Alasan beberapa orang ingin belajar mandiri atau otodidak memang bermacam-macam. Dari mulai karena rasa ingin tahu yang tinggi, menghindari biaya pendidikan yang mahal, hingga ingin mendapatkan penghasilan yang lebih baik lagi.
Saya sendiri belajar pemrograman secara otodidak, sedikit pun saya tidak mengambil ekstrakurikuler khusus sewaktu di sekolah, apalagi mengambil jurusan IT di kuliah.
Kini saya memiliki perusahaan saya sendiri dan menjadi seorang CTO yang telah memiliki beberapa karyawan dan berkantor di Kuningan, Jakarta.
Beberapa orang terkadang menginginkan saya berbagi tips bagaimana cara dapat sukses berotodidak. Dan juga sebenarnya, ingin sekali saya berikan tips-tips belajar otodidiak yang sudah terbukti ampuh bagi diri saya sendiri.
Tetapi saya memilih untuk tidak memberikan tips, karena tentu saja di internet sudah banyak sekali bertebaran beberapa tips agar dapat otodidak dengan kesempatan berhasil yang tinggi.
Sekarang saya justru lebih memilih untuk memberikan apa saja hal-hal yang (sangat) perlu diwaspadai. Otodidak itu punya banyak celah yang rawan menjadi ranjau bagi pegiatnya.
Saya dapatkan lima hal yang sebaiknya kalian waspadai akan ranjau-ranjau berbahaya dari perihal otodidak.
Beberapa orang yang meminta tips otodidak kepada saya, tidak serta-merta saya berikan tipsnya. Alih-alih, saya bertanya kepadanya apa tujuan mereka lebih memilih untuk otodidak.
Alasan yang paling sering saya dengar adalah karena mereka ingin menguasai sesuatu dengan sekejap. Mereka selalu menginginkan menguasai suatu bidang hanya dalam waktu yang sangat singkat.
Contohnya, ada orang yang ingin mendalami desain dalam waktu semalam saja. Atau ada orang yang ingin menjadi master fotografi hanya dalam beberapa hari.
Pun sama dengan orang-orang yang ingin belajar pemrograman, bahasa asing, meracik kopi, serta keahlian-keahlian lainnya.
Saya minta maaf sebelumnya jika saya harus meletuskan balon impian banyak orang: Tidak ada ilmu yang dapat kita kuasai hanya dalam sekedip mata.
Faktor penentu sebuah ilmu itu adalah memiliki biaya dan waktu yang lama. Namun beberapa orang seakan tidak ingin mengerti dan mengambil jalan pintas.
Beberapa orang yang otodidak tidak sabar dan tidak menghargai proses hingga akhirnya mereka hanya mempelajari tips, trik, dan cara cepatnya saja. Padahal itu adalah sebuah hal yang “Big No No” dalam mempelajari sesuatu.
Perlu kita ketahui, saat ada orang yang hanya belajar hanya dari cara cepatnya saja, jangan salahkan jika pada akhirnya mesin pun dapat mengambil alih pekerjaannya.
Saya pernah bahas tentang perhatian saya ini mengenai AI yang sudah diajari untuk memberikan template-template desain tanpa perlu lagi campur tangan desainer. Sebabnya hanya satu, beberapa desainer hanya meniru desain lewat peraturan yang sudah ada, yang mana robot pun dapat mudah melakukannya.
Saya memahami beberapa orang yang ingin instan dalam menguasai sesuatu itu mungkin dalam keadaan terdesak atau memang hanya murni tidak sabar.
Tetapi serius, ilmu itu memiliki konsep dan struktur yang harus kita hargai. Karenanya sangat mustahil jika kita ingin dengan mudahnya menguasai sesuatu dalam semalam.
Sekali pun memang seseorang benar-benar dapat mempelajari sesuatu dalam waktu yang begitu sebentar, kemungkinan besar yang ia kuasai hanya di bagian itu saja.
Misalnya, saya pernah melihat seorang fotografer yang hasil fotonya begitu keren dan fantastis. Namun isi galerinya hanya foto-foto yang memiliki efek yang sama satu dengan yang lainnya.
Ternyata memang ia hanya menguasai efek foto yang itu-itu saja. Saya sendiri sampai akhirnya bosan dengan hasilnya yang monoton, tidak peduli sebagus apa pun presentasinya.
Tak lama setelah itu, karir fotografer tersebut tenggelam karena ternyata banyak sekali para junior yang menguasai efek yang sama. Dan coba tebak? para junior itu mengambil jalan pintas hanya untuk mempelajari efek foto yang sama dengannya.
Lagipula, tidak sedikit orang yang melakukan sesuatu dengan otodidak tidak memahami standar tingkat keilmuan.
Sebagian orang yang otodidak merasa sangat puas saat telah memahami sebuah cabang ilmu, padahal itu masih level satu. Parahnya, mereka ada yang berbangga-bangga dengan kemampuannya dan membanding-bandingkannya dengan orang yang sudah berlevel puluhan.
Faktanya, ilmu mereka banyak yang masih mentah dan belum dapat sepenuhnya terpakai.
Tidak jarang orang yang ingin menerjuni sebuah cabang ilmu karena alasan ikut-ikutan.
Dengan niat yang seperti itu, sudah banyak orang yang kehilangan identitas mereka dan menekuni sebuah kegiatan yang mereka sendiri tidak memahami arahnya kemana.
Mereka hanya melihat dari hasil dan gengsi orang lain yang juga menggemari sebuah keahlian.
