Membangun Generasi

“Ayo pulang udah mau magrib! Nanti diculik Kalongwewe lho!”

Sayup-sayup terdengar suara ibu atau bibi kita memanggil kita yang tengah main petak umpet, berlatar langit yang sudah kemerahan.

Khusus kaum yang pernah merasakan masa kanak-kanak di bawah tahun 2000, ada hal menarik yang ingin saya bahas di sini.

Sebelumnya, saya tadinya bingung ingin memasukkan artikel ini ke kategori Seram atau Opini. Tetapi karena bobot kategori Seram lebih besar, jadi saya masukan saja ke Seram hehe…

Kalau kita membayangkan masa kecil kita secara samar-samar di tahun 2000 atau sebelum itu, kita akan menemukan kepribadian kita yang mungkin jauh berbeda dengan yang sekarang ini.

Dari segi kedisiplinan, terutama. Jam enam sore hampir seluruh keluarga kita telah berada di rumah, dengan ibu, atau bibi, atau kakak perempuan kita menutup gorden jendela.

Semua aman berada di dalam rumah, kecuali mereka yang ingin berangkat salat magrib atau mengaji hingga isya.


Sebuah jasa?

Apabila kita bandingkan dengan sekarang, sepertinya tradisi pulang sebelum magrib sudah jarang lagi terlihat.

Hari ini, saya sendiri kerap melihat anak-anak di bawah umur masih berkeliaran di jalan-jalan, di restoran, di kafe, di warung internet, mengobrol dengan sesamanya terkadang dengan bahasa-bahasa yang tidak pantas.

Padahal dahulu kita benar-benar disiplin dan menurut. Sebelum pukul enam sudah ada di rumah dan mandi sore. Setelah itu pukul sembilan atau sepuluh paling malam kita sudah tidur.

Kemudian saya ingat, mereka yang pernah dahulu ikut mendisiplinkan kita ternyata sudah hampir tidak ada lagi sekarang ini.

Dahulu, orang tua atau pengasuh kita sering menakut-nakuti kita dengan legenda urban menyeramkan supaya kita menurut dan tidak banyak melawan.

Secara manusiawi itu menyeramkan dan berpotensi menimbulkan trauma. Namun nyatanya cara itu terbukti ampuh untuk mendisiplinkan sebuah generasi.

Saya pernah jadi seorang anak yang hiperaktif. Bibi saya yang membantu ibu saya mengasuh saya waktu itu kewalahan dalam menyuapi saya makan karena saya tidak bisa diam dan kerap mengemut makanan.

Sampai akhirnya, ada tayangan misteri yang saya lupa nama setannya, senang menculik anak-anak dan kami menonton itu. Kalau tidak salah, Setan Lodrok ya namanya? Saya cari di internet tidak saya temukan.

Intinya itu, saya waktu itu menyebutnya setan Lodrok.

Saat saya mengemut makanan, bibi saya cukup mengatakan bahwa ada lodrok mengintip saya dari balik jendela, dan itu membuat saya langsung lanjut mengunyah.

Itu baru salah satunya. Sisanya cukup banyak yang ingin saya ceritakan.

Tetapi apakah semua itu hanyalah legenda urban semata? Di sini baru saya akan memastikan kalau artikel ini memang layak masuk kategori Seram. 😋


Kisah urban yang berarti

Ibu saya pernah menegur saya di senja hari karena masih bermain sepeda roda tiga di sebuah jalan kecil yang waktu itu masih banyak pohon bambu dan pohon kapas.

Sambil berlari-lari, ibu saya tidak marah dan tidak membawa peralatan untuk menyabet saya waktu itu. Beliau cuma terlihat agak takut lalu menarik saya pulang.

Beliau bercerita, bahwa belum lama dari ini, ada seorang anak di wilayah yang dekat rumah saya waktu itu, hilang saat bermain kala magrib.

Setelah berhari-hari hilang, ternyata ada warga yang melapor menemukan seorang anak di gedung yang sedang dibangun. Si anak berada di salah satu lantai gedung yang masih berbalut beton saja.

Warga heran apa yang menyebabkan anak bisa menyasar hingga setinggi itu dan luput dari penglihatan sekitar. Si anak juga terlihat linglung dan agak hilang akal sehatnya.

Konon, ada yang melihat sesuatu yang terbang mirip Wewegombel, dengan payudara panjang terjulur dan menuju salah satu lantai gedung yang belum jadi itu. Kejadiannya pada saat itu sudah hampir malam, jadi mungkin itu hanya asumsi.

Si anak pun sudah dalam keadaan bertabur kotoran, entah kotoran debu, hingga kotoran hewan. Katanya, itu yang selama ini menjadi makanan si anak selama ‘dipelihara’ oleh Wewegombel. Dalam pikiran si anak, makanan tersebut adalah makanan lezat karena pengaruh ilusi.

Cerita ini terjadi di sekitar Kebon Kacang, Jakarta Pusat. Seingat saya tahun 1999. Saya masih SD pada saat itu, entah kelas dua atau kelas tiga.

Setelah itu, seperti sebuah keajaiban, hampir setiap anak menjadi secara tiba-tiba sudah di rumah mereka sejam sebelum magrib tiba.

Entah saya ingin berterima kasih atau tidak kepada makhluk apa pun itu yang telah berpartisipasi mendisiplinkan kami pada saat itu.


Bermigrasikah?

Tahun 2006-an, saya melihat iklan dari KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang mulai melarang seluruh tayangan horor di televisi.

Di satu sisi saya mengerti kalangan yang memang tidak menginginkan tayangan berjenis itu di layar kaca mereka. Tetapi di sisi lain, semakin ke sini banyak anak-anak yang semakin berani keluar hingga larut malam.

Bahkan ibu saya berkata, pada saat itu kuburan telah kehilangan ‘wibawa’nya menjadi salah satu tempat menyeramkan. Muda-mudi sudah mulai menjadikannya tempat untuk berpacaran.

Oh iya, saya mengetik artikel ini pukul setengah sebelas malam di salah satu kafe di Jakarta. Saya masih melihat anak-anak di bawah umur berkeliaran di sana dan di sini, sebagiannya sibuk dengan ponsel mereka, menggoyang-goyangkan kepala mereka.

Terkadang karena para anak muda sudah larut ke dalam dunianya sendiri, mereka menjadi tidak peka terhadap sekitar. Tidak jarang, banyak anak yang kehilangan rasa hormat mereka kepada orang yang jauh lebih tua karena tidak lagi ada kontrol.

Kemana mereka yang pernah turut mendisiplinkan generasi saya dulu?

Jakarta dahulu pernah sepi selepas pukul sepuluh malam. Di lingkungan rumah saya, mungkin hanya ada beberapa anak muda bercengkrama dan itu pun tidak jauh dari rumah-rumah mereka.

Pernah saya mendapatkan cerita, ada beberapa pemuda yang terbangun hingga larut malam, bermain kartu dan berisik di tempat yang katanya angker. Ada warga yang bercerita, bahwa tiba-tiba para pemuda itu mendatangi rumahnya dengan berteriak ketakutan.

Katanya, di tengah mereka bermain kartu tengah malam itu, tiba-tiba ada pocong terbang dengan goyangan aneh seperti ikan berenang, menuju ke arah mereka.

Setelah itu, para pemuda tidak lagi menyianyiakan waktu malam mereka.


Sang pendisiplin terlupakan

Dahulu, para orang tua keras menyuruh anak mereka untuk mencuci kaki jika baru pulang dari luar, setidaknya sebelum tidur.

Jika tidak? Rumahnya akan mendapatkan teror dari sesuatu yang kalian sudah dapat menebaknya.

Dan itu benar, ada seorang gadis yang melanggar hal itu, pulang malam langsung tidur, kemudian pintunya digedor dan dilempar sesuatu. Ayahnya yang membuka pintu malam itu, langsung menutupnya kembali sembari memarahi si anak gadis.

“Lain kali kalau habis dari luar, cuci kaki!”

Saya tidak tahu, seakan konsekuensinya lumayan instan yang kita terima saat itu jika kita memang sengaja tidak menurut.

Maka dari itu, tidak heran jika saya melihat generasi saya dahulu, begitu disiplin jika saya bandingkan dengan generasi saat ini yang sudah tidak terkontrol.

Saya sendiri agak merindukan masa-masa saya itu saat menyadari jadwal saya hari ini yang sudah semakin berantakan. Masih ada keinginan saya untuk kembali tidur paling malam pukul sebelas dan kembali dapat bangun pagi tanpa harus mengantuk siangnya.

Saya dulu bisa melakukan itu.

Terkadang saya ingin berterima kasih kepada apa pun itu yang telah turut serta membentuk karakter generasi yang saya ada di dalamnya.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Kripikpasta 51: Aku Bisa Melihatnya

    Berikutnya
    Horor Pendek 48: Zaman Dahulu Kala


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas
    Pakai tema horor