Ini adalah artikel saya seri pembahasan masalah sosial yang saya tidak bahas sepanjang artikel-artikel pandangan sosial saya yang biasanya.

So, I’ll keep this short and sweet.

Cebong dan Kampret

Dasar Cebong!

Dasar Kampret!

Semuanya berbau politik. Istilah ‘Cebong’ bermula saat tokoh politik mereka memelihara kodok sehingga setiap dari golongan kanannya disebut dengan kecebong yang disingkat menjadi ‘cebong.

Sedangkan istilah ‘Kampret’ dipercayai muncul ketika tokoh politik mereka menyebutkan bahwa Kabinet/Koalisi Merah Putih milik lawan politiknya berakronim KMP yang kemudian diplesetkan menjadi ‘KMP-ret’ atau ‘kampret’.

Seteru politik tersebut terjadi berbulan-bulan terutama menjelang pemilu yang melibatkan calon presiden dari kedua kubu. Dari sekedar ejekan, cacian, hinaan, hingga hujatan yang telah masuk ke dalam lingkup yang sangat sensitif hingga SARA mewarnai kondisi saat itu bahkan masih berlangsung hingga sekarang, meskipun kedua tokoh politik tersebut sudah berdamai dengan jatah kerja mereka masing-masing.

Sebenarnya jika ingin ditilik lebih dalam, ‘Cebong’ dan ‘Kampret’ memiliki banyak sekali kesamaan, yaitu:

  1. Tidak terima ‘junjungan’ mereka dikritik, oleh siapa pun.
  2. Merendahkan lawan politiknya bahkan menutup mata dari setiap prestasi yang dicapainya.
  3. Selalu mencari berita positif tentang ‘junjungan’ mereka. Media yang memberitakan negatif sekali pun benar akan dicap media tidak profesional, abal-abal, atau bahkan langsung dituduh milik kelompok tertentu.
  4. Tidak pernah terbuka dan cenderung fanatik buta. Namun mereka enggan mengakuinya.
  5. Belum pernah sekali pun mengukur kinerja ‘junjungan’ mereka.
  6. Semuanya memiliki jargon untuk membuktikan bahwa kubu merekalah yang paling benar. Yang satu memakai jargon agama, sedangkan yang satunya memakai jargon logika.

Terlepas dari itu semua, saya pribadi mengkritik tokoh-tokoh politik dari kedua kubu jika memang perlu adanya perbaikan dan memuji mereka jika mereka mengambil langkah yang benar dan memiliki manfaat yang besar. Saya berusaha untuk netral dan mengambil langkah bijak.

Mudah bagi saya untuk memastikan apakah seseorang sekalipun ia adalah teman saya sendiri untuk saya cap ‘cebong’ atau ‘kampret’. Saya tanya pada mereka, “Apakah kalian pernah mengkritik kinerja si A di samping selalu memujinya?” Jika mereka menggeleng, mereka sudah jelas masuk ke kubu tersebut.

Namun setelah saya pikir-pikir, tidak pernah ada istilah ‘cebong’ dan ‘kampret’. Yang ada hanyalah sifat sebagian besar masyarakat negeri ini yang hanya menilai seseorang bukan dari kemajuan yang ia dapat, melainkan hanya berdasar suka dan tidak suka semata. Bahkan kemudian saya ingat seorang guru SD saya pernah menyinggung hal ini persis saat pemilihan ketua kelas.

Akhir kata, perpecahan yang mengakibatkan terbentuknya dua kubu ini dengan begitu mudah, membuat kita paham mengapa Belanda menggunakan strategi “Devide Et Impera” dalam menjajah negara ini selama tiga setengah abad lamanya.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Merdeka Tidak Merdeka: Subang, Curug Cileat & Koleangkak

    Berikutnya
    Artikel Pendek Masalah Sosial #6 : Hati-Hati Membangun Bisnis Syari


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas