bantuan TNI untuk mensterilkan kawasan stasiun bahkan sampai tidur beberapa hari di kereta demi memantau kualitas pelayanan kereta.
Setelah pak Jonan berhenti dari jabatan beliau, hingga kini saya merasakan hasil dari kerja kerasnya selama ini.
Orang-orang mengenal saya adalah pecinta Transjakarta. Kendaraan umum yang hanya seharga Rp3,500 itu benar-benar primadona pada saat itu. Saya membela setiap karyawan TJ dari orang-orang rewel yang mengeluh ini itu.
“Murah kok minta macem-macem.” Pikir saya waktu itu.
Namun akhirnya saya tidak bisa menyangkal pelayanan TJ yang pada waktu tahun 2012-2013 itu memang sangat buruk. Saya bahkan sempat bertengkar dengan petugasnya karena memang mereka tidak memiliki kode etik. Bus kualitas buruk dan sering terbakar menjadi mimpi buruk lainnya. Ditambah lagi, kedatangan bus tidak pasti dan tidak adanya yang dapat diajak berkordinasi.
Saya minggat dari TJ, beralih ke KRL.
Pak Kosasih yang sempat menduduki jabatan direktur utama TJ pada tahun 2014 ternyata tidak membawa hasil yang signifikan, namun saya menyukai ketersediaan beliau menampung setiap aspirasi para customer di akun Twitter beliau, setidaknya memberi ‘sedikit’ angin segar.
Namun pak Kosasih ternyata diganti kembali oleh orang yang tidak saya kenal. Pak Budi Kaliwono. Beliau tertutup, dan serba entah. Saya pesimis TJ akan menjadi lebih mundur.
Dugaan saya salah. TJ di bawah tangan beliau sukses besar, membalikkan rating saya atas TJ dari 3 (4 di zaman pak Kosasih) menjadi 8+! Saya melihat petugas menunggu penumpang yang ingin naik saja sudah terharu. Ditambah TJ punya branding baru, font dan grafis sejuk yang menggambarkan identitasnya, dan yang terpenting memiliki customer service yang cepat tanggap serta control room.
Jujur, saya sangat bangga adalah ketika dulu saya ingin TJ punya rute Ciputat, BSD, dan Islamik/Karawaci (dulu tempat tinggal saya), bahkan hingga tarifnya tidak Rp3,500 pun tidak masalah. Kalian tahu, semua terealisasi di zaman pak Budi dengan tarif tetap. Semua monitor kedatangan dan petunjuk arah sudah dipasang dengan sangat baik.
Makanya, begitu saya tahu beliau dicopot, entah mengapa air mata saya seakan ingin mendobrak mata saya. Saya sendiri tidak tahu mengapa saya harus bersedih atas dicopotnya jabatan dari seseorang yang bahkan tidak saya kenal. Mungkin karena beliau adalah salah satu Miracle Maker yang paling berpengaruh dalam kehidupan saya.
Tentu saja pasti banyak pengalaman pahit yang pak Budi jalani saat masa-masa tugas. Dari mulai dikecam oleh karyawan internal itu sendiri karena memerintah terlalu ketat, demo, hingga tuduhan korupsi. Belum lagi pembukaan rute baru yang membuat ricuh rute-rute angkutan umum yang sudah ada. Terlebih, rumah beliau pernah dilempar bom molotov saat demonstrasi besar-besaran para karyawannya.
Namun beliau bekerja untuk masyarakat, di mana rakyat yang telah terbiasa naik TJ dari sebelum pak Budi menjabat akan menikmati besarnya manfaat setelah beliau mengambil andil. Silakan dilihat kembali prestasi beliau yang membuat TJ #kinilebihbaik:
Yang terakhir ini sangat kontroversial. Bahkan sebenarnya sudah saya harus hapus dari daftar Miracle Maker di kehidupan saya. Tetapi mengingat saya pun pernah merasakan bahkan hingga sekarang masih merasakan hasil jerih payahnya, saya memutuskan untuk menjaga orang ini dari daftar Miracle Maker saya sebagai pembelajaran.
Adalah Basuki Tjahtja Purnama atau sering disapa Ahok, sempat saya demo karena dia melecehkan agama saya. Dan saya tidak terima. Namun apakah saya kemudian membenci Ahok? Jujur, ketika dia terpilih di 2012 silam saya termasuk haternya. Bagaimana tidak? Ahok memiliki suku dan agama yang berbeda dengan saya dan masyarakat yang akan dipimpinnya. Tentu ini adalah sebuah kekhawatiran mengingat saya memang tidak tahu bagaimana nanti kepemimpinannya.
Apalagi setelah saya melihat berita gusur-menggusur yang terlihat kejam dan seringnya Ahok berkata kasar. Sempurnalah kebencian saya.
Tetapi saya sedikit ‘luluh’ ketika saya membuat E-KTP di sebuah kantor kelurahan di Jakarta Pusat, semua tertata rapi. Bahkan secarik kertas mungil yang bertuliskan anjuran untuk melapor jika pelayanan tidak memuaskan sedikit menyentil batin saya. Saya ingat tiga tahun lalu ketika saya membuat KTP, saya tidak bisa membedakan mana pasar dan mana kantor kelurahan.
Di sebuah puskesmas di daerah Jakarta Selatan pun saya masih menemukan pelayanan mudah dan membuat haru saya.
Yang lebih membuat saya kaget? Pasti dapat kalian tebak, saat saya melewati Tanah Abang. Kemarin, saya hampir tidak dapat melewati jalan tersebut meski dengan berjalan kaki karena riuhnya para pedagang kaki lima menduduki aspal jalan. Saat Ahok menjabat, seakan kejadian kemarin hanyalah mimpi buruk saya karena kebablasan tidur siang.
Laporan selalu ditangani dalam waktu tiga hari. Bus Transjakarta didatangkan dari Swedia menyingkirkan bus-bus tua yang tidak layak jalan. Birokrasi dipermudah. Taman-taman diperindah. Apa lagi yang kurang?
Tapi kan Ahok begini dan begitu! Ya, saya juga sama mengakui itu. Cuma mau sampai kapan kita tidak mengambil hikmahnya? Jangan khawatir, saya mematuhi Al-Maidah ayat 51 bahkan saya pernah tulis artikelnya di sini. Namun bukan berarti saya harus menafikan hal positif yang telah dihasilkan oleh seseorang Ahok bukan?
Bahkan sampai sekarang, saya mengakui masih memakai underpass dan flyover beliau, termasuk busway koridor 13 yang amazing, meskipun prasarananya masih belum begitu bersahabat oleh semua pihak.
Sedangkan hari ini… saya melaporkan aktivitas pedagang kaki lima yang meresahkan saja tidak ada tindaklanjut. Mereka makin berani meluaskan lapaknya di jembatan dan trotoar.
Tidak, saya tidak membenci pedagang kaki lima, namun hingga hari dituliskannya artikel ini, mereka justru semakin mengganggu kenyamanan pejalan kaki dan merampas lajur-lajur yang bukan haknya.
Jangan menggampangkan masalah orang lain, karena nanti jika ada orang yang kalian tidak suka mengambil alih peran kalian maka kalian pasti tersingkir.
Ini sudah sangat sering terjadi di negara kita.
Maka dari itu saya sudah berhenti berucap, “Kan masih bisa begini…”, atau “Kan, bisa begitu…”, atau bahkan, “Murah kok minta yang macam-macam…” kepada orang lain.
Saya hanya beri solusi yang memudahkan atau diam.
Apalagi saya menyadari setiap Miracle Maker yang saya miliki hampir semuanya non-muslim. Yang merasa muslim seharusnya malu, termasuk saya, mengingat negara tercinta ini mayoritas adalah muslim.
Mungkin kalian memiliki Miracle Maker kalian yang beragama Islam di mana hasil dari kinerjanya kalian rasakan sendiri dengan maksimal, tidak setengah-setengah. Seharusnya merekalah yang kalian jadikan teladan. Karena Nabi Muhammad, Rasulillah saw. benar-benar menegaskan pentingnya akhlak horizontal kepada orang lain, bahkan yang tidak kita kenal. Berapa banyak hadits Beliau yang menyuruh kita untuk memudahkan hajat orang lain? Sudahkah kita tiru sebelum orang lain yang ‘merebut’ kesempatan tersebut?
—<(Wallaahu A’lam Bishshawaab)>—