“Kok jahat banget sih! Dia kan sudah capek melayani Anda! Kok tibang kasih tip aja pelit banget!!!“
Tenang, tenang… jangan teror saya karena judulnya yang -mungkin- begitu kontroversial hehe.
Sepertinya memang jika kita sering jalan-jalan ke gedung pusat perbelanjaan, hotel, restoran mewah, hampir selalu kita menemukan peraturan yang bertuliskan “No Tipping” atau “Dilarang Memberikan Tip” kepada karyawan-karyawannya. Ada apa? Mengapa peraturan ini berada di mana-mana?
Baiknya kita tidak langsung menilai dengan perasaan karena mungkin sekilas peraturan tersebut akan terasa menyalahi perasaan setiap orang. Inilah pentingnya mengambil nafas dalam-dalam dan berpikir dengan akal kita yang telah dihadiahkan oleh Allah.
Yuk, sini… saya memanggil kalian untuk duduk bareng dan menyimak tulisan saya berikut.
Sepertinya “uang pelicin”, “uang bawah meja”, “uang sogokan”, atau apa pun itu sudah menjadi budaya ‘kasihan’ yang telah mengakar di masyarakat kita. Semua alasan selalu bertemakan rasa kasihan atau apresiasi atas kerja keras yang telah dilakukan oleh orang lain.
Teman saya pernah memberikan sejumlah uang kepada seorang polisi karena telah membuatkan surat kehilangan untuknya. Sang polisi menerimanya dengan. senang. hati.
Kasus lain? Sebuah tulisan “No Tipping” terpampang jelas di areal parkir. Setelah memarkirkan mobilnya, teman saya menghampiri petugas sekuriti karena telah memarkirkan mobilnya dengan baik dan memberikan sejumlah uang pula. Pun uang itu diterima oleh petugas.
“Ya nggak apa dong, itu kan namanya menghargai kerja keras orang lain! Apa salahnya berbagi!”
Aduh, aduh, sepertinya saya semakin diserang ya? Baik, baik. saya menuju bagian selanjutnya.
Sudah berapa kali saya menemukan atau mengalami sendiri orang-orang yang memang seharusnya sudah menjadi tugasnya, ternyata melayani saya asal-asalan. Kemudian dengan pelayanan yang semaunya itu, bahkan ramah pun tidak, mereka justru seperti menagih ‘uang jasa’ atau ‘uang admin’ dengan bahasa muka mereka yang nyata-nyata tidak diperbolehkan.
Teman saya pernah berkata kepada saya, “Kamu nggak ngasih uang terima kasih untuk dia?”
Saya katakan, “Dia melayani saya tidak sepenuh hati dan kamu bilang saya tidak memberi uang terima kasih? Sudah jelas tidak. Memang gajinya selalu kurang? Lagipula gajinya juga berasal dari uang kita-kita juga kan? Dan dia tadi hanya senyum kepada temannya, kepada saya tidak, mengapa dia tidak minta saja uang terima kasih kepada temannya?”
Dia merasa gajinya kurang? Atau memang Allah yang membuat gajinya seakan kurang atau menghapus berkah gajinya?
Saya juga pernah berkata kepada teman saya, “Kamu hanya peduli dengan dia seharga dua ribu rupiah untuk tip. Tapi apakah kamu peduli jika suatu saat pelayanannya bergantung pada tip customernya dan menjadi semena-mena? Bagaimana jika kemudian perusahaan tahu kelakuannya kemudian memberhentikannya? Apakah kamu peduli sampai sana?”
Kita tidak ingin ada orang yang karena uang receh, dia kehilangan gaji bulanannya selama-lamanya.
Dulu ada perusahaan ojeg online yang memberikan opsi tips di awal pemesanan. Hingga akhirnya banyak laporan bahwa sang driver tidak mau ambil pesanan sebelum diberikan tip, maka perusahaan ojeg online tersebut menghapus kebijakan boleh memberikan tip di awal tersebut.
Lihat bagaimana tip yang tidak seberapa dapat berpengaruh buruk, bahkan sangat buruk terhadap kualitas kinerja seseorang?
Perlu diketahui, bahwa kebanyakan kita hanya berkutat di posisi staf saja. Jumlah masyarakat kita yang berbakat menjadi manajer perusahaan begitu sedikit, itu pun kebanyakan manajer adalah impor dari luar negeri sebagai konsultan.
Sudah kebanyakan kita hanya mampu untuk jadi sebatas karyawan saja, kualitas kinerja dan profesionalitas kita pun tidak kunjung membaik. Ditambah, pengharapan tips menjadi penghasilan lebih telah menjadi penyakit yang dapat menggerus habis profesionalitas seseorang.
Percayalah, jika memang kamu kasihan dengan para pekerja tersebut, jadikan dia menjadi lebih dicintai perusahaannya karena profesionalitasnya yang begitu tinggi. Minimal dengan tidak (begitu sering) memberikan tip.
Barangkali karena seorang karyawan berhasil mempertahankan kinerja baiknya, perusahaan akan mempromosikan jabatan untuknya, atau jika dia keluar dari perusahaan pun, akan banyak perusahaan yang mau menampungnya karena setiap perusahaan butuh karyawan profesional yang dapat membuat mereka lebih untung.
Perlu diketahui, banyak dari masyarakat kita yang senang mengais rejeki tanpa mau berpikir panjang. Akibatnya? Uang yang telah didapatkan dipakai untuk foya-foya tanpa adanya manajemen yang baku.
Ditambah lagi, kebanyakan kita tidak pernah mau belajar dari pengalaman dan sering sekali lebih mengutamakan emosi perasaan daripada akal sehat.
Jika ada pertanyaan, “Apakah saya tidak pernah memberikan tip atau uang tanda terima kasih?”
Plis, jangan meminta saya untuk memberikan uang balas jasa, karena pasti tidak akan main-main. Daripada memberikan tip yang hanya paling banyak Rp5.000,- dan tidak berpengaruh apa pun kepada petugas tersebut kecuali sedikit, saya hampir selalu memberikan tip Rp50.000,- dan di atasnya.
Lho kok? Saya memberikan tip dengan nominal begitu besar?
Saya hanya memberikan tip kepada orang-orang yang memang sudah ikhlas dari awal. Dia tidak mengharapkan, ditambah lagi kinerjanya membuat saya terharu.
Pernah ada orang yang menemani saya dalam perjalanan ke Curug Hordeng, dan dia benar-benar memandu saya dengan sangat baik dan pembicaraan yang berkelas.
Dia sendiri hanya ingin menemani, tidak butuh sepeser pun, karena dia sendiri punya usaha trip, dan bahkan dia sendiri tidak setuju dengan ‘kelakuan’ warga setempat yang senang mengharapkan tip dengan usaha yang sangat minim.
Pulangnya, saya ditawarkan untuk shalat zhuhur di rumahnya dan mempersilakan teman saya untuk mencuci bagian pakaiannya yang kotor.
Sudah dapat ditebak, setelah itu saya agak sedikit ribut dengannya karena saya memberikan uang terima kasih sebesar Rp100.000,-. Dan esoknya, dia menghubungi saya, “Bang, terima kasih uangnya, saya dapat menjenguk orang tua saya di kampung.”
Di luar kejadian-kejadian serupa tersebut, saya paling anti memberikan tip kepada petugas berwenang atau oknum masyarakat yang ‘sok-sok’ membantu padahal kita tidak terlalu butuh. Apalagi jika ada peringatan, “No Tipping”.
Kita sudah sering melihat, orang-orang yang kita berikan tip tersebut hampir tidak pernah terlihat sedikit pun perbaikan kualitas hidup mereka, apalagi peningkatan kesejahteraan.
Coba kita hitung-hitung sedikit untuk upah tukang parkir lepas seperti yang ada di depan minimarket. Asumsi 50 kendaraan per hari dan dia mendapatkan Rp2.000 setiap kendaraan. Berarti dalam sehari ia mendapatkan Rp100.000,- di mana dalam sebulan dia mendapatkan Rp3 juta.
Itu hanya 50 kendaraan, bagaimana jika 100 kendaraan? Atau, bagaimana yang ia terima ada yang lebih dari dua ribu rupiah? Gaji kalian yang masih UMR mungkin akan kalah jauh jika dibandingkan. Namun apakah kalian kemudian akan menjadi tukang parkir lepas melihat kenyataan yang seperti itu?
Lebih baik, benahi pelayanan, benahi profesionalitas kalian. InsyaAllah pengetahuan kalian akan meningkat setiap harinya yang kemudian kalian kemungkinan dapat pengalaman lebih dan siap jika ada kenaikan jabatan.
Mari, budayakan agar tidak sering memberikan tip. Mulailah untuk mematuhi peraturanΒ “No Tipping”. Karena mereka pun ingin sejahtera…
Kita tidak mau budaya ingin menerima tip akan berubah menjadi suap, di mana,
βAllah melaknat penyuap dan penerima suap.β
(HR. Ibnu Majah)
—<(Wallaahu A’lam Bishshawaab)>—