Berhitung

urban legend by : anandastoon

kripikpasta

Ini adalah pertama kalinya aku mendaki gunung, aku membaca tipsnya di internet dan mulai mengemas seluruh barang-barang yang akan aku bawa besok. Tujuannya adalah ke Gunung Lawu, yaitu salah satu gunung di daerah Jawa yang sangat bagus pemandangannya dan sekaligus sangat terkenal keangkerannya. Memang bukan hanya di Gunung Lawu saja, di gunung manapun pendaki harus benar-benar jaga sikap agar tidak diganggu ‘penghuni asli’ gunung tersebut.

Malamnya aku berdua bersama temanku yang paling dekat berangkat menuju titik awal perkumpulan teman-temanku, di mana pada saat itu semuanya baru pertama kali pengalaman naik gunung, kecuali ada salah satu temanku yang bernama Ridho yang sudah berpengalaman naik gunung berkali-kali sehingga dialah yang akan memandu kami semua.

Akhirnya pada waktu yang telah ditentukan berangkatlah aku bersama empat orang temanku menuju gunung tersebut. Jumlah itu apakah terhitung sedikit sebagai rombongan untuk naik gunung? Aku tidak peduli, semoga saja kami bertemu banyak rombongan yang lain di tempat tujuan.

Kami semua berangkat dengan bus, memakan waktu 7 jam perjalanan. Karena perjalanan dilakukan malam hari, jadi kami memaksakan diri kami untuk tidur selama perjalanan. Dan paginya di tempat tujuan, kami beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan menuju pos pendakian pertama.

Di sana memang ada beberapa rombongan pendaki, namun kami termasuk yang paling terakhir sehingga cukup tertinggal dengan rombongan lain. Akhirnya temanku Ridho itu memimpin doa dan menjelaskan etika-etika yang harus dipatuhi selama mendaki gunung. Kami semua mengangguk dan berusaha semaksimal mungkin untuk tetap bersama.

Di tengah pendakian salah satu temanku yang bernama Bruri mengeluh kesal karena memang mendaki itu melelahkan. Tanpa sadar ada kata-kata kurang etis keluar dari mulutnya, dan Ridho melihat temanku itu dengan gusar dan cemas. Memang Bruri setelah itu meminta maaf, namun hal itu tidak terlalu membuat Ridho tenang. Akhirnya ketika perjalanan kembali dilanjutkan, udara tiba-tiba menjadi dingin, dan atmosfirnya sangat kurang nyaman.

Temanku Bruri kemudian secara tiba-tiba berteriak, kami semua panik. Ranting dan beberapa pepohonan mulai bergoyang sendiri dengan kencang dan sangat tidak teratur, tidak mungkin dengan angin. Kami pun tercerai berai. Beberapa penampakan dan energi negatif mulai menampakkan diri, melayang, dan berkelebat secara tidak karuan. Ridho sendiri pun panik dan berteriak untuk mengumpulkan kami semua. Hingga pada akhirnya kami satu per satu mulai ditemukan, ada yang sedang bersembunyi di balik semak-semak, tiarap, jongkok, dan sebagainya.

Terakhir Bruri yang ditemukan, sepertinya menggigil dengan sangat hebat. Bukan karena kedinginan, tetapi karena ketakutan yang amat sangat. Padahal sebelumnya, dia dikenal pemberani di kalangan rombongan kami. Pada saat itu tidak ditemukan rombongan lain yang kami harap dapat bergabung dengan mereka. Akhirnya Ridho menenangkan dan menyuruh kami berbaris dengan tanpa mempedulikan apa yang terjadi.

Kami berbaris sesuai apa yang diperintahkan Ridho. Lalu diperintahkan agar mulai berhitung untuk memastikan jumlah kami tetap sama seperti sebelumnya. Karena Ridho sebagai pemimpin pada saat itu, dia langsung memulai hitungan dan berteriak “Satu!”

Aku yang berada di belakangnya melanjutkan berteriak, “Dua!”

Bruri yang ada dibelakangku berteriak “Tiga!”

Dan dilanjutkan oleh sisanya,

“Empat!”

“Lima!”

“Enam!”

“Tujuh!”

“Delapan!”

“Sembilan!”

“Sepuluh!”

“Sebelas!”

“Dua belas!”

“Tiga belas!”

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Kripikpasta 10 : Tukang Jagal Daging

    Berikutnya
    Kripikpasta 12 : Ada Pembunuh


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas
    Pakai tema horor