Kerja Enak

Bermula dari sebuah cuitan di jejaring sosial, di mana ada orang yang iri dengan kehidupan orang Jakarta yang menurutnya enak. Kerja di gedung berAC, bergaji di atas delapan juta, pulang naik transportasi umum yang nyaman, dan kenikmatan lainnya.

Bahkan ada yang mengutip cuitan itu dengan menyinggung para pekerja kantoran di Jakarta agar jangan mengeluh dan selalu bersyukur karena pekerjaan mereka adalah impian orang lain.

Saya membaca itu hanya menyeringai lebar. This is wrong on so many levels.

Di sini yang menjadi sorotan adalah “kerja enak”.

Saya yang berasal dari keluarga yang tidak memiliki apa-apa dan tidak memiliki keistimewaan (privilege) sama sekali pun tidak memahami apa arti dari “kerja enak” yang dimaksud oleh banyak orang.

Sayangnya, banyak sekali orang tua dan lingkungan sepergaulan kita yang menanamkan istilah “kerja enak” ini. Coba kita tanya orang-orang yang memperkenalkan istilah “kerja enak” tersebut, maksudnya apa?

Padahal tidak pernah ada istilah “kerja enak”, saya bahkan tidak tahu siapa yang pertama kali menggagas istilah tersebut.

Sekarang, bagaimana tipikal “kerja enak” yang menjadi impian banyak orang?

Apakah kerja hanya dengan ongkang-ongkang kaki, kemudian mendapatkan gaji besar?

Jika iya, maka itulah yang dilakukan para pejabat korup. Apakah pekerjaan itu yang kita inginkan?


Seolah sengaja ditumbuhkan

Sebagian besar masyarakat sepertinya mendapatkan didikan hanya dari tampilan luarnya saja.

Orang-orang berdasi adalah orang-orang yang bekerja santai dan mendapatkan banyak uang, sehingga itulah yang menjadi pekerjaan impian banyak orang.

Lucunya, orang-orang yang menginginkan pekerjaan yang menurut mereka enak pun pada akhirnya memandang sebelah mata pekerjaan lainnya yang sama-sama halal hanya karena tidak terlihat ‘wah’ di mata mereka.

Ingatlah, seluruh pekerjaan memerlukan stres semuanya tanpa kecuali, entah stres tenaga atau pikiran. Dari stres itulah kita mendapatkan hasil dari pekerjaan kita.

Para pekerja kantoran pun mereka memiliki peran yang sama pentingnya dengan petani di desa. Tetapi apa daya sekarang hari ini sepertinya kebanyakan “orang desa” mengidam-idamkan pekerjaan “orang kota”.

Masing-masing pekerjaan halal memiliki peranan penting, dan ya, masing-masing pekerjaan halal memiliki sisi enak dan tidak enaknya.

Jika seseorang mendapatkan gaji dari suatu pekerjaan halal, ketahuilah bahwa pekerjaan itu penting dan masyarakat membutuhkan itu.

Masyarakat kota membutuhkan hasil pekerjaan masyarakat desa agar mendapatkan pasokan bahan baku. Masyarakat desa pun membutuhkan hasil pekerjaan masyarakat kota agar mendapatkan pasokan barang yang telah diolah.

Namun yang sekarang terjadi justru seperti tidak ada habis-habisnya singgung-menyinggung antara orang kota dengan orang desa karena hal sepele seperti ini. Bagaimana sebuah negara bisa sejahtera jika perilaku sumber dayanya seperti ini?

Ya, tingkatan IQ berperan sangat penting di sini. Bahkan sudah saya bahas panjang lebar di postingan saya sebelumnya.


Ironi dan paradoks

Sekarang kita kembali ke cuitan awal. Jika seseorang menginginkan pekerjaan orang kota, kemudian apa yang menghalanginya untuk mencari-cari lamaran pekerjaan yang ia impikan itu?

Dia bisa mencuit di media sosial, yang artinya dia juga punya kuasa untuk mencari tips bagaimana cara agar mudah mendapatkan pekerjaan di gedung bertingkat lewat internet dan gadget yang ia pakai. Namun ternyata tidak ia lakukan itu dan memilih untuk mengeluh sepanjang waktu.

Saya sampai berlelah-lelah membuat tips yang harapannya dapat memudahkan orang-orang mendapatkan kerja di artikel berikut. Artikelnya gratis untuk dibaca, bahkan jika ada yang kurang berkenan dengan iklan yang tampil di situs Anandastoon ini saya persilakan menggunakan Adblocker.

Apalagi saat seseorang menyinggung jikalau pekerja kantoran harus selalu bersyukur karena pekerjaannya menjadi impian beberapa orang.

Justru yang seharusnya selalu bersyukur adalah mereka yang memiliki kuasa untuk memperbaiki diri, namun malah memilih untuk mengeluh sepanjang waktu.

Pekerja kantoran pun banyak yang stres, depresi, dan mereka memiliki setumpuk pekerjaan yang perlu beban pikiran tinggi.

Sekarang apabila seseorang itu menganggap pekerja kantoran itu adalah orang yang hanya berleha-leha di ruangan AC dengan gaji besar, maka ia baru saja mendeskripsikan koruptor.

Ya, bisa jadi orang-orang yang menginginkan “kerja enak” itulah calon koruptor berikutnya jika mereka memiliki kesempatan.

Perlu kita ketahui, Indonesia kekurangan manajer sehingga harus impor tenaga kerja manajer dari luar negeri. Gaji manajer itu besar, karena risiko dan hasil kerjanya tidak main-main.

Dengan posisi manajer yang banyak kekosongan seperti itu, mengapa mereka yang menginginkan pekerjaan yang enak justru tidak ada yang mengisinya?

Jawabannya mudah, bukan karena harus sarjana, bukan karena harus punya orang dalam. Jawabannya jelas karena mereka tidak memiliki kemampuan terkait.

Mereka hanya ingin hasil instan tanpa ingin lelah dan risiko.

Semakin jarang pekerjaan yang dapat terisi, atau semakin tinggi risiko sebuah pekerjaan, atau semakin luas manfaat dari hasil pekerjaan tersebut, maka semakin besarlah bayarannya.

Kita mungkin menganggap pembersih jendela gedung begitu berisiko tinggi karena seakan menantang maut dari ketinggian. Namun perlu kita lihat sisi lainnya juga, bahwa jauh lebih berisiko lagi perusahaan pembuat gondola yang mereka pakai. Mengapa? Karena gondola itulah yang bertanggungjawab penuh dalam memberikan rasa aman kepada para pembersih jendela gedung.

Di negara maju, seperti di Jepang, saya pernah melihat tayangan seorang pembersih/janitor begitu mendalami dan menjiwai pekerjaannya. Baginya dapat membersihkan area yang sulit adalah sebuah prestasi dan dia menantang dirinya sendiri agar dapat membersihkan bagian-bagian yang tidak biasa.

Hasilnya begitu manis, sang janitor dapat menyelesaikan pekerjaannya jauh lebih cepat daripada janitor lainnya. Bahkan ia pun bukan hanya menyelesaikan pekerjaannya, namun ada sisi-sisi yang ia hias sebagai bentuk layanan ekstra.

Seseorang pada akhirnya akan mencapai tahap menikmati kerja mereka ketika mereka sudah menjadi ahli dalam bidang yang mereka sukai.


Di lain pihak

Setiap orang memiliki bakat masing-masing.

Pekerja kantoran pun tidak akan sanggup jika mereka harus menjadi petani di desa. Atau pekerja kantoran belum tentu sanggup jika mereka harus menjadi pengelola tempat wisata di suatu tempat indah di desa.

Namun, tanpa pekerja kantoran maka tidak akan ada teknologi yang masuk desa dan mempermudah kehidupan orang-orang di sana.

Bukankah hari ini kita menikmati kemudahan teknologi dalam genggaman? Sudahkah kita bersyukur dengan berterima kasih kepada pekerja-pekerja yang telah berjasa menyediakan teknologi tersebut?

Masalahnya, banyak dari masyarakatnya itu sendiri yang membutuhkan kerja justru seringkali berbuat keji dan jahat kepada para pemberi kerja. Mereka menganggap pengusaha dan pemberi lapangan kerja adalah orang-orang yang berkuasa dengan semaunya.

Betul bahwa ada satu atau dua pengusaha yang kurang baik, tetapi banyak juga para pekerja yang memiliki catatan kerja buruk seperti korupsi waktu, bahkan sampai mengorupsi bahan baku.

Apakah para pekerja yang berkualitas rendah dan sering menuduh para pemberi kerja sudah dapat memberi makan diri mereka sendiri?


Keinginan bersama

Mau bagaimana lagi, masyarakat masih banyak yang lebih memilih drama daripada prestasi kerja. Terlalu mempahlawanisasi rakyat kecil dan bukannya rakyat yang beradab.

Cobalah perhatikan saat ada orang tua yang menginginkan anak mereka kerja menjadi PNS, kira-kira apa tujuan para orang tua itu?

Apakah ingin anaknya menjadi PNS agar dapat melayani masyarakat dan berkorban untuk negara?

Atau ingin anaknya menjadi PNS agar mereka dapat terciprat gengsi dan citra di mata masyarakat tak peduli bagaimana kinerja anaknya di pemerintahan?

Ternyata budaya korupsi memang telah subur di negara ini dari masyarakatnya itu sendiri, tak peduli dari kalangan kecil, menengah, atau konglomerat.

Pemimpin korup yang kita pilih, adalah mereka-mereka yang juga ingin “kerja enak”.

Di lain sisi, banyak pekerja kantoran yang bergaji UMR, mengeluarkan uang transportasi umum berlebih, dan kehidupan mereka pun tidak sesejahtera yang orang lain bayangkan.

Saat pekerja kantoran pun melaporkan ketidaknyamanan mereka kepada pemerintah, itu bukan karena mereka tidak bersyukur. Justru itulah rasa syukur saat mereka menginginkan perbaikan.

Ketika ada orang-orang yang menginginkan “hidup enak” seperti orang kota dengan infrastruktur yang memadai, mengapa mereka tidak ingin memulainya dari lingkungan mereka sendiri?

Apabila bersyukur hanya sebatas mengucap “Alhamdulillah”, koruptor pun berucap sama saat mendapatkan uang hasil korupsi. Hanya sebatas itukah pengetahuan sebagian masyarakat tentang rasa syukur?

Melakukan perbaikan dari nikmat yang kita dapatkan itulah salah satu cara bersyukur.

Sekarang cobalah mereka yang mengeluh itu melakukan improvisasi atau perbaikan mulai dari diri mereka sendiri dahulu. Jadi bukan hanya menyuruh orang lain agar selalu bersyukur namun diri mereka sendiri justru jauh dari rasa syukur tersebut.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Teknologi Membuat Kita Semakin Pintar atau Bodoh?

    Berikutnya
    Punya 100 Juta+ Sebelum Usia 30? 5 Tips Budgeting Astoon


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas