“Hai, apa kabar?”
Secara otomatis, otak kita telah terprogram sedari kecil untuk menjawab, “Saya baik-baik saja.”
Sama seperti bahasa Inggris, “How are you?”, “I’m fine!”
Meskipun sebenarnya kebanyakan orang menyadari jika mereka sedang tidak baik-baik saja.
Saya pun begitu, saat saya ditanya, “Nan, gimana kabar?”
Saya balas, “Alhamdulillah, baik.”
Apabila kita tilik dari sisi naluri, jawaban yang baik tentu akan membawa vibe atau suasana yang ikut baik pula, karena kebaikan itu menular.
Tetapi bagaimana jika sekarang saya katakan bahwa kita memang memerlukan ruang untuk berkata, “Saya tidak baik-baik saja.”?
Nyatanya, tidak sedikit orang yang berbohong tentang emosinya, terkhusus membohongi diri mereka sendiri tentang keadaan jiwa mereka.
Saya tidak berkata bahwa saat ada orang bertanya, “Apa kabar?” kemudian kita langsung jujur menjawab, “Saya sedang tidak baik.”
Tidak sama sekali.
Adakalanya tubuh kita ini perlu kita beri ruang yang cukup untuk bernafas. Di dalam tubuh ini bukan hanya berisi organ-organ dan jaringan tubuh, melainkan tersimpan juga emosi dan perasaan kita.
Sangat kita sayangkan, beberapa orang terlalu memberi banyak ruang kepada ego mereka sehingga sangat memaksakan diri mereka untuk tetap tegar kepada setiap orang seakan mereka merasa tidak punya masalah.
Akibatnya, mereka tidak paham bagaimana mempertahankan sifat “fine” mereka itu sehingga cenderung menggoyahkan keadaan emosi orang lain. Kok bisa?
Contohnya, beberapa orang terlalu sering menutupi perasaannya sehingga mereka ingin dipandang sebagai orang yang “selalu ceria” oleh orang lain.
Padahal itu akan dapat menyiksa mereka dengan sangat.
Orang-orang yang seperti itu akan menutupi kesedihan mereka dengan terlalu sering bercanda dan berkelakar, yang memperbesar kemungkinan melukai perasaan orang lain.
Tegar itu adalah hal yang mulia, namun tubuh juga memiliki hak untuk melepaskan emosi. Jika emosi sudah terlalu terpendam, khawatir akan menjadi ‘infeksi’ yang berakibat kepada semakin merendahnya rasa peka.
Tidak jarang kita melihat orang-orang yang berkelakar merendahkan orang lain, hiburan mereka adalah saat melihat orang lain celaka, dan menganggap remeh urusan orang lain sehingga menjadi topik lelucon.
Dari sana kita tahu, jika seseorang telah terlalu sering menjadikan masalah orang lain sebagai tema guyonan mereka, secara tidak langsung mereka sebenarnya sedang meminta pertolongan untuk menyalurkan emosi mereka.
Tetapi apa daya, tidak ada dari teman atau kerabatnya yang mau mendengarkan keluh kesah orang-orang seperti itu. Akhirnya pilihan satu-satunya adalah menjadi tegar dengan menghibur diri dengan cara merendahkan orang lain.
Saya katakan, “Mereka tidak sedang baik-baik saja.”
Tetapi jika mereka berkata secara blak-blakan, mereka khawatir bukan solusi yang mereka dapat, namun justru menjadi bahan gunjingan orang lain.
Maka dari itu mereka memilih untuk menjadi jenaka, kerap terkekeh atau cengengesan, mencoba dengan kerepotan mengalihkan kondisi psikis mereka saat itu, berusaha keras menghibur diri mereka sendiri, bagaimana pun caranya.
Orang lain terkadang menjadi entah prihatin atau justru risih dengan canda orang yang demikian itu.
Padahal hiburan yang sehat adalah hiburan yang tidak mengganggu orang lain.
Jika seseorang sudah mulai sering berkelakar dengan menyinggung orang lain, menggampangkan masalah orang lain, hingga terhibur dengan kecelakaan orang lain, sebaiknya kita langsung bertanya ada apa, apa yang salah, what’s wrong dengannya?
Sebab di luar negeri sana juga ternyata akhirnya banyak yang mengakui bahwa, “All my jokes are cries for help.“
Maka dari itu, mulailah kita agar mencari orang yang kita percaya supaya kita dapat setidaknya berani untuk berucap, “Saya tidak sedang baik-baik saja.”
Lagipula mengutarakan beban yang membuat sesak tidak menurunkan derajat kita. Bahkan sebagian orang akan kagum dengan kita yang berani menyampaikan ‘sisi gelap’ kita selama itu bukan aib.
Beberapa masalah terkadang tidak kita perlukan solusinya, hanya cukup perlu kita keluarkan saja. Biarlah nafas kesedihan itu kita keluarkan sedalam-dalamnya lewat hidung dan mulut kita.
Saat kita sudah menjadi lebih lega, itulah kebahagiaan, itulah di mana kita baru dapat berucap, “I’m fine.“
Pandangan yang menarik. Menginspirasi. Memang kadang-kadang manusia membutuhkan sarana untuk menyalurkan emosi-emosi negatif ya.
Terima kasih mas Bagus. Kadang yang susah cari partner buat bisa nyalurinnya aja hehe. Apalagi yang sulit nyari orang yang nggak gampang ngejudge.
Dari pengalaman saya, beberapa orang yang curhat sama saya, mereka bahkan sebenarnya cuma ingin didengar saja, dan saya lihat mereka seenggaknya bisa lebih plong saat sudah menyalurkan, air mukanya cerah lagi. 😊
Iya, betul, yang gak gampang ngejudge. Itu ibarat mencari dragonball, hahaha. Susah cari orang yang begitu.
Betul, kalau nggak disalurin jadi stres. Kaya air mendidih, meletup-letup di otak nggak bisa keluar. Lama-lama bisa meledak. Hahaha.
Btw, bisa dibikin kalau admin web menjawab bakal dapat notifnya di email nggak Mas? saya sengaja cek tulisan ini lagi buat cari tahu balasannya lo. Hehe
Yaampun, selama ini jadi gak pernah teremail ya balasan komentarnya? Oh my dear God… 😰😨😱
Saya bener-bener incredibly sorry. Makasih banget masnya udah ‘komplain’. Saya coba fix. 😊
Harusnya next kalau orang komentar udah ada pilihan notify me via email atau yang seperti itu di atas tombol komentarnya.
Naah iya. Sekarang udah ada notifnya Mas di email saya. Terima kasih tanggapannya ya.