Contoh, ada berita mengenai orang yang sukses meraup puluhan juta rupiah dalam kurun waktu sebulan dari usaha konten kreator. Beberapa orang langsung terpengaruh dan tertarik untuk turut serta menjadi kreator konten sebab penghasilannya yang menggiurkan.
Kita sudah lihat bahwa dari niatnya saja, itu sudah memiliki urgensi tinggi untuk diluruskan.
Padahal setiap orang sudah memiliki bakat. Bakat itu ibarat jenis biji tumbuhan. Biji semangka pasti akan tumbuh pohon semangka darinya. Begitu juga dengan biji nangka, biji apel, biji kelapa, dan sejenisnya.
Kita sering tertukar antara bakat dan kemampuan. Bakat itu adalah sesuatu yang memang bawaan sejak kita lahir, sedangkan kemampuan itu adalah bagaimana kita menumbuhkannya.
Masalahnya, saya kerap menemukan orang yang meminta saya untuk saya ajari bahasa pemrograman sementara mereka sudah terlihat tidak begitu berminat di dalamnya. Alasan mereka ingin menjadi programmer karena menurut mereka itu adalah profesi yang wah.
Saya hanya menyeringai mendengarkan itu, kemudian memperkenalkannya sedikit koding. Dan biasanya saya tahu saat orang yang saya ajari punya dedikasi untuk mengoding atau tidak.
Jika ternyata orang yang saya ajari koding justru mengeluh, saya lebih memilih menghentikannya dan mengulik apa sebenarnya yang jadi hobinya.
Salah seorang dari mereka bahkan daripada mengoding, ternyata lebih senang berkomunikasi dan membujuk orang lain. Akhirnya saya sarankan dia agar menjadi humas, atau petugas hubungan diplomatik, atau menerjuni bidang pemasaran. Ia ternyata lebih berbahagia di sana daripada menjadi programmer.
Salah satu batu sandungan terbesar saya selama otodidak adalah memahami konsep.
Sesuatu yang saya sulit sekali mengerti, ternyata saat ada yang lebih ahli memberitahu saya, ternyata cuma gitu doang.
Kejadian ini sangat sering saya alami ketika saya mencoba untuk otodidak. Hal itu tentu saja terjadi karena saya tidak mempelajari konsepnya terlebih dahulu.
Umpamanya, ada orang yang ‘terlihat’ ahli dalam operasi perkalian dan perpangkatan matematika, namun dia ternyata tidak memahami konsep bahwa semua itu akarnya dari penjumlahan.
Itu hanya sebuah contoh konyol saja, tetapi intinya seperti itu.
Jika seseorang tidak memahami konsep dasar, saat ia berpindah ke tahap berikutnya, ia seakan mulai lagi dari awal.
Sama seperti seorang fotografer yang di awal tadi saya ceritakan. Karena ia hanya ahli dalam sebuah efek foto, jadinya ia hanya berkecimpung di efek foto itu saja.
Tidak jarang fotografer otodidak tidak (ingin) memahami konsep dasar mengenai apa itu kecepatan rana (shutter speed), bukaan (aperture), dan ISO dalam settingan kamera. Mereka hanya sebatas memahami kulit luarnya saja seperti shutter speed adalah seberapa cepat lensa menjepret, hanya itu saja.
Kebanyakan fotografer otodidak langsung meniru angka-angka pengaturan di kamera lewat galeri fotografer ahli agar foto mereka terlihat sama bagusnya daripada mencoba-coba sendiri hingga mereka ahli dalam menentukannya.
Akibatnya, mereka hanya menguasai satu atau beberapa efek foto saja, dan saat mempelajari efek foto yang lain, mereka harus mencaritahu kembali sebagaimana mereka mencaritahu dari awal.
Karena orang otodidak tidak memiliki standar dan tidak memahami tingkatan ilmu, mereka kebanyakan belajar tanpa arah dan bimbingan.
Jadinya saat mereka pikir mereka sudah menguasai suatu bidang, dan mereka siap memamerkannya, ternyata ada banyak orang yang hasilnya jauh lebih baik darinya.
Tak jarang, hal itu membuat mereka gentar dan kehilangan semangat, karena mereka sadar jalan yang harus mereka tempuh masih sangat jauh.
Pada akhirnya, beberapa orang akan berpindah-pindah hobi, berotodidak kembali, frustasi, dan terus berulang. Sampai ada dari mereka yang tertekan dan jatuh depresi.
Kenyataan akan selalu menyakitkan bagi mereka yang senantiasa berusaha untuk mengelaknya.
Saat dikatakan bahwa untuk menguasai ilmu memerlukan waktu yang tidak sebentar, mereka menangkisnya dan bersikukuh bahwa mereka bisa mempelajarinya dalam waktu singkat.
Apalagi banyak sekali artikel-artikel di internet yang mereka jadikan bukti bahwa sangat memungkinkan untuk menjadi ahli dalam sekejap.
Sejauh ini saya hanya menjadi saksi atas depresinya orang-orang seperti itu, dan memang beberapa orang harus berhadapan dengan fakta dan kasus nyatanya dahulu agar mereka dapat sadar.
Katanya, gagal itu pangkal sukses. Kenyataannya banyak orang yang selalu berakhir gagal dan depresi. Itulah pentingnya memahami konsep terlebih dahulu.
Konsepnya adalah, gagal dapat menjadi sukses apabila seseorang mau belajar dari kegagalan tersebut, bukan sengaja mengulangi kegagalan itu kembali. Lagi dan lagi.