Saya bukanlah orang yang senang ikut serta kepada perlombaan, bahkan mungkin jika dapat dikatakan, saya itu agak fobia dengan perlombaan.
Masalahnya, sudah beberapa kali saya ikut lomba, namun ternyata beberapa juri justru hanya menilai secara subjektif.
Misalnya, dulu saya ikut lomba kaligrafi, saya mematangkan konsep kaligrafi seperti khat Naskhi, Tsuluts, hingga Kufi. Namun ternyata justru yang menang adalah mereka yang justru hanya menggabungkan dua spidol dengan warna yang sangat mencolok (norak) dan dengan garisan yang saya tidak tahu apa itu.
Itu baru salah satunya, dan pengalaman-pengalaman itu saya menjadi ogah jika dikandidatkan untuk ikut ke dalam perlombaan, apa pun.
Lalu apa kaitannya dengan tema artikel tips bahagia kali ini? Apa kompetisi yang saya maksud di sini?
Meskipun saya sendiri agak fobia dengan perlombaan, namun tidak menyangkal bahwa dunia ini adalah wahana kompetisi. Setiap orang berlomba untuk meraih sesuatu dalam hidupnya, masing-masing ingin mendapatkan sesuatu yang lebih dari yang lainnya.
Beberapa orang takut untuk gagal, beberapa orang takut untuk berubah, beberapa orang bahkan takut untuk melakukan kompetisi ini meski sebenarnya mereka bernafsu.
Saat ada seseorang mendapatkan sesuatu yang menurut kita wah, kebanyakan dari kita akan terpacu dan ikut berambisi untuk mendapatkan hal yang sama, atau lebih baik.
Tetapi di sinilah masalahnya. Ambisi yang tidak terkontrol dapat menjadi bencana bagi kehidupan sosial bermasyarakat itu sendiri.
Rasa tidak aman dan hilangnya kepercayaan sesama anggota masyarakat akan luntur karena kompetisi-kompetisi remeh-temeh. Setiap orang akan sikut-sikutan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih, meskipun itu hanya hal yang sangat sepele.
Bukan sekali dua kali saya bertemu pengendara di jalanan yang masing-masing terpacu untuk menjadi yang paling depan dan paling cepat, pengendara lain mereka klakson agar menepi dan memberi mereka jalan seakan mereka adalah orang penting.
Beberapa pengendara lain yang terpancing ikut panas dan berlomba-lomba untuk menyalip satu dengan yang lainnya.
Pertanyaannya, mengapa orang-orang begitu bernafsu untuk berkompetisi untuk hal-hal yang sangat sepele dan cenderung mengganggu seperti itu?
Emosi dan rasa lelah yang seseorang dapatkan dari masyarakat karena kompetisi sepele yang tak kunjung ia menangkan akan menumbuhkan rasa agresifnya untuk terus bertanding dan membalas dendam.
Mungkin kalimat di atas seakan terdengar positif, tetapi kenyataannya sangat banyak yang dapat menyebabkan tragedi sosial.
Manusia pada dasarnya memiliki gengsi dan keinginan mendapatkan pengakuan orang lain. Jika hak pengakuan tidak ia dapatkan, itu dapat menyebabkan ambisinya menumpuk dan meledak jika tidak berhasil ia tahan.
Terkadang saya temukan orang yang terlalu berbangga saat ia berhasil membalap kendaraan lain. Kemudian saya mengetahui bahwa tidak ada lagi dari orang itu yang dapat ia banggakan kecuali prestasi menyalipnya itu.
Atau, saya pernah menemukan para petualang yang mengejek para pendaki pemula karena cepat lelah. Para petualang tersebut bahkan menyinggung pekerjaan para pendaki pemula yang terlalu nyaman berada di dalam ruangan ber-AC sehingga mengakibatkan mereka menjadi lemah.
Saya sendiri yang pernah terbiasa mendaki untuk melihat banyak air terjun, sangat menyayangkan kejadian itu.
Pada akhirnya saya menghibur para pendaki pemula tersebut bahwa itu tidak mengapa dan agar dijadikan pengalaman. Kemungkinan besar para petualang senior tersebut tidak memiliki prestasi atau manfaat apa pun dalam hidupnya selain kemampuan mendakinya.
Padahal jika seseorang sudah memiliki banyak prestasi atau manfaat yang mereka tebar, mereka justru akan melihat kompetisi sebagai wahana bermain mereka, bukan sebagai hukum rimba yang harus menjatuhkan satu sama lain.
Maksudnya wahana bermain di sini adalah benar-benar wahana untuk murni bersenang-senang. Betul bahwa orang-orang bermanfaat memiliki ambisi untuk menang namun mereka tidak terlalu bernafsu untuk itu.
Jika suatu saat mereka memang kalah lalu memangnya kenapa? Toh, masih sangat banyak sesuatu yang dapat mereka banggakan?
Masyarakat akan masih memandang mereka sebagai orang penting yang bermanfaat, citranya tidak akan luntur hanya karena kalah lomba.
Di beberapa kasus bahkan orang-orang berprestasi tersebut memang sengaja untuk kalah. Mereka ikut lomba untuk beristirahat dari kompetisi hidup yang tengah mereka jalani. Mereka sesekali berbuat hal konyol dalam lomba yang memang sengaja untuk kalah namun demi menghibur para penontonnya.
Contohnya, saya pernah melihat sebuah Game Show di Jepang yang pesertanya tidak bernafsu untuk berkompetisi meskipun tema utamanya sudah jelas adalah perlombaan. Tidak jarang saya melihat mereka berbuat sesuatu yang lucu dan sengaja kalah dalam lomba demi membuat penontonnya tertawa.
SehinggaΒ mereka benar-benar membuat Game Show di sini adalah acara yang murni untuk hiburan, bukan acara yang penuh dengan stres dan ketegangan.
Dengan aksi sengaja untuk kalah yang menghibur tersebut seakan mereka mengajarkan agar para penonton dapat memandang kekalahan dari sisi yang menyenangkan dan sama sekali bukanlah aib.
Karena jika seseorang telah ahli di bidangnya, tanpa terlalu bernafsu untuk menang sekali pun, persentase untuk menjadi pemenang pun sudah sangat tinggi.
Seseorang yang sudah ahli, ia berlatih bukan karena tekanan untuk menjadi pemenang, melainkan karena ia memang dengan sendirinya terpacu untuk itu. Menang syukur, tidak menang pun so what?
Beberapa orang lupa bahwa perlombaan diadakan karena adanya partisipan yang ikut memeriahkan. Pastinya para partisipan tersebut sadar jika kemungkinan mereka tidak berada di posisi pertama itu sangat tinggi.
Meski hidup ini adalah kompetisi, orang-orang yang telah banyak menebar manfaat hanya memandang bahwa kompetisi kehidupan adalah hal yang menyenangkan.
Orang-orang berprestasi tidak menargetkan diri mereka untuk menang sebagai tujuan utama. Mereka menargetkan diri mereka untuk memberi kebahagiaan bagi sesama. Itulah resep menjadi pemenang sejati.