Sebenarnya saya sudah membahas hal ini di artikel saya tahun-tahun lalu, tetapi sekarang sepertinya saya ingin memfokuskan ke masalah spot selfienya saja. Sebab saya pikir, ada sesuatu yang lebih menarik tentang lika-liku mengenai spot selfie di tempat pariwisata ini.
Saya tegaskan di awal, tidak ada yang salah dengan spot selfie yang biasa kita jumpai di tempat-tempat wisata, terutama di tempat-tempat wisata ketinggian seperti bukit dengan latar pegunungan yang sangat indah.
Bahkan beberapa spot selfie bisa jadi atraksi turis yang memesona. Sudah banyak contohnya yang kita saksikan semisal ayunan di Bali yang langsung berlatar pesawahan. Atau Kalibiru Yogyakarta yang berlatar danau cantik.
Orang-orang lokal pun akhirnya memiliki beragam kegiatan yang positif yang dapat mengasah kreativitas mereka.
Para pengelola spot selfie sangat memahami bahwa para pengunjung sangat ingin mengabadikan momen terbaiknya di tempat-tempat yang tidak biasa mereka kunjungi. Jadilah bisnis spot selfie ini mendulang untung yang besar.
Tetapi itu bagian hitnya. Lalu apa bagian missnya? Banyak, sangat banyak. Inilah alasan mengapa artikel ini saya buat.
Ribuan orang kota begitu penat dengan aktivitas hariannya yang tak jarang membuat stres. Mereka menjadikan liburan ini sebagai pelepas penat dan pemompa semangat.
Inilah mengapa kegiatan piknik dapat disebut dengan healing karena memang bersifat menyembuhkan. Banyak sekali manfaat kesehatan yang diraih oleh seseorang setelah piknik.
Di tempat-tempat piknik itulah banyak orang yang juga melakukan kegiatan sampingan yang menyenangkan seperti mendaki, memotret, berenang, berjemur, hingga selfie.
Maka dari itu spot selfie di tempat-tempat pariwisata dapat dikatakan sebagai bonus.
Bagaimana tidak? Setelah seseorang selesai dari kegiatan pikniknya, bukan hanya ia mendapatkan kesegaran dirinya kembali, ia juga memiliki sesuatu yang dapat ia pamerkan di lingkaran sosialnya.
Banyak pengelola wisata yang menangkap hal ini dan membangun sejumlah spot selfie berbayar.
Sayangnya, sebagian pengelola wisata tidak memahami bahwa selfie itu bukan tujuan utama para pengunjung mendatangi tempat wisata.
Bukan sekali dua kali saya mendengar keluhan dari pengelola wisata yang tempat selfienya sudah hampir tidak lagi didatangi oleh para pengunjung. Padahal dulunya spot selfie itu pernah viral… ya, pernah…
Masalahnya saya hanya tidak habis pikir, dari belasan atau bahkan puluhan orang beserta para kawula muda yang begitu terampil membangun spot selfie, ternyata tidak ada satu pun dari mereka yang memahami hal yang paling vital, bahwa tujuan utama para pengunjung adalah healing, bukan selfie.
Seringkali saya mendengar komplain dari para pengunjung yang hampir tidak dapat berbuat apa-apa di tempat indah karena hampir semua sudut sudah ‘dikuasai’ tempat selfie yang berbayar.
Bahkan ada salah satu kenalan saya yang mengeluh jika ia dipelototi pengelola hanya karena ia menginjak tempat yang ia tidak tahu bahwa itu adalah spot selfie. Akhirnya ia tidak mengunjungi tempat itu lagi.
Saat pengunjung tidak mendapatkan keutamaan dari piknik meskipun kenangan fotonya segunung, kemungkinan besar mereka akan mencari tempat lain.
Apalagi fungsi obat selain dari menyembuhkan? Semenarik apa pun bentuk sebuah obat, jika mereka tidak dapat menyembuhkan, orang akan mencari obat lain.
Beberapa pegiat alam dan penikmat keindahan alam termasuk diri saya pribadi, senang mengunjungi tempat-tempat indah untuk menyendiri dan mencari inspirasi.
Setiap orang memerlukan waktu berkualitas mereka sendiri. Ada yang menghabiskannya waktu berkualitasnya untuk menonton atau tidur seharian, bercengkrama, berolahraga, hingga mengunjungi alam liar.
Menikmati waktu berkualitas adalah hak setiap orang yang tidak boleh diganggu gugat.
Bagi penikmat alam liar, menemukan tempat di atas pegunungan yang membuat mereka dapat melakukan relaksasi dan sungguh-sungguh memanfaatkan berbagai keuntungan yang disediakan oleh alam adalah suatu hal yang sangat istimewa.
Inilah mengapa banyak karya dari negara-negara maju semisal Jepang atau negara-negara Eropa yang begitu berkualitas dan sulit untuk disaingi. Mereka benar-benar memanfaatkan kualitas dari waktunya untuk mendulang inspirasi di alam.
Saya sendiri pun suka melanglangbuana ke tempat yang menurut Google Maps itu berada di ketinggian. Saya memarkir kendaraan saya, menikmati atmosfer sekeliling yang jarang dilewati manusia. Itu adalah suatu hal yang sangat mengesankan.
Bukankah sedari kecil kita senang bermain di suatu tempat indah dengan bebasnya?
Tetapi sekarang sebagian besar tempat tersebut sudah menjadi begitu komersil. Saya sekarang sudah begitu sulit mencari sesuatu yang benar-benar alami, di mana saya dapat menikmati waktu berkualitas saya dengan alam sekitar.
Sedikit-sedikit dipasang tiket masuk, sedikit-sedikit dipagar, sedikit-sedikit dipasang tempat selfie. Opsi untuk memarkirkan kendaraan saya dengan bebas supaya kemudian saya dapat menyatu dengan alam sudah semakin berkurang.
Saya bahkan sudah sangat sulit mencari tempat yang masih asri dan ‘tidak terganggu’ dengan instalasi yang sama sekali tidak menyatu dengan alam sekitar.
Sebagian besar spot selfie tersebut seakan menghalangi hubungan saya dengan alam sekitar yang seharusnya dapat diraih dengan maksimal.
Pada akhirnya, banyak orang yang menjadi insecure saat ingin berwisata di alam liar.
Perlu diketahui, setiap orang memiliki ruang personal mereka masing-masing. Jika hak ruang personal tidak diberikan, seseorang akan menjadi mudah mengalami kecemasan sosial.
Padahal, jika tujuannya untuk mencari uang, para warga dapat membangun warung-warung di belakang tempat-tempat indah tersebut, memberikan makanan rekomendasi terbaik mereka yang dapat dinikmati para pengunjung sambil meresapi setiap inci pemandangan indah yang mereka lihat.
Saya sendiri pun menyenangi gambar-gambar atau foto-foto pemandangan alam yang tidak ada intervensi atau campur tangan dari manusia sekitar.
Dan saya pribadi memilih agar dana untuk membangun tempat wisata yang tujuannya hanya untuk menjadi viral tersebut dialihkan untuk memperbaiki fasilitas sosial di sekitarnya seperti mengaspal jalan rusak atau membangun tempat-tempat ibadah dan toilet umum.
Banyak karakter manusia yang justru dibentuk lewat lingkungannya, termasuk jejaring sosial.
Saat seseorang melihat foto-foto unik dan cantik di jejaring sosial, maka ia terpacu untuk membuat foto serupa. Saya pun dulu demikian.
Di tahun 2017, saya begitu ingin berfoto di salah satu tempat-tempat selfie tersebut karena pengaruh dari beranda jejaring sosial. Jadilah saya dengan teman saya memburu tempat selfie dan mendapatkan beberapa hasil yang menurut kami memuaskan.
Hingga akhirnya, saya menyadari sesuatu yang hilang dari aktivitas kami tersebut.
Entah kenapa, lama kelamaan saya merasa kalau saya melewatkan sesuatu yang penting saat saya pergi ke tempat indah yang tidak biasa hanya untuk selfie kemudian sudah.
Apalagi semakin kesini saya menyadari jika kebanyakan tempat selfie itu terlalu komersial. Mereka menarik tiket masuk yang seharusnya tidak sebanyak itu.
Bayangkan, sebuah tempat wisata yang tiket masuknya seharusnya hanya Rp10.000, ini menjadi Rp40.000, padahal fasilitas tambahan tidak memiliki kaitan sama sekali dengan tema alam tersebut.
Ditambah lagi jika pengelola sudah menerapkan tiket masuk yang berlapis sebelum benar-benar sampai ke inti dari tempat wisata tersebut, seakan-akan pengelola wisata sedang menggali kuburan mereka sendiri, mempersilakan pengunjung untuk mencari tempat lain.
Misalnya, saat saya mengunjungi sebuah pariwisata air terjun, saya ditagih tiket lebih dari sekali dari gerbang masuk sebelum saya benar-benar tiba di air terjun yang ingin saya sambangi.
Saya hanya khawatir, tren spot selfie ini hanya menggiring persepsi masyarakat bahwa mengabadikan kenangan foto selfie saat mengunjungi tempat indah hukumnya wajib.
Saat masyarakat sudah menikmati ‘kompetisi’ foto-foto selfie terbaiknya dengan orang-orang di jejaring sosial mereka, mereka jadi lupa esensi sebenarnya dari sebuah hal yang penting.
Kita bersyukur tinggal di negara yang sangat indah ini. Namun semakin ke sini, kesadaran untuk melestarikan alam bukannya semakin meningkat, justru sebaliknya. Bahkan masalah sampah saja sepertinya tidak pernah mengalami penurunan yang signifikan.
Padahal masalah kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya adalah kesadaran merawat alam yang paling dasar.
Bagaimana para masyarakatnya akan peduli dengan kondisi alam yang semakin digerogoti para penguasa? Banyak dari kita saja tidak tahu apa saja keanekaragaman hayati di sekeliling kita.
Saya sering menemukan tempat yang sudah kering, lahan yang sudah dibuka dan masih terlihat bekas hangusnya, air terjun yang sudah tidak mengalir lagi padahal masih belum lama dari hujan terakhir.
Namun kebanyakan orang hanya memedulikan citra sosialnya dengan selfie, selfie, dan selfie.
Tidak ada yang salah dengan selfie, tetapi sebaiknya kita pikirkan lagi dimana spot yang harus diperbaikinya…