Awal tahun 2020, saat dunia baru digegerkan dengan wabah virus yang baru saja menyebar ke seantero bumi, ternyata ada hal lain yang menarik perhatian saya.
Juni itu, salah satu akun meme yang saya ikuti di Instagram tiba-tiba memosting banyak sekali perempuan-perempuan yang senang berkonfrontasi (bertikai) dengan para pekerja dan menuntut agar mereka mempertemukannya dengan sang manajer.
I want to talk to your manager. (Saya ingin berbicara kepada manajer Anda)
Begitulah kutipan terkenal dari para wanita yang dijuluki Karen tersebut.
Saya tidak benar-benar memahami mengapa nama “Karen” terpilih menjadi sebutan “K” untuk para perempuan yang senang komplain atas kesalahan ‘kecil’ yang dilakukan oleh para pekerja. Seperti saat pelayan restoran menjawab dengan nada yang kurang tepat dan sebagainya.
Karen pun mengalahkan pamor sebutan perempuan lain yang juga menjadi sasaran meme seperti “Susan” atau “Becky” yang diwakilkan sebagai perempuan pirang yang menyebalkan.
Hingga akhirnya, beberapa bulan kemudian, sebutan Karen telah menjadi stigma baru yang mendunia. Terbukti hingga banyak warga asing yang enggan menamai anaknya dengan Karen setelah itu.
Tetapi semakin ke sini saya menemukan sesuatu yang jangal dan membuat saya semakin tidak nyaman.
Meskipun menyebalkan dan sering menjadi sumber keributan, beberapa “Karen” sebenarnya memang dapat menjadi seorang “Hero” atau pahlawan.
Kok bisa?
Fenomena Karen yang telah menjadi stigma yang sangat tidak menyenangkan di seluruh dunia, dapat menjadi bumerang bagi kehidupan sosial masyarakat itu sendiri.
Pada dasarnya, manusia memang secara naluri mereka diciptakan sebagai makhluk yang senang melakukan interaksi sosial.
Manusia pada dasarnya senang men-judge atau menilai orang lain, mulai dari menilai yang baik mau pun yang buruk.
Tetapi sayangnya manusia yang senang menilai orang lain pun kebanyakan tidak ingin mendapatkan penilaian buruk dari orang lain.
Lalu apa hubungannya dengan fenomena Karen? Tentu ada, bahkan memiliki hubungan yang kuat.
Dampak negatif fenomena Karen ini membuat banyak orang terkekang tidak dapat mengutarakan perasaan tidak nyaman mereka sebab mereka khawatir akan dituduh sebagai Karen.
Pada akhirnya banyak orang yang terpaksa memendam perasaan tidak nyaman mereka. Padahal mereka sendiri dapat mengungkapkan perasaan tidak nyaman tersebut dengan sebaik-baik etika.
Tetapi stigma Karen yang telah mendarah daging di sebagian masyarakat seakan telah mengendalikan pikiran mereka bahwa orang yang mengungkapkan perasaan tidak nyamannya dapat disebut dengan Karen dan ia berisiko dikucilkan di masyarakat.
Padahal masyarakat sebenarnya dapat mengedukasi bagaimana seharusnya mengeluarkan perasaan tidak nyaman seseorang dengan cara yang baik dan benar, bukan dengan serta merta langsung mengkadidatkan Karen kepada orang-orang malang tersebut.
Betul bahwa kehadiran Karen di sini dapat merugikan perusahaan sebab bukan hanya mereka ingin pelayanan yang tiada tara dengan harga yang semurah mungkin bahkan gratis jika memungkinkan.
Apalagi jika ada Karen yang komplain sambil merusak properti atau aset perusahaan, itu adalah hal yang sangat-sangat tidak etis dan si Karen tersebut berpotensi berhadapan dengan hukum.
Tetapi di satu sisi, tidak adanya Karen justru juga dapat membuat rugi usaha seseorang. Mengapa bisa?
Sebab perusahaan yang baik selalu menginginkan timbal balik entah berupa saran atau bahkan komplain dari pelanggannya untuk kemajuan bisnisnya.
Saat seorang pelanggan memang tidak mendapatkan layanan yang seharusnya dari penyedia layanan, seharusnya itu menjadi peluang perusahaan agar memperbaiki layanan mereka.
Namun yang saya banyak saksikan dari negara asal Karen sana, banyak pegawai yang berani merekam pelanggan-pelanggan yang komplain kemudian menuduh mereka sebagai Karen.
Tidak jarang para manajer yang bahkan hingga harus turun tangan meminta maaf kepada pelanggan tersebut.
Mungkin bagi para ‘pekerja kecil’ tersebut tidak masalah mereka kehilangan pelanggan, tapi bagi perusahaan itu bisa menjadi musibah besar bagi bisnisnya yang pada akhirnya mengancam kelangsungan kerja para ‘pekerja kecil’ itu sendiri.
Apalagi rekaman mengenai pelanggan yang mereka tuduh sebagai Karen tersebut dapat membuat beberapa pemirsa yang menyaksikannya berpikir dua kali jika akan menggunakan layanan tersebut.
Tentu saja mereka khawatir jika apa yang mereka dapat sangat tidak sesuai harapan namun mereka tidak lagi dapat mengajukan komplain sebab khawatir mereka akan menjadi Karen.
Berapa banyak hari ini pengusaha berdarah-darah hanya untuk mempertahankan pelanggan mereka? Jangankan untuk melebarkan sayap bisnis dan membuka cabang, jumlah pelanggan mereka seperti tidak ada peningkatan yang signifikan selama berbulan-bulan.
Sudah sangat sering kita saksikan, saat ada orang yang ingin mengajukan komplain atas suatu layanan atau prilaku pegawainya, beberapa orang akan menyuruhnya diam dengan ucapan, “Sudah, jangan dilaporin, kesian…”.
Saya bahkan hingga membuat artikel khusus yang membahas hal tersebut.
Toleransi keburukan yang selalu kita sematkan kepada para pekerja kecil tersebut akan membuat mereka menjadi kebal hukum dan enggan melakukan perbaikan kinerja.
Jika sudah banyak pegawai kecil yang seperti itu, jangan heran jika kita kesulitan mencari kandidat untuk kita jadikan pemimpin kita.
Kebanyakan watak pemimpin korup adalah sama dengan para pekerja kecil yang kita lindungi kesalahannya tersebut.
Mereka kebal hukum, anti menerima laporan, enggan melayani rakyat mereka dengan maksimal, melanggar hukum dengan amannya, bertindak tidak senonoh saat jam kerja, tidak disiplin, enggan melakukan improvisasi, dan lain sebagainya.
Dari 8 jam kerja, waktu efisien kerja para pekerja kecil yang kesalahan mereka kita bela tersebut, mungkin sekitar hanya 2 hingga 3 jam. Sisanya hanya mengobrol dan memandang jejaring sosial mereka.
Bagaimana pemimpin kita akan memperhatikan rakyatnya sedangkan sewaktu mereka masih menjadi pekerja kecil mereka tidak pernah memikirkan pelanggan mereka?
Akhirnya watak melayani sepenuh hati tersebut tidak akan pernah terbentuk.
Lucunya, di akun meme Karen yang saya ikuti di Instagram, pada suatu hari memosting video seseorang yang ia tuduh sebagai Karen karena seperti menyalahgunakan bendera negaranya.
Tertulis di keterangan video, “Wanita ini menyalahgunakan bendera USA.”
Saya sendiri melihat video tersebut berkali-kali namun tidak saya temukan kesalahan atas apa yang dilakukan oleh si perempuan yang ada di video tersebut.
Di video itu hanya ada seorang perempuan yang sedang menunjuk-nunjuk bintang bendera Amerika Serikat di atas kasurnya sambil tertawa-tawa. Dan itu ditujukan memang untuk humor, bukan untuk merendahkan bendera tersebut. Bahkan benderanya masih dapat terbilang bagus dan utuh.
Sampai saya menyerah, saya melihat kolom komentar.
Tanpa saya sangka, seluruh komentar di konten tersebut justru kompak mengalamatkan Karen kepada si pemilik akun meme Karen tersebut.
“Menjadi Karen pada waktunya.” Kira-kira seperti itu kebanyakan inti komentarnya.
Pelajaran yang saya petik pada saat itu adalah,
Seseorang yang gemar menuduh Karen, suatu saat ia akan menemukan ketidaknyamanan yang perlu ia keluarkan. Saat ia mengeluarkan perasaan itu dengan caranya, ia telah menjadi Karen dengan sendirinya.
Karena sekali lagi, manusia pada dasarnya senang menilai orang lain. Baik penilaian baik atau buruk, entah komplain atau komplimen.
Tetapi sayangnya orang lain hanya ingin mendapatkan penilaian bagus saja tanpa adanya hasrat untuk menjadikannya pribadi yang lebih baik lagi.
Seseorang akan terus-menerus hanya ingin dinilai baik oleh seseorang hingga suatu saat tidak ada lagi dirinya yang dapat dinilai baik.
Hal ini berbeda jauh dengan negara-negara maju seperti Jepang yang mereka benar-benar mengandalkan timbal balik dari komunitas dan sosial mereka untuk menyempurnakan produknya.
Teman saya yang gemar mengoleksi Gundam hingga bercerita ada ‘produk gagal’ Gundam yang sebenarnya tidak gagal sama sekali. Tapi ditarik dari pasaran karena dikritik oleh komunitasnya di Jepang.
Ia menyebutkan hanya karena ada bentuknya terlalu kaku, yang bahkan menurut teman saya itu sangat, sangat tidak masalah.
Saya pun membuka komplain lebar-lebar bagi pelanggan perusahaan saya. Mereka bebas mengajukan komplain.
Bahkan kalian, para pembaca situs Anandastoon ini, sangat dipersilakan untuk mengajukan komplain yang menurut kalian dapat membuat situs Anandastoon ini lebih baik lagi. Silakan klik di sini untuk berkomplain ria. 🤗