Terkadang terjadi sebuah diskusi dingin antara saya dengan seseorang, membahas masalah yang berkaitan dengan kepentingan banyak orang. Biasanya saya bertanya di sela-sela saya sedang menjelaskan masalahnya kepada lawan bicara saya, “Bagaimana menurutmu jika kamu berada di posisi dia?”
“Biasa aja.” Sebuah jawaban yang agak mengejutkan saya dapatkan darinya. Entah mengapa, saya agak merasa tidak nyaman dengan jawaban itu. Padahal saya tidak sedang berbicara masalah individual.
Meskipun memang tidak sering saya mendapatkan teman diskusi seperti itu, namun sepertinya probabilitasnya masih di atas 20 persen.
Memang apa yang salah dengan tanggapan, “Biasa aja”? Tidak ada, sebenarnya memang tidak ada yang salah jika memang sedang membahas masalah pribadi atau masalah yang tidak begitu penting. Yang menjadi sorotan di sini adalah, tanggapan tersebut keluar dari mulut yang dingin kala diskusi dan bertukar pikiran dengan tema yang memiliki bobot.
Mengapa saya begitu terusik dengan jawaban “Biasa aja” saat berdiskusi? Karena memang saya cukup lelah mendengarkan komplain banyak orang mengenai banyaknya orang-orang yang tidak kompeten yang mereka angkat menjadi pemimpin mereka.
Mengapa banyak orang yang tidak peka yang diangkat jadi pemimpin? Atau mengapa banyak pemimpin kita yang tidak peka kepada yang dipimpinnya?
Kemungkinan besar, saat mereka diajak berbicara mengenai kebutuhan rakyat dan ditanya bagaimana perasaan mereka mengenai komplain rakyat yang dipimpinnya, mereka menanggapinya dengan “Biasa aja”.
Yep, ucapan “Biasa aja” terjadi karena sang pengucap tidak merasakan penderitaan yang sama, atau merasakan, namun mereka secara tega ‘membalasdendamkan’ penderitaan tersebut ke orang lain. Mereka senang dengan kehidupan yang keras, mereka menganggap setiap orang juga harus merasakan kehidupan keras seperti mereka itu, tidak peduli bahwa orang lain di sekitarnya pun sudah memiliki masalah mereka masing-masing.
Makanya, mengapa kita risih dengan para pemimpin yang tidak memperhatikan rakyatnya? Mereka pun kalau ditanya bagaimana perasaan mereka seandainya mereka menjadi rakyat yang dipimpinnya pun mereka akan dengan santai menjawab, “Biasa aja”.
Mengapa harus ada perbaikan jalan rusak? Waktu dulu zaman saya justru jalanan masih tanah. “Biasa aja”.
Mengapa harus ada pengeluaran dana lebih untuk membantu orang-orang selama mereka belum terkena bencana alam? Waktu dulu saya kecil bahkan saya mengalami lebih parah dari itu. “Biasa aja”.
Yup, maka dari itu apakah kita akan terus menanggapi permasalahan yang terjadi di sekitar kita dengan “Biasa aja”?