Postingan kali ini membahas kejadian mistis yang saya sudah janji akan saya publikasikan di artikel Tamasya saya ke Gunung Tumpeng beserta teman saya, Uwi.

Uwi teman saya itu memang bisa melihat yang seperti itu. Maklum, seseorang pernah membuka mata batinnya jadi dia betul-betul peka dengan hal-hal mistis.

Apalagi kami waktu itu berangkat malam, lewat jalur angker yang tanpa penerangan sama sekali di Cikidang.

Untung saja setidaknya polusi cahaya dari balik Gunung Salak dan cahaya bulan yang hampir purnama sedikit membantu meringankan gelapnya atmosfer.

Berikut video kami, sebagai bayangan bagaimana gelapnya perjalanan kami melewati jalur Cikidang, terutama melewati perkebunan sawitnya.

Tepat tengah malam kami menerobos gelapnya jalur, sumber penerangan satu-satunya hanya berasal dari lampu depan sepeda motor saya.

Uwi membonceng saya dengan menggunakan sepeda motor saya, mengulang masa-masa tamasya sedari tahun 2018 melewati jalur Cikidang yang ternyata tidak pernah berubah hingga kini.

Masih minim penerangan jalan.

Ada beberapa kejadian mistis yang hanya Uwi saja yang merasakan pada saat itu. Namun ada satu hal yang mana saya juga ikut merasakan, hingga merinding hebat sekujur tubuh.


Cerita di masjid

Jujur saya kangen malam-malam shalat Isya di masjid pedesaan. Maka dari itu di episode tamasya kemarin, saya sengaja ingin mencari masjid di tengah perkampungan karena rindu atmosfernya.

Saya tahu sebuah masjid bagus yang dulu sering saya singgahi karena menjorok di pinggir jalan. Berlokasi di sebuah desa bernama desa Buniwangi, antara Cikidang dan Pelabuhan Ratu, masih dengan harumnya aroma malam pedesaan.

Kami menepi, memarkirkan kendaraan di halaman masjid.

Saat saya ingin memasuki masjid, saya mendengar suara yang lumayan lirih, seperti suara jendela yang menyentuh kusennya berkali-kali.

“Brak, brak, brak…”

Saya tidak hiraukan itu awalnya, sampai akhirnya tangan saya ditarik sesuatu.

Uwi yang menarik tangan saya, mendekatkan saya kepada dia. Saya mendadak kebingungan.

Uwi menunjuk ke salah satu pojok ruangan masjid, tepat di mana beduk berada, dan saya menyaksikan sesuatu yang agak janggal.

Bunyi tadi berasal dari sebuah jendela, yang anehnya hanya jendela itu saja yang bergerak-gerak.

“brak… brak… brak…”

Awalnya saya pikir angin, tapi kok ya bikin saya merinding. Saya memutuskan untuk merekam kejadian itu di video berikut,

Perasaan saya tidak terlalu nyaman, tetapi saya agak penasaran dengan kejadian yang saya alami ini.

Uwi izin ke kamar kecil dan wudu terlebih dahulu, meninggalkan saya dengan jendela mistis itu.

Ada rasa takut, hanya saja saya masih merasa aman karena di luar masjid. Sesekali kendaraan melintas dan ada warung kecil di ujung pandang.

Akhirnya Uwi selesai wudu dan saya berganti pergi ke kamar kecilnya.

Langkah saya ke kamar kecil terhenti saat di hadapan saya ada kurung batang.

Uwi menenangkan saya, katanya ada penunggunya tapi tidak masalah, dia tidak mengganggu.

Tetapi ya sudahlah, saya sudah terlanjur ingin buang air dan untungnya, tidak saya temukan yang aneh-aneh.

Kami shalat sendiri-sendiri, Uwi shalat duluan supaya bisa menjaga sepeda motor.

Setelah kami selesai shalat, saya sadar jendelanya sudah berhenti bergoyang.

Melihat jendelanya sudah tidak lagi bergerak, saya merasa lebih tenang sebab barangkali yang tadi memang karena angin.

Meskipun, saya tidak melihat ada daun atau pepohonan yang bergoyang di luar masjid dari semenjak kami memarkirkan kendaraan.

Yah, boleh dibilang saya menghibur diri agar tidak terlalu takut.

Uwi kembali meminta izin kepada saya untuk membeli air minum di warung dekat masjid yang terlihat masih buka. Jadilah saya sendirian lagi sembari menyelesaikan wirid.

Selepas itu, saya berdiri dan bersiap untuk kembali melanjutkan perjalanan, sembari menunggu Uwi selesai membeli air minum di warung.

Tetapi jendelanya justru bergerak lagi dengan sendirinya. Tidak ada angin sama sekali dan itu membuat saya merinding, lagi.

 

Uwi kembali dari warung dan di tempat parkir, Uwi bilang sesuatu kepada saya,

Katanya, ia melihat seperti bapak tua, layaknya seorang jamaah masjid dengan sarung dan kopiahnya, sedang duduk di samping bedug. Memang dia yang menggerak-gerakkan jendelanya.

Sosok bapak itu tidak begitu jelas karena begitu transparan.

Uwi pun sempat berbincang juga dengan penjaga warung, katanya pernah ada seorang marbot masjid meninggal dunia. Dia suka menghalau anak-anak supaya tidak bermain-main dengan bedug. Mungkin itu ‘tempat favorit’nya di sana.

Sudah biasa hal itu terjadi, menurut pemilik warung. Jadi setiap ada bunyi “brak… brak… brak…” oh, dia lagi ‘muncul’ di situ.


Cerita sepanjang jalan

Uwi sempat bercerita juga kalau di sepanjang jalan ia banyak melihat sesuatu. Dahulu bahkan lebih parah, namun saat kami bertamasya kemarin, ia sudah mulai terbiasa dengan fenomena gaib tersebut.

Apalagi saat melewati jalanan gelap, Uwi terkadang memang suka menangkap banyak hal. Namun kini sudah lebih mudah ia abaikan karena ‘mereka’ tidak berada pada tempat yang mengganggu perjalanan seperti tiba-tiba berada di tengah jalan.

Seperti, di antara pepohonan terkadang ada yang melompat-lompat dari satu dahan ke dahan lain. Tidak jelas itu apa, tapi yang pasti bukan monyet atau tupai.

Jadi seandainya saya melihat ada dahan bergerak sendiri, hanya dahan yang itu, dahan yang lain tenang-tenang saja, artinya memang ‘dia’ sedang hinggap di sana.

Kemudian seperti sosok putih yang terkadang menyembul dari balik pepohonan, tidak jelas apakah itu pocong atau kuntilanak, hanya diam di tempat, di balik batang-batang pohon.

Tidak mengganggu, hanya seperti penasaran siapa yang melewati jalan malam-malam begini.

Lalu Uwi juga sempat menunjuk ke arah kebun pisang, tetapi saya tidak melihat apa pun sama sekali. Saya lupa apa yang ia lihat pada saat itu.

Sejujurnya saya sendiri tidak pernah melihat apa yang dia lihat. Dan bagi saya itu tentu saja hal yang baik.

Sekali lagi, Uwi sudah terbiasa dengan semua itu selama tidak mengganggu dengan muncul di tengah jalan. Karena, penampakan itu biasanya membuat dia kagok apakah itu memang orang betulan atau hanya sosok iseng.

Kecuali satu, dan untungnya minor.

Di tengah jalanan daerah Cikidang tadi, memang betul ada satu atau dua warga yang masih berlalu-lalang malam-malam namun itu hanya terjadi di jalanan yang ada penerangannya.

Sedangkan hal yang Uwi lihat, lewat sorotan lampu sepeda motor, ada seorang nenek yang ingin menyebrang jalan di antara gelapnya perkebunan.

Uwi membatin, “Wah berani juga ada nenek-nenek malam-malam begini di tempat gelap.”

Tetapi saat semakin didekati, Uwi melihat ada yang aneh dengan nenek itu.

Tidak punya kaki. Sosok nenek tersebut tidak memiliki kaki. Melayang begitu saja. Apalagi di saat Uwi memikirkan sosok nenek tadi, tiba-tiba jalanan menurun dan kami nyaris ‘terbang’ karena Uwi lupa menekan rem.


Yang lebih mengkhawatirkan

Tetapi dari semua yang mengganggu, ada satu yang membuat Uwi malas berjumpa dengan ‘itu’.

Kata Uwi,Β “Paling males kalau ketemu sama hewan.”

Maksudnya bukan hewan seperti kucing yang tiba-tiba menyebrang. Betul ada satu kucing tiba-tiba menyebrang jalan dan kami tertawa sambil mengerem mendadak.

Tapi bukan hewan itu yang Uwi maksud.

Binatang di sini tentu saja mereka yang jadi-jadian.

Seperti macan kumbang, harimau, ular, apa pun itu.

Saya lupa apa alasannya mengapa Uwi lebih khawatir dengan hewan jadi-jadian itu daripada makhluk yang rupanya memang benar-benar seram.

Seingat saya karena makhluk berbentuk hewan itu gemar mencari “mangsa”, mungkin mengakibatkan korbannya seperti “ketempelan” atau hinggap dalam diri kita jika auranya cocok.

Atau biasanya memang ada pusaka yang terkubur di sekitar sana. Hewan itu bisa dibilang sebagai penjaganya.

Uwi merasa risih dengan penampakan hewan karena di kampung halaman Uwi, di sebuah daerah di Jawa Tengah, pernah ada hal yang Uwi saksikan sendiri berhubungan dengan ini.

Uwi pernah diintai oleh seekor harimau putih bermata hijau terang karena di area sekitar rumahnya ternyata ada keris yang terkubur.

Ketika kami sudah tiba di bagian Ciletuhnya pun, tepat di area jembatan besi di atas sungai yang besar, Uwi tiba-tiba kaget dan memiringkan kendaraannya ke lajur kanan.

Saya yang ikut kaget tentu bilang, “Ada apa?!”

“Buaya buntung, Nan.”

Alamak, ada-ada saja ya. Saya bilang lagi, “Tapi kalau kendaraan lain yang lewat kan nggak tau kalau ada buaya jadi-jadian di situ?”

Uwi jawab lagi, “Saya reflek aja, Nan.”

Untungnya sih itu saja sebelum akhirnya kami menemukan warung di Puncak Gebang dan kami bisa istirahat di sana.


Aura menentukan

Kita mungkin pernah dengar adanya tren Aura Farming atau aura “Nen” pada anime Hunter X Hunter.

Terdengar seperti fantasi tetapi “aura” itu memang ada pada setiap orang dan dapat terasa atau bahkan dapat terlihat.

Hanya saja tidakΒ selebay penggambaran aura pada anime atau tren-tren populer.

Menurut Uwi, biasanya jin jahat lebih senang menampakkan diri kepada mereka yang memiliki aura buruk. Jadi misalnya ada jin iseng menampakkan diri di tengah jalan, bisa jadi itu adalah jin kafir yang memang jahat.

Apalagi jika seseorang memiliki aura yang tidak baik, itu semakin menarik perhatian jin-jin iseng tersebut untuk mengganggunya.

Memang betul bahwa orang yang auranya biasa-biasa saja bisa terkena gangguan jin iseng, tetapi orang yang memiliki aura yang buruk itu justru bisa mengundang lebih parah lagi.

Seperti, para jin tahu jika ada pemuda yang habis mabuk, atau bahkan melakukan adegan intim di tengah kebun. Mereka lebih membidik orang-orang seperti itu untuk mereka ganggu.

Sembari saya mengangguk, Uwi kemudian menepuk paha saya. Sambil bilang begini,

“Tapi saya nggak tau ya Nan, deket kamu itu bikin saya aman.”

Saya yang agak ‘terbang’ mendengar itu penasaran dengan apa maksudnya Uwi bilang begitu.

Dia meneruskan,

“Sepanjang jalan tadi, saya lihat banyak banget yang pada merhatiin kita Nan. Tapi mereka cuma bisa lihat dari jauh aja. Nggak ada yang ngedeket. Beda waktu saya jalan sendiri malem-malem ke daerah Gunung Kencana.”

Uwi menarik nafas sejenak, melanjutkan,

“Saya setiap ngunjungin kosan teman saya Nan, kebanyakannya bikin saya nggak betah. Gusar aja suka pengen pulang. Tapi saya nggak pernah ngerasa gitu setiap main ke tempat kamu.”

Saya cuma diam mendengarkannya, tidak tahu ingin merespon apa.

Akhirnya Uwi tutup, “Mungkin karena kamu suka peduli sama orang lain, fokus benerin kerjaan kamu (improvisasi), sama kamu tuh ringan (jarang drama), Nan.”

Menurut Uwi, rajin shalat atau mengaji saja tidak cukup. Aura positif itu memang ada pada amal salihnya.

Oh, saya agak tersentuh di bagian ini. Semoga konsisten deh progres saya.

Sampai akhirnya kami tidur malam itu.


Bonus

“Nan, nan, kiri itu kuburan ya?!”

Uwi agak memberitahu saya dengan agak keras, seolah saya jangan sampai terlewat apa yang ia tengah saksikan.

Ini terjadi saat kami tadi baru saja belok kanan, masuk ke pertigaan Ciletuhnya. Memang di bagian kiri kami ada pemakaman yang cukup lebar, dan Uwi menyuruh saya mengonfirmasikan pandangannya.

Saya bilang, betul itu kuburan.

Uwi bilang, “Oh, tadi pas kamu nengok ke kiri terus bilang “iya itu kuburan”, di samping kita persis ada orang pakai pakaian sunda kuno serba hitam lengkap dengan bandana, tingginya hampir dua meter. Kulitnya gelap.”

“Matanya itu loh Nan, merah semua. Lagi lihat lurus ke arah pantai di depannya. Pas banget lihat ke arah kita pas kamu lagi nengok ke kuburannya…”

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
πŸ€— Selesai! πŸ€—
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

Sssttt... Anandastoon punya journaling sebagai info di belakang layar blog ini.
Klik di mari untuk menuju halaman diarinya.

  • 0 Jejak Manis Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. πŸ˜‰

    Kembali
    Ke Atas