Di judul artikel ini ada kata “kepercayaan”, dimana maksudnya di sini adalah rasa percaya kita kepada orang lain, bukan kepercayaan dalam arti “agama”. Mungkin kita pernah mendengar istilah “trust issue”, atau masalah untuk dapat percaya kepada orang lain di sekitar.
Kali ini saya akan memadankan krisis kepercayaan ini dengan tingkat ketidakamanan sosial (insecurity) yang mungkin terjadi pada beberapa di antara kita. Ketidakamanan di sini artinya adalah merasa tidak nyaman bersosialisasi, selalu menaruh rasa curiga kepada orang lain, dan orang-orang yang memang mengalami trust issue atau krisis kepercayaan.
Yang menjadi sorotan di sini adalah, orang-orang yang merasa tidak aman dari lingkungan di sekitarnya sebagian besar adalah orang yang tidak ingin mengutarakannya di depan umum karena mereka khawatir itu adalah perbuatan sia-sia.
Ketika seseorang selalu menaruh rasa curiga kepada orang lain bukan berarti setiap orang ia tuduh sebagai orang mungkin telah berbuat jahat. Rasa curiga ini lahir dari pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan dirinya yang mungkin telah menjadi keniscayaan di benaknya.
Misalnya, seorang pengemudi mobil seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari para pengendara sepeda motor. Maka setiap ia bertemu pengendara sepeda motor, pikirannya telah mengunci si pengendara mobil untuk menilai bahwa pengendara sepeda motor adalah orang yang ugal-ugalan, tidak patuh, tukang serobot, galak, dan sangat tidak menyenangkan.
Benar, seluruh pengendara sepeda motor di matanya telah dicap demikian, meski si pengendara mobil sendiri mengetahui bahwa tidak semua pengendara sepeda motor berkelakuan seperti itu. Namun perlu diketahui bahwa seperti inilah cara kerja otak manusia.
Contoh lainnya, suku di daerah A banyak yang selalu berkata kasar dan tidak menyenangkan. Walaupun banyak juga orang bersuku A yang lemah lembut, namun sayangnya suku yang lain sudah mengenal suku A adalah bukan suku yang menyenangkan.
Inilah akar masalah dari ketidakamanan sosial tersebut. Jika citra suatu golongan masyarakat sudah dikenal kurang baik oleh masyarakat di sekitarnya, golongan yang mendapat citra yang kurang baik tersebut akan selalu menerima kesan pertama yang tidak menyenangkan dari golongan lainnya.
Kita tidak dapat hanya berkata, “Kan nggak semuanya begitu…” kepada orang yang sudah mengalami krisis kepercayaan.
Perlu diingat, peribahasa “karena nila setitik rusak susu sebelanga” muncul karena suatu alasan.
Penyakit “krisis kepercayaan” ini berbeda dengan penyakit lain. Mengapa? Karena sebenarnya penyakit ini bukan terletak pada si penderita, melainkan orang-orang di sekelilingnya. Jadi yang seharusnya diobati bukanlah si penderita, melainkan siapa pun yang telah merusak citranya dan citra kelompoknya.
Seperti yang kita ketahui, manusia adalah makhluk sosial yang secara naluri pasti mereka memiliki hasrat untuk bersosial. Saat fitur sosial seseorang telah dirusak oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab, maka kemampuan bersosialnya akan dijumpai banyak anomali.
Jika ada seseorang misalnya pernah berkata, “Ah gue nggak mau ke restoran itu lagi, pelayannya pada gak sopan.” kita berpikir itu mungkin hanya pelampiasan dari rasa tidak senangnya saja pada saat itu. Tapi bisa jadi itu akan menjadi benih “krisis kepercayaan” jika dibiarkan.
Apabila benih itu terus (di)tumbuh(kan), misalnya orang yang sama pergi ke cabang restoran lainnya dan ia juga mendapatkan pengalaman tidak menyenangkan serupa dari pelayan restoran tersebut, bisa jadi ia langsung menghakimi bahwa restoran itu beserta seluruh cabangnya tidak memiliki pelayan yang menyenangkan.
Maka dari itu tidak heran jika pengusaha mengambil langkah yang sangat tegas dan menyusun manajemen pelayanan minimum yang ketat demi mendapatkan kepercayaan dari pelanggannya. Meski ada dari beberapa pelanggannya yang bukan merupakan pelanggan yang baik, sang pengusaha sudah sewajarnya mengetahui apa yang harus dilakukan agar tindakannya tidak mengganggu pelanggan yang lain.
Bahayanya, orang yang mengalami krisis kepercayaan ini seringkali disamakan oleh hater, padahal itu adalah dua hal yang jauh berbeda.
Misalnya, saya pernah melihat ada orang yang nyinyir setiap kali ada orang sebangsanya yang mendapatkan penghargaan di luar negeri. Kita tidak dapat langsung menghakimi orang tersebut karena kita tidak pernah tahu apakah tukang nyinyir tersebut murni hater, atau hanya sekedar iri, atau ia bahkan hanya mengalami krisis kepercayaan.
Ada pun dampak sudah tingginya krisis kepercayaan, sesama warga masyarakat akan saling meremehkan dan bahkan dapat timbul perpecahan.
Bagaimana caranya tahu jika seseorang mengalami krisis kepercayaan? Kita memerlukan seorang psikolog untuk benar-benar menggali apa penyebabnya. Benar, kita butuh seorang ahli untuk hal ini. Atau alternatifnya, jika kita telah mahir menyelesaikan masalah orang banyak, dapat menjadi wadah untuk membuka segala sesuatu yang terjadi padanya.
Sebabnya sudah jelas, orang yang menderita krisis kepercayaan bukanlah orang yang siap terbuka karena sudah pasti ia selalu menaruh curiga kepada orang lain. Ia tidak ingin saat ia mencurahkan apa yang membuat ia tidak nyaman, ia justru mendapatkan perlakuan sebelah mata dari orang lain.
Mungkin bagi orang lain masalahnya merupakan hal kecil, namun baginya bisa jadi itu seperti gunung yang siap menimpanya kapan pun. Inilah mengapa orang yang menderita krisis kepercayaan lebih memilih untuk enggan terbuka.
Dan ingat, orang yang insecure berbeda dengan orang introvert.
Introvert hanyalah orang yang lebih tertutup karena ia senang menyendiri, namun jika diajak bersosial seperti berkumpul dan berceloteh ria, ia jarang menolak. Sedangkan orang insecure lebih tertutup karena ia menghindari kontak dengan orang lain.
Terkadang orang-orang yang mengalami krisis sosial merindukan negaranya seperti beberapa negara maju di mana tingkat kepercayaan di sana sudah sangat tinggi sehingga tidak perlu khawatir jika ia berjalan keluar dan bersosial dengan orang banyak.
Menjaga mood atau suasana hati adalah hal yang krusial. Karena jika suasana hati yang terus-menerus dicederai akan menumbuhkan penyakit hati yang mengerikan. Inilah mengapa dalam agama, di Islam misalnya, Nabi Muhammad saw., mewanti-wanti umatnya agar selalu menjadi orang yang berakhlak baik, berbudi luhur, menjaga lidah dan intonasi suaranya, bahkan sebuah senyuman tulus dapat dinilai sebagai sedekah.
Seseorang tidak bisa menilai bahwa dirinya, atau kelompoknya, atau bahkan negaranya adalah yang paling berakhlak dan berbudi luhur jika kepeduliannya tentang ketidaknyamanan orang lain masih sangat rendah.
Tugas kita yang tidak mengalami krisis kepercayaan ini seharusnya meningkatkan kepekaan kita terhadap teman-teman dan keluarga kita yang mungkin mengalami hal ini, sering-sering mengajaknya untuk berbicang-bincang dan jangan sekali-kali meremehkan masalahnya seperti, “Ah cuma gitu doang” karena ucapan itu mungkin dapat membuatnya lebih sakit dan krisis kepercayaannya bisa meluas kepada kita.
Setiap orang pasti menginginkan kedamaian, tapi berapa banyak orang yang berusaha untuk meraih kedamaian tersebut?