Menjadi Penulis
urban legend by : anandastoon
Aku tidak sedang bermimpi. Malam itu, sesosok arwah yang tidak kukenal mendatangiku di saat aku ingin tertidur.
Aku ketakutan, tak dapat bergerak, ia memperhatikanku, sesosok arwah lelaki yang cukup tua, transparan, melayang hanya sampai pinggang.
“Jadi ini anak dari cucuku… Cukup tampan ya…”
Ka… kakek buyutku? Aku masih tidak dapat berkata-kata dan terdiam di tengah gelapnya kamar, berhadapan dengan sosok itu.
“Aku mencintai keluargaku, aku mengunjungi kalian mungkin hanya sesekali saja.” Sosok itu melanjutkan, “Sekarang aku ingin memberimu oleh-oleh, dengan membuat sebuah ucapanmu menjadi kenyataan. Tetapi hanya sebuah ya…”
Sosok itu sedikit tersenyum.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu di tengah ketakutanku.
Aku mencintai membaca legenda-legenda urban horor yang beredar di internet.
Apalagi jika membacanya sambil mendengarkan musik instrumental horor, membuat atmosfernya benar-benar terasa hingga menyelimuti tulang dan daging.
Terkadang sesekali ingin diriku menulis satu, atau bahkan menginginkan menjadi sebuah penulis cerita horor.
Tapi, akh! Aku tidak berbakat dalam menulis! Masalahnya aku khawatir bahasaku berantakan dan sulit dimengerti.
Sontak aku mengucapkan, “Aku akan menulis cerita legenda urban yang hebat!”
Sosok itu menganggapinya hanya dengan mengangguk sedikit, sambil mengucapkan sepatah kata, “Baiklah.”
Hilang, sosok itu kemudian menghilang dalam sekejap. Bersamaan dengan itu, aku kembali dapat menggerakkan tubuhku. Aku menyadari tubuhku sudah dibanjiri keringat.
Aku menjadi susah tidur, pikiranku tertuju kepada laptop yang belum lama kumatikan itu.
Masih terngiang-ngiang ucapanku tadi, entah aku merasa sedikit bahagia. “Wah, akankah aku akan menjadi seorang penulis hebat?”
Menjadi semangat, saat itu juga aku melompat dari tempat tidur dan membuka laptop, mulai memikirkan ide sembari menunggu laptopku menampilkan layar desktopnya.
Rasa minderku karena tidak ahli dalam menulis seakan sirna, mungkin terkubur semangatku itu.
Musik horor kuputar, aplikasi pengolah kata kubuka. Ide ternyata datang terlalu cepatnya.
“Legenda Urban Kampung Nimun” kutulis begitu judulnya.
Sebuah cerita tentang seorang janda yang sedang hamil dan dituduh sebagai jalang. Ia lalu dihakimi sepihak oleh warga. Hingga akhirnya si janda bunuh diri dan mayatnya dibuang oleh warga ke sebuah kebun karena dinilai kotor dan nista.
Kemudian si janda berjanji akan membalas dendam kepada seluruh warga di kampung itu karena hampir semuanya telah menganiayanya.
Wow, agak ekstrem, kuselesaikan cerita hingga sampai banyak warga dibunuh oleh hantu balas dendam itu, kemudian kulanjut cerita lain.
Masih di Kampung Nimun, namun dengan cerita urban yang berbeda. Kini targetnya adalah anak-anak di kampung itu, yang mendadak menghilang secara misterius satu per satu.
Setiap hari, selalu ada jasad seorang anak ditemukan di berbagai tempat yang tak menentu setelah sehari sebelumnya hilang. Terkadang di lumbung padi, terkadang di dalam bangunan kosong, bahkan hingga tergantung di atas pohon.
Seluruh mayat anak-anak tersebut selalu memiliki lubang di dada dan tidak lagi memiliki jantung.
Malam itu, kuselesaikan hingga lima buah cerita legenda urban di Kampung Nimun. Kupikir mungkin bagus juga kalau nantinya kujadikan seri.
Tak terasa sudah hampir pagi, kumatikan laptop, aku lanjut tidur. Aku bahkan tidak lagi memikirkan kesalahan eja atau jalan cerita karena terlalu bersemangat.
Siangnya karena hari libur, aku berjalan-jalan di sekitar sambil berangan-angan menjadi penulis hebat. Aku menjadi yakin karena tiba-tiba semalam aku menjadi lancar menulis. Terima kasih kakek buyutku atau apapun itu tadi malam!
Di tengah itu, mataku tertuju kepada sesuatu di belakang pepohonan. Penasaran, kudekati, sampai langkahku terhenti.
Seorang wanita sedang tertidur di belakang pohon. Kuperhatikan lebih dekat ternyata ia sudah tidak lagi bernyawa.
Aku kaget bukan kepalang dan mulai lari untuk memberitahu para warga.
Ketika kutemukan sebuah kerumunan warga, penasaranku beralih menjadi sesuatu yang lain.
Mereka menggaduhkan seorang anak dari mereka menghilang saat sedang bermain di kebun salah satu milik warga pagi tadi. Sudah mereka cari berjam-jam namun tidak membuahkan hasil.
Aku terketuk hebat, seperti dipukul sesuatu tepat di kepala. Aku pusing, kemudian teringat ceritaku tadi malam. Kuingat mayat wanita yang kutemukan tadi juga perutnya membesar seakan sedang… hamil?
Aku berlari ke rumah, mencoba untuk mengecek kembali cerita-ceritaku tadi malam. Tidak mungkin! Ini hanya kebetulan kah?
Di tengah aku membaca kembali ceritaku, kudengar di luar teriakan seorang pria secara histeris diikuti dengan para warga yang berlarian. Aku bahkan sudah terlalu takut untuk mencoba mengetahui apa yang terjadi.
Tanpa berpikir panjang, kukemasi seluruh barang-barangku untuk secepatnya kembali ke rumah orang tuaku di provinsi sebelah. Kupanggil taksi, dengan terburu-buru aku melempar barang bawaanku tidak lagi kupedulikan apa yang tertinggal.
Sang supir bertanya ada apa, aku hanya menggeleng dengan sedikit gemetar. Masalahnya, sudah dua, atau bahkan tiga kejadian di hari itu yang sama persis dengan awal dari beberapa ceritaku semalam. Aku bahkan tidak ingin mengingat apa sisa ceritaku yang lain.
Kemudian aku tiba-tiba teringat lagi ucapanku sewaktu sosok kakek buyut semalam bersedia untuk mewujudkannya.
“Aku akan menulis cerita legenda urban yang hebat!”
Dan seketika itu juga aku dapat menulis dengan lancar dan percaya dirinya.
Aku masih terus terngiang-ngiang kejadian semalam itu, dan sayup-sayup dari spion taksi, kulihat kegaduhan dari belakang, dari kampungku, Kampung Nimun, yang sebentar lagi mungkin tidak akan tersisa apapun dari sana, kecuali hanya cerita legenda urbannya saja.