Ini adalah artikel saya seri pembahasan masalah sosial yang saya tidak bahas sepanjang artikel-artikel pandangan sosial saya yang biasanya.
So, I’ll keep this short and sweet.
Dasar Cebong!
Dasar Kampret!
Semuanya berbau politik. Istilah ‘Cebong’ bermula saat tokoh politik mereka memelihara kodok sehingga setiap dari golongan kanannya disebut dengan kecebong yang disingkat menjadi ‘cebong.
Sedangkan istilah ‘Kampret’ dipercayai muncul ketika tokoh politik mereka menyebutkan bahwa Kabinet/Koalisi Merah Putih milik lawan politiknya berakronim KMP yang kemudian diplesetkan menjadi ‘KMP-ret’ atau ‘kampret’.
Seteru politik tersebut terjadi berbulan-bulan terutama menjelang pemilu yang melibatkan calon presiden dari kedua kubu. Dari sekedar ejekan, cacian, hinaan, hingga hujatan yang telah masuk ke dalam lingkup yang sangat sensitif hingga SARA mewarnai kondisi saat itu bahkan masih berlangsung hingga sekarang, meskipun kedua tokoh politik tersebut sudah berdamai dengan jatah kerja mereka masing-masing.
Sebenarnya jika ingin ditilik lebih dalam, ‘Cebong’ dan ‘Kampret’ memiliki banyak sekali kesamaan, yaitu:
Terlepas dari itu semua, saya pribadi mengkritik tokoh-tokoh politik dari kedua kubu jika memang perlu adanya perbaikan dan memuji mereka jika mereka mengambil langkah yang benar dan memiliki manfaat yang besar. Saya berusaha untuk netral dan mengambil langkah bijak.
Mudah bagi saya untuk memastikan apakah seseorang sekalipun ia adalah teman saya sendiri untuk saya cap ‘cebong’ atau ‘kampret’. Saya tanya pada mereka, “Apakah kalian pernah mengkritik kinerja si A di samping selalu memujinya?” Jika mereka menggeleng, mereka sudah jelas masuk ke kubu tersebut.
Namun setelah saya pikir-pikir, tidak pernah ada istilah ‘cebong’ dan ‘kampret’. Yang ada hanyalah sifat sebagian besar masyarakat negeri ini yang hanya menilai seseorang bukan dari kemajuan yang ia dapat, melainkan hanya berdasar suka dan tidak suka semata. Bahkan kemudian saya ingat seorang guru SD saya pernah menyinggung hal ini persis saat pemilihan ketua kelas.
Akhir kata, perpecahan yang mengakibatkan terbentuknya dua kubu ini dengan begitu mudah, membuat kita paham mengapa Belanda menggunakan strategi “Devide Et Impera” dalam menjajah negara ini selama tiga setengah abad lamanya.