Tangga
urban legend by : anandastoon
Aku bersiap-siap masuk ke sekolahku yang baru. Tentu saja di sekolah aku memiliki banyak teman baru, salah satunya adalah teman sebangkuku, namanya Mutia. Semua teman di sini terlihat baik.
Pada jam istirahat, aku meminta tolong kepada Mutia untuk menemaniku berkeliling sekolah agar aku tahu denah-denah sekolah baru.
Hingga kemudian aku dan Mutia melewati sebuah lorong di mana lorong tersebut agak gelap dan ada tangga menuju ke lantai atas yang terhalangi sinar matahari. Jadi yang terlihat dari bawah hanyalah kegelapan di atas.
Mutia mengajakku agar naik ke atas namun aku enggan, akhirnya dia naik sendirian. Berani sekali dia. Namun setelah kutunggu bahkan hingga bel masuk berbunyi kembali, Mutia belum kembali dari atas. Aku pun berteriak memanggil namanya tetapi tidak ada sahutan.
Karena aku tipe orang yang disiplin dan sedikit cuek, maka aku tinggalkan Mutia tanpa berpikir apa-apa lagi. Namun selama pelajaran berlangsung, Mutia ternyata tidak kembali. Aku jadi khawatir. Sampai bel istirahat kedua berbunyi, aku mengajak temanku yang lain, kali ini namanya Wida, menemaniku ke tangga yang tadi.
Wida tidak begitu mengerti maksudku, namun ia sepertinya menyanggupi. Kami mulai menyelusuri lorong yang tadi dan…
…aku tidak menemukan tangganya.
Wida bertanya kepadaku, apakah aku benar-benar yakin bahwa ada tangga di sini tadinya. Tentu aku mengiyakan, namun karena aku baru di sini, kemungkinan salah lorong dapat terjadi. Aku bahkan katakan bahwa teman sekelas kami yang bernama Mutia menaiki tangga itu dan belum turun juga sampai sekarang. Aku juga bahkan menunjukkan kekhawatiranku.
Wida sepertinya menanggapi dengan sedikit kaget hingga kami mencari ke lorong-lorong yang lain, sambil memanggil nama Mutia. Tetapi tetap saja kami tidak menemukan tangga itu.
Seseorang yang tampak seperti penjaga sekolah menghampiri kami yang kebingungan dan bertanya mengapa. Aku kemudian menceritakan apa yang aku ingat dengan singkat.
“Di sini banyak sekali tangga untuk mencapai ruang atas, boleh aku tahu tangga yang mana? Atau berada di dekat ruangan apa?”
Aku hanya mengingat ruangan yang di jendelanya terdapat globe, mungkin itu perpustakaan. Aku tetap saja tidak yakin dan menjelaskan sebisaku.
Sang penjaga sepertinya paham maksudku dan mulai mengantarku ke ruangan yang dimaksud. Aku bersama wida mengikutinya hingga dia berhenti di suatu tempat.
“Ruangan inikah maksudmu?” Tanya si penjaga.
Aku melihat, dan mengangguk. Betul, dia paham apa yang aku maksud.
“Tapi di mana tangganya?” Tanyaku kemudian.
Aku tidak dapat melihat apa-apa kecuali hanya dinding dan dinding di lorong yang sedikit terkena cahaya matahari tersebut.
“Di sini tidak ada tangga dik.” Jawab sang penjaga yang mana membuatku syok.
Aku berusaha meyakinkan dengan sangat agar dia mempercayainya. Namun yang ada dia hanya kebingungan. Akhirnya aku di bawa ke sebuah tempat yang sepertinya ruangan sang penjaga dan dia mulai mengatakan sesuatu sedangkan Wida masih setia menemaniku.
“Adik ini mungkin sedang linglung, perlu istirahat sejenak di sini karena memang di lorong sana tidak pernah ada tangga.” Sang penjaga sekolah mengawali ceritanya.
Kemudian ia melanjutkan, “Tetapi kamu berdua jangan katakan kepada siapa-siapa, akan aku beritahu sesuatu yang dikhawatirkan teman-teman kalian akan ketakutan.”
Aku dan Wida menyanggupi.
“Di sini memang terkenal angker. Tapi ya, sekolah mana yang tidak angker. Setiap sekolah memiliki ceritanya masing-masing.” Katanya sembari menghela nafas panjang.
“Di pojok ruangan itu, yang dekat lorong, sering terlihat orang besar bertubuh hitam. Dan pohon di pinggir lapangan sana, bayangan putih berbentuk wanita sering berkelebat di atasnya. Kemudian masih banyak lagi. Aku adalah penjaga sekolah di sini, jadi aku tahu apapun yang terjadi siang dan malam di sekolah ini.”
“Sampai suatu tragedi muncul, menambah keangkeran sekolah ini. Ada seorang siswi yang selalu dijahili oleh teman-temannya hingga akhirnya dia bunuh diri dari lantai atas.”
“Siswi tersebut bernama Mutia.”