Beautiful Majalengka

Bermula dari sebuah berita mengenai keanarkisan beberapa oknum umat yang menyebut diri mereka bagian dari kegiatan SOTR (Sahur On The Road), saya membaca komentar-komentar yang begitu memilukan hati saya sebagai muslim, terlebih banyak dari komentator yang berasal dari kalangan non-muslim.

“Begini kah ajaran agama yang katanya rahmatan lil alamin?”

Kira-kira kesimpulan dari sebagian besar komentar dari mereka seperti itu. Saya tidak dapat berkata-kata. Saudara kita sesama muslim yang meluruskan, mereka berkomentar, “Bro, salahkan pengikutnya saja bro, jangan salahkan agamanya.”

Namun entah kenapa, benak saya campur aduk dalam menanggapi komentar balasan tersebut. “Jika ada yang ingin disalahkan, salahkan penganutnya, jangan salahkan agamanya.” Ternyata selama ini saya sudah cukup sering mendengar kilah-kilah seperti itu setiap ada penilaian buruk tentang agama Islam ini oleh non-muslim.

Mungkin saya ingin bahas tuntas di artikel ini pernyataan “salahkan penganutnya, jangan salahkan agamanya”.


  • Islam sudah suci

Pernah ketika saya berdialog -semi berdebat- dengan sesama kolega saya yang juga muslim, membahas tentang nama baik agama Islam ini yang mungkin telah sedikit tercoreng oleh pengikutnya sendiri. Dia dengan santai menjawab, “Ngapain disucikan, Islam ini ‘kan sudah suci?”

Ya, itu benar, tetapi…

Saya menyadur ucapan Habib Ali Zainal Abidin dari situs Islam Indonesia:

Mengutip Surah Al-Maidah ayat 3, Habib Ali Zainal Abidin menjelaskan terkait kata ‘agama’ yang dinisbahkan kepada ‘kamu’ sebagaimana firman Allah, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.”

Mengapa agama ini dinisbahkan oleh Allah kepada kamu? Tidak dinisbahkan kepada Allah Swt?” kata Habib Ali dengan dialek khas Melayu.

Karena, lanjut Habib Ali, yang dapat memperlihatkan kemurnian agama adalah “kamu”, demikian juga sebaliknya.  Walau agama itu tidak buruk, tapi jika orang Islam, – melalui perbuatannya yang mengatasnamakan ajaran ini – adalah buruk maka agama diperkenalkan dengan buruk.

“Jadi yang dapat menunjukkan hebat dan indahnya agama adalah orang Islam sendiri,” katanya menjelaskan Al Maidah ayat 3 kepada jemaah yang hadir.

Saya mungkin membuat analogi ringan dengan harapan mudah dicerna bahkan oleh masyarakat paling awam sekali pun. Sekarang bayangkan sebuah sekolah favorit yang memiliki kurikulum dan metode-metode pengajaran yang mumpuni, namun justru sebagian besar muridnya berperilaku buruk yang meresahkan masyarakat.

Sekolah tersebut tetap akan mendapatkan titel sebagai sekolah unggulan jika dilihat dari manajemennya, namun bagaimana reputasi yang diciptakan oleh sebagian besar masyarakat? Akankah para orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut? Mereka akan berpikir dua kali, atau bahkan berkali-kali.

Jika kita ada yang membela sekolah tersebut, “Itu bukan salah sekolahnya, itu salah muridnya.” Akankah para orang tua tersebut langsung percaya dan kembali ingin menyekolahkan anaknya di sekolah favorit ‘yang telah ternodai’ itu? Sepertinya tidak semudah itu Fernando

Namun jika kita ingin telisik lebih jauh, mungkin kita akan bertanya, jika Islam ini adalah ajaran yang sempurna dan rahmatan lil ‘alamin, siapa yang menjadi biang kerok agama ini mendapat reputasi yang tidak menyenangkan di mata non-muslim?

Secara kasar, pasti kita akan langsung menuduh bahwa yang berusaha merusak agama Islam ini adalah si kafir yang benci kepada Islam, mereka dituding yang menguasai media-media sehingga hanya menampilkan yang buruk-buruk terhadap Islam ke seluruh kalangan masyarakat dan menyembunyikan sisi-sisi baiknya.

