Aku punya teman, seorang fotografer amatir, bernama Rinaldi. Dia tinggal di selatan Garut, masih asri, penuh dengan hutan dan perbukitan.
Hobinya pada fotografi berawal dari sejak Rinaldi masih SMA. Ia begitu kagum dengan pemandangan lanskap di sekelilingnya yang menakjubkan, terpikirkan olehnya untuk mengabadikannya di galerinya sendiri.
Kamera pertamanya berhasil ia beli setelah ia menabung selama satu tahun setelah ia bekerja di pabrik, dan Rinaldi sangat berbahagia dengan itu.
Sesekali ia menunjukkan hasil fotonya kepadaku, dan untuk ukuran orang yang belajar mandiri alias otodidak hanya lewat internet, kuakui hasilnya mengagumkan.
Foto-foto lanskap karyanya, salah satunya adalah mentari pagi yang memancar di antara kabut yang masih menggumpal di pesawahan dengan latar lapisan perbukitan, atau foto air terjun yang begitu megah, semuanya membuatku lumayan ternganga.
Aku kemudian menyarankannya untuk membagikan hasil-hasil fotonya ke jejaring sosial.
Kebetulan Rinaldi memiliki akun Facebook, jadi kusarankan agar mencari grup khusus fotografi dan membagikan hasil karyanya di sana. Namun kuberitahu agar jangan lupa memasang ‘watermark’ agar fotonya tidak diaku-aku orang lain.
Rinaldi berbinar mendengar saranku itu, kemudian ia pulang dan memacu sepeda motornya ke tempat ia tinggal. Jaraknya dari rumahku yang tinggal di pusat kota adalah sekitar lebih dari 20km. Aku berharap yang terbaik untuknya.
Malamnya, Rinaldi bertemu dengan grup fotografi di Facebook sesuai saranku, dan ia bergabung.
Esoknya, Rinaldi mencoba mengunggah satu buah foto yang menurutnya sangat mengagumkan.
Tidak ia sangka, ribuan like ia terima dalam kurun waktu delapan jam, beserta puluhan komentar pujian yang membuatnya begitu bangga.
Bahkan ada satu komentar yang mungkin ia rasa begitu berlebihan,
“Gila gokil banget karya lo! Lu fotografer yang paling berbakat yang pernah gue liat! Keren bro! blablabla”
Rinaldi menganggap bahwa mungkin si audiens terlalu bersemangat. Setidaknya tidak ada komentar yang bernada negatif untuk karyanya yang baru ia unggah.
Rinaldi baru pertama kali mendapatkan banjir respon positif dari kegiatan yang pernah ia impi-impikan itu.
Malam sudah mulai larut, udara malam semakin damai terhirup. Rinaldi mematikan ponselnya dan pergi tidur. Ia tidak sabar menunggu besok.
Besok pun tiba, Rinaldi kembali mengunggah fotonya yang bertema lain ke grup tersebut.
Lagi, banjir pujian kembali memenuhi konten Rinaldi. Ia hingga hampir lelah menggulir seluruh komentar positif tersebut.
Tetapi ia jumpai kembali satu komentar yang ia rasa berlebihan, dan itu berasal dari user yang sama seperti kemarin.
Apakah user tersebut akan menjadi fans? Seketika muncul pikiran tersebut di benak Rinaldi yang membuatnya agak menyeringai. Ingin rasanya ia balas komentar si pengguna yang berlebihan tersebut, “Lebay betul!”
Hari ketiga, Rinaldi kembali mengunggah fotonya dan berharap userΒ “lebay” itu muncul.
Rinaldi benar, bahkan user tersebut langsung terlihat di komentar paling pertamanya.
Dari sini, ia mulai merasa tidak nyaman dengan user tersebut, atau bahkan takut. Apakah sejenis rasa takut jikalau suatu saat foto-foto ini mengecewakannya? Atau dia memang perilakunya seperti itu?
Rinaldi membuka profilnya, fotonya hanya sebuah boneka beruang kecil di atas sebuah tempat tidur dengan profil yang terkunci. Rinaldi tidak bisa mengetahui user itu lebih jauh.
Namanya Budi Prihandono. Rinaldi tidak tahu apakah itu nama betulan atau samaran.
Malam itu, Rinaldi bermimpi sedang membagikan fotonya, kemudian terlihat bayangan seseorang di pintu kamarnya. Hanya sebuah bayangan hitam setinggi dirinya, namun Rinaldi tahu bahwa siapa pun itu sedang tersenyum.
Gigi-giginya terlihat jelas di tengah hitam sosoknya.
“Keren bro…! Gue iri sama lo! Lo tuh multitalenta banget sih! Pengen gue kayak elo!”
Sosok itu berbicara sambil mengangkat jempolnya, dengan suara laki-laki berat yang menggaung ke seluruh penjuru kamar. Suaranya tidak besar, namun gemanya cukup membuat Rinaldi terbangun dan berkeringat.
Baiklah, itu cuma mimpi. Proses mencari tahu pengguna Facebook atas nama Budi Prihandono itu ternyata sampai terbawa mimpi. Rinaldi terbangun, melihat sekeliling, memastikan bahwa kejadian tadi hanya mimpi.
Rinaldi tidak mengunggah fotonya di grup pada hari itu. Ia hanya berangkat kerja dan terlupa mimpinya semalam.
Sore itu, Rinaldi pulang kerja dan tiba di kamarnya, duduk di kasur melepas lelah. Tercium sebuah wewangian yang begitu harum. Ia berpikir ibunyalah yang memberi wewangian itu.
Harumnya wewangian tersebut entah mengapa membuat Rinaldi menjadi melankolis. Seperti ia terhanyut ke dalam sebuah peristiwa, namun tidak tahu apa peristiwanya.
“Foto-fotolu gokil tau bro!”
Mata Rinaldi seketika melotot, menoleh kepada sekelilingnya. Ia mendengar suara itu, suara komentar si “user lebay” yang selalu eksis di postingan fotonya. Rinaldi bertanya-tanya, apakah suara yang ia dengar tersebut benar-benar nyata, atau hanya terputar dalam pikirannya saja.
Rinaldi langsung mandi sore.
Ada saat di mana ia sedang mengguyur wajahnya dengan air gayung, samar-samar dari guyuran air terlihat sosok yang berdiri di samping gentong airnya.
Jantungnya langsung berdegup keras. Ia tidak melihat ada siapa-siapa setelah itu. Apakah itu hanya halusinasinya? Rinaldi bersegera menyelesaikan mandinya dan memakai handuk.
Malamnya, saat Rinaldi makan malam bersama orang tuanya, ingin sekali ia menceritakan peristiwa aneh yang sedang terjadi padanya. Namun, ia urungkan karena tidak ingin orang tuanya ikut dalam drama itu.
Rinaldi merasa bahwa ia sudah cukup dewasa dalam menghadapi kejadian yang tidak masuk akal ini.
Malamnya, ia kembali duduk dan ingin membuka Facebook. Saat ia tap ikon Facebook di ponselnya agar aplikasinya terbuka, halaman utama yang muncul di aplikasi Facebook itu bukanlah halaman beranda, melainkan profil si Budi Prihandono yang terkunci.
Kaget bukan kepalang, Rinaldi langsung mengusap aplikasinya ke atas supaya aplikasinya berhenti.
Setelah tarik nafas panjang, Rinaldi mencoba untuk tidur. Kebetulan besok hari Minggu, kegiatan pabriknya libur.
Rinaldi kembali bermimpi malam itu, sedang berdiri di tempat yang pernah ia foto. Lanskap pemandangan dengan perbukitan, namun kali ini dengan warna langit yang hitam kemerah-merahan. Seperti mendung, dengan warna merah di ufuk.
Alih-alih pemandangan lansekap yang indah, justru menjadi tempat yang begitu menakutkan.
Angin tiba-tiba berhembus dari belakang Rinaldi, menyapu dedaunan kering di bawahnya.
“Bro…”
Rinaldi langsung menoleh ke belakangnya dengan sekejap, ke arah asal suara itu.
Sosok tersebut sedang berdiri di sana seperti yang ia harapkan. Berdiri lumayan jauh sekitar 20 meter. Sosok tersebut masih tersenyum menyeringai dengan giginya yang cukup putih.
Beberapa saat kemudian, sosok tersebut berpindah-pindah secara cepat ke tempat yang semakin mendekat ke arah Rinaldi.
“Gue pengen bisa kayak elo…”
“Fantastis banget karya-karya elo!”
“Beruntung banget gue ketemu fotografer kayak elo!”
Suara-suara itu terucap menggema oleh sosok hitam tersebut. Apakah itu si Budi? Rinaldi seolah terkunci di tempatnya berdiri, hanya menyaksikan sosok itu berpindah-pindah mendekatinya.
Sampai akhirnya si sosok hitam sudah tiba tepat di hadapannya, Rinaldi baru melihat matanya yang besar, namun putih semua. Tatapannya begitu kosong dengan senyumnya yang lebar.
“AAAAAHHHH!!!”
Rinaldi terduduk, terbangun dari tempat tidurnya. Suara kokok ayam mengikuti teriakannya. Sudah pagi, ternyata.
Saat sarapan, ibunya bertanya, “Ada apa tadi teriak?”
Rinaldi dengan enteng menjawab, “Kecoa, mak.”
Telepon Whatsappku berdering, dari Rinaldi ternyata. Ia katanya ingin bertemu denganku hari ini, tetapi aku bilang tidak dapat sampai siang karena aku ingin mengunjungi sebuah undangan.
Rinaldi pun langsung menancap gas sepeda motornya ke tempatku. Ia datang sekitar satu jam saat aku akan berangkat.
Ia datang dengan wajah yang tidak menentu, sepertinya agak terburu-buru. Aku mempersilakannya duduk sementara aku bawakan ia minum.
“Kenapa? Kenapa?” Aku tidak sabar mendengar apa ceritanya.
“Apa dirimu sudah gabung ke grup fotografer?” Aku membuka pembicaraannya.
Rinaldi agak gugup dan nafasnya lumayan panjang seperti mendesah. Sesekali merapatkan bibirnya ke dalam mulutnya seperti grogi atau kebingungan. Aku hanya sedikit tertegun menyaksikannya.
“Ini lebih dari yang kamu bayangkan.” Rinaldi mengucapkan itu. Aku tidak paham apa maksudnya.
“Wah, bakal ada cerita keren nih kayaknya.” Aku pikir itu sebuah hal baik.
“Nggak!” Rinaldi langsung menjawab dengan tegas.
Dia mulai menceritakan dari awal ia menuruti saranku, hingga akhirnya ia bertemu dengan sosok misterius itu yang kerap menghantuinya.
Ceritanya begitu berlarut hingga tak terasa aku sudah harus bersiap pergi.
Sebelum itu, Rinaldi menunjukkan kepadaku akun grup tempat dia membagikan fotonya dan akun Budi Prihandono yang misterius itu.
Aku hanya menatap layar ponselnya dan kebingungan. Tetapi aku melihat wajahnya yang dilanda rasa khawatir.
Sebagai teman yang baik, aku mencoba memberinya saran untuk mengirimkan laporan ke Facebook jika si user tersebut mengganggu. Atau bisa ia blokir.
Mendengar saranku tadi, Rinaldi tampaknya sedikit tenang. Ia hingga menawarkanku apakah ingin ia antar ke tempat undangannya. Aku menggeleng dan menyuruhnya untuk pulang dan beristirahat saja.
Dia agak memaksa namun aku tetap bersikukuh. Aku bahkan mengatakan kepadanya bahwa aku akan bersedia mendengar kelanjutan dari masalahnya setelah ia menerapkan saranku.
Rinaldi akhirnya mengalah dan kembali pulang setelah berterima kasih kepadaku.
Tetapi aku heran mengapa hal ini bisa terjadi kepadanya. Bagiku ini tidak masuk akal.
Rinaldi pulang, dengan rumah yang kosong. Ayahnya sedang bekerja di ladang, ibunya sedang berjualan di pasar. Hanya ada dia dan suara tonggeret siang dari luar rumahnya.
Ia masuk ke kamarnya, duduk di atas kasurnya.
Ia membuka Facebook, yang kali ini terbuka halaman berandanya. Rinaldi menuju ke grup fotografi tersebut untuk mencari user Budi yang menggentayanginya dan ditemukanlah.
Segera ia menuju ke profil Budi tersebut dan mengetuk pilihan untuk memblokirnya.
Rinaldi mengetuk pilihan blokir, muncul konfirmasi persetujuan dan Rinaldi mengetuk pilihan setuju untuk memblokirnya.
Pesan “Memblokir Budi Hartono…” muncul sebagai proses blokir.
Rinaldi menunggunya.
Tak lama, pesan balasan, “Gagal memblokir Budi Hartono.” muncul sebagai hasilnya.
Koneksi internet Rinaldi kemudian hilang. Indikator 4G di ponselnya langsung berubah menjadi “π«”.
Langit tiba-tiba berubah menjadi gelap seperti mendung, membuat Rinaldi agak terkubur dalam kegelapan.
Nyali Rinaldi sontak menjadi ciut.
“Bappaaaakkkk!”, “Maaaaakkk!!!” Rinaldi berteriak ketakutan.
Tidak ada jawaban. Rinaldi benar-benar sendirian di rumah pada sebuah siang yang tidak bisa disebut dengan siang itu.
Dengan sisa-sisa keberaniannya, Rinaldi mencari saklar lampu dengan cahaya ponselnya. Namun ia justru bertemu dengan rambut manusia.
“Brooo!!! Mana foto-foto lo Bro!!!” Suara pria yang bergema kembali terdengar.
“Eh Budi! Gue nggak ganggu Lo! Biarin gue sendiri disini!!! Tinggalin gueeee!!!” Rinaldi berteriak sekeras-kerasnya.
“Foto lo kereeennn Brooo!!!”
Sosok hitam tersebut mendekat secepat kilat hingga ke depan wajah Rinaldi. Sebuah wajah hitam dengan sepasang mata putih yang besar dengan senyuman lebar benar-benar hampir menempel di wajah Rinaldi.
Tubuhnya dipegang erat oleh tangan-tangan kasar dan dingin. Rinaldi menggigil hebat.
Banyak kilas balik yang tiba-tiba masuk ke dalam pikirannya. Dan itu berubah-ubah dengan cepat beserta suara seperti ringkihan serta suara percakapan yang tidak terdengar dengan jelas.
Tergambar dalam kilas balik tersebut sebuah kamera yang lensanya sudah pecah di atas lantai, komentar-komentar media sosial yang abu-abu dan tidak terbaca, foto-foto yang berwarna suram entah hasil karya siapa, dan sebuah kaki yang tergeletak.
Semuanya terputar dengan cepat berulang-ulang, Rinaldi hanya berteriak sekuat tenaga. Ia tidak berdaya sementara pikirannya diacak-acak oleh makhluk hitam tersebut.
“Bro! Foto-foto loe kereen banget siihhh!!!”
“Berhentttiii!!! AAAHHHH!!!”
…
Esoknya, rumahku kedatangan tamu. Kubuka pintu.
Aku melihat dua orang yang familiar bagiku. Mereka adalah orang tua Rinaldi, dengan ibunya yang sedang terisak.
Aku yang begitu penasaran bertanya ada apa.
Jawaban mereka membuatku tercengang.
Rinaldi gantung diri.
Aku turut berduka cita dan berusaha menenangkan mereka.
Orang tua Rinaldi bertanya kepadaku barangkali aku tahu apa yang membuatnya bunuh diri.
Aku yang teringat kisahnya kemarin, mencoba menceritakannya. Aku bilang juga, Rinaldi sengaja tidak bercerita kepada orang tuanya karena khawatir membebani mereka.
Hal itu membuat ibunya semakin sedih, namun mereka mau tidak mau harus rela atas kepergian anaknya.
Kenapa harus berakhir tragis seperti ini, aku tidak menyangka. Aku sedikit memiliki rasa bersalah karena bagaimana pun aku turut menyarankannya grup yang menerornya itu.
Aku juga penasaran, apa nama grup fotografi yang Rinaldi bergabung ke dalamnya? Aku mencarinya hingga malam dan tidak kutemukan.
Hingga aku teringat sesuatu, Rinaldi sepertinya tidak pernah menunjukkan grup apa pun kepadaku. Ia hanya menunjukkan layar ponsel yang samar-samar, tetapi aku tidak tahu itu apa. Mungkin karena pikiranku yang sedang terburu-buru pada saat itu.
Sebuah peristiwa yang hanya menyisakan kebingungan dalam batinku, apa yang terjadi…
…
Seminggu berlalu, seorang fotografer dari Lombok, memosting fotonya ke dalam sebuah grup di Facebook.
“Wah keren banget foto loe bro! Ajarin gue dong suhu! Gokil najeeezzz, belom pernah gue ngeliat orang berbakat kayak loe!”
Demikian tertulis sebuah komentar dari user Rinaldi Sunarya.
Gilak. Merinding gue Mas bacanya. Endingnya nggak keduga. Mas Ananda pinter bikin kisah horor ya. (Ini yang komentar manusia asli lo, bukan hantu, hahaha).
Oiya, Mas Ananda gak tertarik nulis di platform lain ya? Misalnya Medium. Saya sendiri akhir-akhir ini mengunggah tulisan saya di sana. Ada 8 tulisan saya di Medium sejauh ini. Siapa tahu mau mampir. Alamatnya https://bagus-aji.medium.com
Komentar Mas Ananda di pos blog saya yang RDP juga sudah saya balas ya. Ini:
https://wp.me/p4MyxC-4n%23comment-32
Hahahah Mas Bagus bisa aja komentarnya. π
Terima kasih banyak lho mas sudah sudi baca ceritakuh, plis jangan menggentayangikuh. π€
Iya, kebetulan kemarinnya saya posting foto di Threads, terus ada yang memberi komentar pujian cuma bahasanya agak berlebihan begitu bikin saya agak takut, terus kepikiran bikin seri Kripikpasta baru hehe…
Wah, Mas Bagus ada Medium juga, asyik buat tambah pustaka bacaan hehe… InsyaAllah saya eksplor satu-satu tulisannya. Kalau saya belum tertarik tambah tulisan lagi soalnya lagi lumayan mumet tahun-tahun ini. Barangkali ke depannya bisa saya coba. π
Daaannn… saya otvv ke komentar di posnya mas Bagus.
Iya, ngeri juga sih kalau ada pemuji berlebihan sementara dia masih orang asing buat kita. Saya jadi teringat film “Baby Reindeer”, hampir mirip sih. Ceritanya seorang laki-laki diteror sama perempuan asing yang “mengidolakannya” secara berlebihan. Cuman kalau ini yg neror orang beneran, bukan hantu.
Keren ya. Bisa mengembangkan ide cerita dari kejadian “sederhana” yang dialami sehari-hari. Ditunggu cerita-cerita selanjutnya. Tetap menulis, ya.