Aku Bisa Melihatnya
urban legend by : anandastoon
Siang itu aku terduduk di bangku taman, bersantai menikmati masa lajangku di usiaku yang sudah hampir menyentuh 40 ini.
Tidak ada barang elektronik di sekitarku, termasuk telepon genggam. Aku hanya ingin menikmati sekeliling, mengingatkanku masa-masa aku dulu bisa tentram sewaktu masih sekolah.
Orang-orang hilir mudik, tatapan mereka terpaku kepada layar ponsel. Mereka yang sedang berjalan-jalan dengan hewan peliharaan mereka, mereka yang bersama anak dan pasangan mereka, semuanya terlihat begitu kaku dan tidak berwarna.
Sampai akhirnya tatapanku mengarah kepada sebuah bayang-bayang teduh di bawah sebuah pohon rimbun.
Seorang gadis yang menurutku cantik berrambut hitam terurai, menatapku juga dari sana. Aku melambaikan tangan ke arahnya, ia tersenyum. Usianya mungkin kutebak sekitar sepuluh tahun-an.
Aku melihat sekeliling, tidak ingin aku mendapatkan penilaian yang aneh-aneh seperti pedofil atau yang semacamnya dari sekitar.
Keramaian masih terlihat sunyi, kaku tak ada yang menyadari. Kulihat anak gadis itu bergerak perlahan menuju ke arahku, tersenyum.
Benar, bergerak. Bukan berjalan. Aku melihatnya bergerak, bukan berjalan.
Kakinya tidak menapak, seakan ia mendekatiku dengan berdiri di atas travelator, seperti eskalator namun datar.
Dari sini aku tahu kalau dia bukanlah manusia. Tapi apa iya di siang hari dan di tengah keramaian begini ada hantu? Tetapi aku meyakinkan diriku memang tidak sedang berhalusinasi.
Si gadis terus mendekatiku, menembus orang-orang yang lewat tanpa adanya halang rintang.
Sampai akhirnya ia berada di hadapanku. Ia terkikih sambil membuka percakapan,
“Paman bisa melihatku…”
Suaranya kecil namun menggema. Aku tidak bisa mendeskripsikannya. Ada semacam suara lengkingan kecil mengikuti suara tinggi ‘manis’nya.
Aku seketika berubah menjadi takut. Aku sempat tersenyum gugup, menjawab “iya”.
Segera saja aku meninggalkan taman itu sembari memasang headset dan menyetel musik dari ponselku. Untung saja aku bawa ponsel setidaknya.
Namun aku mendengar gadis hantu itu berbicara, “Terima kasih m…” aku tidak tahu apalagi kelanjutannya karena tombol ‘Play’ sudah aku tekan dari ponselku.
Tetapi aku tidak ingin berpikir macam-macam. Mungkin ia adalah hantu yang kesepian. Penilaianku si gadis itu adalah hantu yang baik.
Aku tinggal di sebuah kontrakan kecil bersama teman sekamarku yang juga berusia 30-an dan masih lajang. Namanya Berto. Jadi aku tidak benar-benar kesepian, dan pastinya kami berdua bukan gay.
Malamnya aku pergi menyikat gigi sebelum pergi tidur. Lampu kontrakan tidak aku nyalakan semua agar ada penghematan biaya listrik. Kami bahkan mengandalkan sebagian sinar lampu jalan yang masuk sebagai penerangan kamar tidur.
Aku berkumur, membuang sisa busa pasta gigi, dan menutup kembali keran yang membawaku kembali kepada kesunyian.
“Paman…” Sebuah suara melengking mengagetkanku.
Aku berbalik, mencari asal suara. Bulu kudukku berdiri seketika, aku langsung tahu suara itu, dari mana lagi?
Aku kembali melihat ke arah cermin di atas wastafel. Kosong, tidak ada siapapun. Padahal ada sedikit terbetik aku akan melihat sosok di belakangku dengan mata merah menyala dan berteriak ketakutan.
Mungkin hanya imajinasi, tetapi detak jantungku tidak berkata demikian. Sesampainya ke atas kasur pun aku pun masih merasakan detak jantung yang tinggi.
Aku melihat Berto sudah tertidur di sisi lain jadi aku tidak lagi begitu khawatir.
Selimut kutarik menutupi sebagian wajahku dan berusaha untuk tidur. Hanya saja sebelum itu aku tertarik untuk melihat beberapa reels Instagram sebelum mataku benar-benar meminta untuk berhenti sepenuhnya.
Saat melihat video-video meme kucing pendek, ponselku mengeluarkan notifikasi dari Whatsapp. Aku coba klik pesan dari siapa malam-malam begini.
“Bro… tadi gua ada panggilan shift mendadak gantiin temen kerja. Mau bilang tadi tapi lo lagi ada di kamer mandi.”
Sebuah chat yang membuatku beku di depan layar selama beberapa detik.
“Paman… Paman belum tidur…?”
Suara di belakangku kembali menggema. Cuma kali ini tidak lagi terdengar seperti suara gadis kecil, melainkan seperti seorang wanita dewasa yang agak serak.
Sial, sial, sial!
Aku memejamkan mataku dengan segera berharap langsung bisa tidur. Aku tidak berani menoleh di kamar yang penerangannya hanya bermodal sisa sinar dari lampu jalan saja.
“Pamaannn…” Suara itu masih memanggil, bahkan semakin mendekatiku.
Semoga dia tidak tahu jika aku sedang berusaha untuk tidur. Mataku aku pejamkan sekeras mungkin sebab paniknya.
Sesuatu yang basah tiba-tiba hinggap di atas leherku, aku tidak tahu itu apa, dan tidak ingin tahu itu apa. Bergerak mengelusku menuju pipi.
“Pamaaannnn…”
…
Pagi itu aku terbangun, kelelahan. Jantungku ternyata masih berdegup kencang. Sinar lampu jalan tadi malam sudah berubah menjadi sinar langit yang sudah semakin terang.
Berto masih belum pulang dari shift malamnya, jadi aku bergegas mandi dan berangkat kerja.
Aku menganggap semalam hanya mimpi buruk.
Kukendarai mobil di tengah kota menuju gedung kantor, melihat spion untuk berganti lajur.
Tanpa sengaja kulihat rambut dari kaca tengah. Rambut hitam yang sepertinya pernah kulihat.
Segera kutoleh ke kursi belakang…
Kosong.
Bersamaan dengan itu aku dengar sayup-sayup suara tawa terkikih anak gadis muda.
“Tolong jangan ganggu aku, biarkan aku sendiri! Aku tidak mengganggumu siapa pun itu!” Aku berteriak hingga membuat pengemudi di sampingku menoleh ke arahku.
Setidaknya teriakanku tadi membuatku bisa datang dan parkir di gedung kantorku dengan tenang, meski hanya sementara.
Lagi, suara langkahku dari tempat parkir di basement menuju lift seakan ada yang mengikuti. Sebuah langkah kecil yang cepat, namun jaraknya sepertinya seirama denganku.
Aku menghela nafas, berpikir positif jikalau aku mengabaikannya, ia akan pergi dengan sendirinya.
Untunglah di lift aku tidak sendirian. Tetapi tombol lantai kantorku agak basah saat kutekan. Hanya tombol itu saja…
Aku tidak ingin berpikir macam-macam jadi aku hanya membanting diriku ke atas kursi kerja yang empuk dan menatap layar monitor komputer yang sebentar lagi kunyalakan.
Kulihat dari pantulan layar, ada kepala perempuan melayang di belakangku. Aku langsung menoleh segera ke belakang, yang seperti biasa, kosong. Tetapi sempat kuperhatikan daun tanaman di ujung tembok di belakangku bergoyang cepat seketika.
Seolah-olah hantu itu mencoba bersembunyi dariku.
“Hoy!”
“AAAHHH!”
Rekan kerjaku ternyata menyapaku, aku kaget bukan kepalang. Untung saja belum ada siapa-siapa di ruangan selain kami berdua.
“Kenapa? Tumben nggak wajar begini?”
Alhasil kuceritakan semua. Ia akhirnya memberi saran agar aku mendatangi orang pintar. Percakapan itu ia tutup dengan sebuah pernyataan,
“Mereka itu sama kayak kita manusia. Kita nggak pernah bener-bener tau kalau yang kita sapa itu beneran baik atau cuma keliatan baik…”
Aku memutuskan meminta pulang cepat kepada atasanku dengan alasan ada suatu urusan.
Pukul tiga sore aku sudah bergegas dengan bersambut tatapan bingung dari rekan kerja seruangan, kecuali ia yang sudah tahu waktu pagi itu tadi. Jadi biarlah ia saja yang menceritakan kalau ada yang bertanya-tanya.
Aku tiba di basement parkir.
“Pamaaannn…” Sebuah suara berat dan serak kembali terdengar.
Di parkiran, dari sisi kiri kulihat seorang perempuan tua hitam legam memperhatikanku dengan mata putihnya, maksudnya matanya benar-benar putih semua.
Aku menoleh ke arahnya dan sosok itu hilang dengan cepat di antara tiang-tiang parkir basement.
Kupercepat langkahku dengan setengah berlari. Aku tidak ingin melihat spion atau cermin mana pun dalam mobil saat keluar gedung. Aku hanya ingin cepat-cepat terbebas dari apa pun yang sedang menerorku ini.
Orang pintar yang dimaksud rekan kerjaku, beralamat satu jam perjalanan dari kantorku.
Akses ke rumahnya yang kutahu cukup terpencil di antara perbukitan, namun setidaknya didahului dengan akses tol yang bisa memangkas waktu.
Kutancap gas.
“Paman…”
Suara-suara itu terus muncul sepanjang perjalanan dan aku berusaha tidak memperhatikannya, aku mencoba tidak menganggapnya.
Aku baru sadar ternyata suara itu silih berganti dari suara anak kecil yang waktu itu kutemui di taman, suara wanita dewasa, sampai suara wanita tua. Hal itu memicuku untuk berpikir sesuatu namun aku hanya ingin berusaha untuk fokus mengemudi.
Jalan tol tak terasa sudah berganti menjadi jalan berliku di antara perbukitan.
Sinar mentari sore mengintip di balik rimbunnya dedaunan, antara tebing dan jurang.
“Paman bisa melihatku…”
Kali ini suaranya seperti seorang nenek tua. Aku masih tidak berani melihat cermin apa pun yang ada di dalam mobilku. Aku tetap fokus menyetir di jalan yang penuh tikungan ini.
Di tengah fokus itu, sesuatu yang basah tiba-tiba kembali menempel di leherku, membuatku kaget dan melihat ke spion tengah.
Sebuah kepala wanita tua yang hitam dengan rambut uban yang terurai panjang, sedang membuka mulutnya yang kosong itu lebar, dan ternyata lidahnya terjulur ke leherku ini.
Bersamaan dengan itu, mulutnya semakin melebar, mengeluarkan suara berat namun semakin nyaring melengking.
“pammaaAAANNNN…”
Mata putihnya semakin membesar, mulutnya tiba-tiba mengeluarkan taring, lidahnya semakin menjulur ke wajahku, aku kehilangan fokus, kubanting stir.
“BRUK!” Itu bunyi terakhir yang aku dengar.
…
Tersadar, aku berada di sebuah tempat gelap terbuka. Tidak ada siapa-siapa. Detak jantungku masih terdengar membahana, membuatku digerayangi rasa takut yang mendalam.
Jauh di depanku, kulihat gadis yang pernah kusapa waktu di taman, tersenyum.
“Pamaaaannn…”
“Terima kasih mau jadi temanku…”
Di sekelilingnya kemudian banyak muncul hantu wanita lain, termasuk nenek tua yang tadi menghantuiku di mobil.
Menyaksikan itu, aku belum sempat apa-apa, seluruh sosok itu bergerak kilat mendatangiku hampir dengan sekejap mata.
Mereka semua sudah berada di hadapan sekarang, perlahan menjulurkan lidah panjangnya.
Aku berteriak sekuat tenaga, namun suaraku terkubur dengan gaungan suara melengking dari para setan itu.
…
Malam itu, Berto bersantai di teras, membaca artikel di sebuah situs berita, berjudul,
“Sebuah Mobil Terguling Masuk Jurang, Pengemudinya Tak Kunjung Ditemukan”
Wah suka bagian endingnya mas. Jadi ada kesan misterinya, gak sekedar tiba2 hilang.
Kayaknya saya mau baca2 post Kripikpasta lainnya nih