Padahal,

Artinya : “Sesungguhnya Allah menggulung bumi untukku sehingga aku bisa melihat timur dan baratnya. Dan sesungguhnya kekuasaan ummatku akan mencapai apa yang telah dinampakkan untukku. Aku diberi dua harta simpanan: Merah dan putih. Dan sesungguhnya aku meminta Rabbku untuk ummatku agar Dia tidak membinasakan mereka dengan kekeringan menyeluruh, agar Dia tidak memberi kuasa musuh untuk menguasai mereka selain diri mereka sendiri sehingga menyerang perkumpulan mereka.

Dan sesungguhnya Rabbku berfirman, “Hai Muhammad, sesungguhnya Aku bila menentukan takdir tidak bisa dirubah, sesungguhnya Aku memberikan untuk umatmu agar mereka tidak dibinasakan oleh kekeringan menyeluruh dan Aku tidak akan memberi kuasa musuh untuk menyerang mereka selain diri mereka sendiri lalu mereka menyerang perkumpulan mereka, walaupun musuh mengeepung mereka dari segala penjurunya, hingga akhirnya sebagian dari mereka (umatmu) membinasakan sebagaian lainnya dan saling menawan satu sama lain.” (HR. Muslim no. 2889).

InsyaAllah haditsnya shahih.

Pertanyaannya, seberapa sering kita bermuhasabah tentang bagaimana keseharian diri kita sendiri?


  • Ketika lapangan berbicara

Jika agama Islam ini adalah agama super power, mengapa hampir semua negara maju kebanyakan negara yang bermayoritas non muslim? Sebagian kita ada yang menjawab, itu karena mereka mengamalkan kehidupan sesuai sunnah Nabi diluar kebiasaan buruk mereka seperti minum-minuman keras, makan daging babi, dan seks bebas.

Coba lihat Jepang sebagai salah satu negara maju, yang sedari awal bangun tidur, mereka langsung melipat kasurnya, mendisiplinkan mereka dengan waktu dalam kesehariannya, dan begitu rajin. Bahkan dari segi akhlak, sewaktu saya berkunjung ke Singapura yang sudah sukses menyandang predikat sebagai negara maju, kebersihan dan penghormatan mereka kepada alam benar-benar jadi bagian hidup mereka.

Bahkan tidak segan-segan mereka mengantarkan orang yang bertanya di jalan hingga sampai ke tujuannya. Mereka bahu-membahu memikirkan kesejahteraan sesama, mereka tenang dan tidak berisik. Sedangkan di sisi lain, bagaimana contoh dari sebagian besar negara muslimnya itu sendiri?

Tidak mengejutkan, banyak orang bahkan seorang teman saya sendiri yang non muslim menyebut sebagian besar negara muslim adalah negara yang gemar berperang. Terlebih jenis perangnya adalah perang saudara sebangsanya sendiri. Mereka mencontohkan Yaman, Suriah, Libya, Afghanistan, semua mereka sebutkan secara pasti.

Bagaimana saya akan membela? Akankah saya sebut Dubai, Kuwait, dan Qatar? Sedangkan kita hidup di negara yang sudah mayoritas muslim. Lalu bagaimana keadaan umat muslimnya itu sendiri di negara ini? Cobalah lihat dengan merendahkan ego kita masing-masing, saya ambil contoh di jalan raya saja, berapa banyak para pelanggar lalu lintas meski mereka hanya menerobos lampu merah? Terlebih kejahatan di negara kita masih terhitung tinggi, bahkan budaya “senggol bacok” masih kental bersahabat di tengah-tengah kita, yang mayoritas muslim ini.

Tapi kan mungkin mereka tidak diajari akidah oleh orang tuanya. Yakin? Lalu bagaimana dengan mereka yang sudah diajari oleh orang tuanya?

Saya ingat betul pernah ada sebuah majlis, bahkan ada teman saya yang nonmuslim pun membenarkan kejadian tersebut di daerahnya, pemberi taushiyah berkata-kata kasar di masjid, menyebarkan kebencian, mencemooh non-muslim bahkan tuhan-tuhan mereka secara gamblang, mengancam para jamaah, berpolitik secara kasar, memaksa-maksa para jamaah untuk mencoblos nomor tertentu dalam pemilu, melegalkan pembunuhan kafir, bahkan saya mendengar sendiri di antara pemberi taushiyah ada yang menyebutkan “monyet” dan “anjing” di dalam masjid, bukan dalam konteks memberikan kiasan.

Saya tidak tahu apa latar mereka dalam memberikan taushiyah seperti itu. Terlebih saya tahu ada beberapa non muslim sebagai tetangga indekos saya waktu itu. Terpaksa saya memiliki kewajiban untuk meminta maaf kepada para tetangga saya yang nonmuslim tersebut dan menjelaskan bahwa agama Islam ini tidak seperti itu. Alhamdulillah mereka sepertinya sudah mengerti dan dapat membedakan mana muslim yang baik dan yang tidak. Namun bagaimana dengan yang lain?

Padahal di Al-Quran sudah jelas,

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (Qs al-An’am : 108)

“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa” (QS. An Najm:32)

Akankah kita perlakukan agama kita sendiri seperti ini?


  • Menolong Agama Allah

Saya pernah berkata, bahwa tantangan menjadi orang baik ada dua, yaitu tantangan untuk tidak sesekali menganggap orang lain lebih buruk, dan tantangan untuk tidak sesekali menganggap diri sendiri lebih baik. Sering kita jumpai ada orang yang menyampaikan kebaikan dengan bahasa yang sama sekali tidak baik, bagaimana orang seperti itu dapat disebut umat dari agama yang rahmatan lil ‘alamin?

Sempat saya sebut bahwa setiap umat adalah marketer dari agama mereka masing-masing. Kita yang merasa agama Islam ini yang paling benar haruslah memarketingkan agama kita lebih baik lagi dari agama lainnya. Ketika agama lain memiliki seseorang yang disebut misionaris, kita memiliki apa dan siapa?

Allah Ta’ala berfirman,

Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah (lemah lembut) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (An-Nahl: 125)

Sekarang tanyalah kepada diri kita sendiri, berapa banyak kita membaca kisah-kisah Rasulullah saw. yang membuat para kafir memeluk Islam pada akhirnya karena mereka melihat akhlak dan budi pekerti beliau yang agung? Kembali lagi kepada diri kita sendiri, bertanyalah kapan terakhir kali kita merendahkan ego kita untuk dapat menerima petuah dan nasihat baik dari orang-orang di sekitar kita.

Kita terlalu fokus kepada orang-orang kafir yang katanya menista agama Islam secara terang-terangan, meski beberapa dari kita telah ada yang berkata bahwa Islam itu sudah suci dan tidak perlu lagi disucikan. Kita terlalu menuntut hukuman kepada orang kafir tersebut secara membabibuta, bahkan jika perlu diteror siang malam atau tak jarang kita langsung ‘menghunuskan pedang’ langsung ke arah orang kafir tersebut tanpa diberi peringatan dengan cara didakwahi dengan cara yang baik terlebih dahulu.

Saya pernah melihat ada seorang kristiani yang menjadi teman saya di Facebook (saya tidak kenal dengannya di dunia nyata), yang menghina Nabi saw. karena kesal dengan peristiwa gereja yang di bom. Dia masih labil, masih berusia dua puluh-an, dia bukanlah orang yang senang menghina agama, namun kejadian pemboman gereja membuat emosinya terlepas tanpa kontrol.

Apa yang terjadi berikutnya? Ribuan komentar teror tertuju padanya dari saudara-saudara kita yang muslim. Padahal, dia sudah meminta maaf dengan bahasa yang memilukan dan berkali-kali, namun komentator dengan kejamnya menyuruhnya untuk melalui proses hukum bahkan alamat rumahnya dibocorkan ke ranah publik, yang menghasilkan teror demi teror mengerikan.

Saya benar-benar tidak tega padanya pada saat itu, sekali lagi saya tahu dia bukanlah orang yang senang menghina agama Islam karena saya terkadang melihat postingannya di jejaring sosial. Saya tahu ini hanya luapan emosi belaka dari seorang remaja yang labil, apalagi setelah rumah ibadahnya dihancurkan oleh oknum yang mengaku diri mereka melakukan aktivitas islami seperti jihad, saya mengerti perasaannya. Saya langsung menghubunginya via pesan privat dan meminta maaf atas segala sesuatu yang telah dialaminya. Saya katakan, jika dia sudah bertaubat dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi, maka ia dimaafkan. Terlebih dia berasal dari orang-orang yang tidak paham.

Namun sepertinya dia memilih untuk menonaktifkan akun Facebooknya setelah itu.

Apakah ternyata persepsi orang-orang nonmuslim bahwa Islam adalah agama pemarah, agama selalu merasa benar, agama yang tidak memberikan kenyamanan, agama yang sulit memaafkan, dan stigma negatif lainnya muncul karena kita sendiri yang menanamkan penilaian buruk itu di setiap pribadi nonmuslim?

Apa jangan-jangan selama ini yang lebih menistakan agama mulia ini adalah para muslim itu sendiri?

Ditambah lagi, sebagian dari kita bukannya langsung bermuhasabah, justru membela diri dengan berdalih dengan angkuhnya, “Kita nggak semuanya kayak gitu kok, tuh liat kalau ada bencana, kita juga ikut turun!”

Oh ya? Apakah kita baru muncul akhlak baiknya hanya ketika ada bencana saja? Perlu diketahui, relawan kafir pun banyak, bahkan tidak jarang mereka sekaligus mendakwahi umat-umat kita tentang agama mereka di tengah-tengah bantuan hingga beberapa dari para korban akhirnya keluar dari Islam. Melihat fakta yang seperti ini, kira-kira siapa yang lebih berhasil dari segi dakwah?

Penyakit ujub atau merasa bangga pada diri sendiri karena merasa telah melakukan sebuah kebaikan yang menurutnya spektakuler, tak kalah berbahayanya.

Tiga hal yang membawa pada jurang kebinasaan: (1) sifat pelit yang ditaati (2) hawa nafsu yang diikuti, (3) Ujub/kekaguman seseorang pada dirinya sendiri. (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath, 5/328. Dihasankan Al Albani dalam Shahiihul Jami’ no. 3045 ).


  • Konklusi

Jadi ketika seseorang membela agamanya hanya dengan mengatakan, “Salahkan penganutnya, jangan salahkan agamanya.” Bukan berarti dia telah terlepas dari tanggungjawab dan bercuci tangan. Sekarang bagaimana jika pertanyaannya diubah menjadi, “Bagaimana bisa menilai agama seseorang itu baik jika penganutnya banyak yang tidak memiliki akhlak yang baik?”

Kita yang sudah paham, sudah sepantasnya untuk merendahkan ego kita dan mulai untuk peduli kepada orang lain. Jangan sampai umat ini menjadi apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw., yang intinya umat agama Islam ini seperti buih di lautan, banyak namun sangat rapuh.

Sekarang kita tinggal pilih sendiri, ingin menjadi umat yang setangguh benteng atau serapuh buih di lautan? Carilah guru yang dapat membawa kesejukan di hati, karena mereka tahu bagaimana menurunkan ilmu kepada muridnya dengan baik dan benar, termasuk bagaimana etika dan tahap-tahap menghadapi beberapa orang yang gemar menghina agama ini. Apakah darahnya langsung halal? Apakah kita langsung menerornya siang malam? Apakah kita langsung bertindak barbar kepada mereka?

Bertanyalah kepada guru yang lebih paham. Dan yang lebih penting, adalah akhlak kita yang terlihat oleh orang-orang nonmuslim. Malu dong dengan negara-negara maju yang keseharian mereka ternyata lebih condong dalam mengamalkan hadits-hadits Nabi saw. daripada muslimnya itu sendiri, seperti disiplin, menghormati waktu, berakhlak mulia, bekerja dengan maksimal, dan efisien.

Jadi, bertanyalah kepada diri sendiri. Apakah saya sudah menjadi muslim yang dapat bermanfaat bagi orang lain? Baik kepada sesama muslim atau kafir?


—<(Wallaahu A’lam Bishshawaab)>—

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Galau dengan Hobi Baru? Saya Punya 5 Tips

    Berikutnya
    Mengapa Saya "Berhenti" Menjadi Desainer Grafis


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas