Mungkin bukan sekali dua kali kita mendengar sindiran, “Kalau mau diperlakukan orang lain dengan baik, perlakukanlah orang lain dengan baik terlebih dahulu.”
Meski sindiran tersebut tidak salah, tetapi berapa dari kita yang benar-benar telah menerapkan kalimat itu?
Sengaja saya sebutkan kalimat di atas sebagai sindiran dan bukan pepatah, sebab saya seringnya memang melihat kalimat tersebut terlontarkan sebagai sindiran dan bukan pepatah.
Terutama dari apa yang kerap saya saksikan di media sosial.
Kebanyakan dari kita saat mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari orang lain, kita biasanya menyindirnya dengan meminjam kata-kata mutiara untuk kita posting di media sosial.
Padahal kita sendiri mungkin hampir tidak pernah ‘mengamalkan’ dari kata-kata bijak yang kita gunakan sebagai senjata untuk menyindir tersebut.
Di tips lebih bahagia kali ini, saya tidak akan membahas bagaimana cara memperlakukan orang lain dengan baik. Tetapi lebih dalam lagi, bagaimana cara mempertimbangkan sesuatu yang termasuk ke dalam perlakuan baik kita kepada orang lain.
Saya juga akan menjelaskan apa manfaat luar biasa dari perbuatan seremeh itu.
Mempertimbangkan sesuatu bisa menjadi seni sosial. Mengapa saya katakan sebagai seni?
Karena salah satu tujuan sebuah seni adalah menghibur, membahagiakan, bahkan hingga meringankan masalah audiensnya.
Waktu itu, saya ingat ada teman yang baru kenal saya, ingin mengajak saya bertemu di sebuah kafe. Dia menyuruh saya untuk bertemu di tengah-tengah. Jadi, saya yang menentukan lokasinya.
Ternyata saya lebih dahulu sampai di tujuan, kemudian saya duduk di luar ruangan, yang mengizinkan pengunjung untuk merokok.
Kemudian saya beritahu teman saya nomor mejanya dan ia dapat dengan mudah menemukannya.
Teman saya bertanya, “Nan, elu emang ngerokok?”
Saya menggeleng.
Teman saya kebingungan, bertanya kembali, “Kan di dalem (non-smoking area) itu banyak yang kosong? Kenapa nggak di dalem?”
Saya menjawabnya dengan senyuman ringan, “Karena saya tahu kamu merokok.”
Kemudian malamnya sebelum pulang, saya pergi ke toliet terlebih dahulu. Saat saya kembali, saya lihat teman saya menyalakan batang rokok terakhirnya.
Saya bilang, “Abisin dulu aja, saya tungguin.”
Mendengar itu, teman saya membalas, “Yah, gara-gara elu, gua gak bisa bilang ‘bentar, tanggung gopek lagi’…”
Saya agak memiringkan kepala saya, bertanya, “Maksudnya?”
Ia menjelaskan, “Iya, biasanya kalo gua lagi pada nongkrong, temen-temen gua pada gak sabaran pas pengen pulang, nyuruh gua matiin rokok gua. Kan sebatang kira-kira harganya gopek, makanya gua bilang, ‘Tanggung, gopek lagi’…”
Dan ia melanjutkan, “Tapi elu beda Nan, baru kali ini gua ada yang nungguin ngabisin rokok gua.”
Saat rokoknya sudah habis. Kami ke tempat parkir, menuju kendaraan masing-masing.
Teman saya bertanya, “Rumahlu di mana Nan?”
Saya menjawab lokasi kontrakan, dia agak kaget, sembari menyahut, “Lah jauh dari elu dong!”
Saya membalasnya dengan bertanya, “Tapi dekat dari rumahmu kan?”
Ia menimpali, “Iya sih, tapi gua suruh supaya di tengah-tengah kan…”
Saya tutup dengan, “Nggak apa, ini bagi saya masih termasuk dekat kok.”
Kemudian kami berpisah. Di jalan, saya masih terbayang wajah terharunya dari semua pertimbangan-pertimbangan yang telah saya lakukan untuknya di hari itu.
Saya jadi ikut terbawa bahagia, masalah pribadi saya tiba-tiba menjadi ringan seketika.
Seluruh pertimbangan itu saya lakukan, sebab saya menyadari bahwa saya juga ingin mendapatkan perlakuan serupa dari orang lain.
Meski saya tidak pernah begitu menuntut orang lain harus melakukan begini begitu sesuai keinginan saya, namun alhamdulillah saya mendapatkan orang-orang terdekat yang bagi saya cukup berkualitas.
Saya menyadari jika selama ini meski hidup saya tidak se-glamor beberapa orang, namun saya hanya merasa hidup saya begitu mudah, meski pada saat sulit sekali pun.
Saat saya pindah kontrakan, saya hanya duduk manis karena teman dan karyawan saya yang semuanya melakukan perpindahan tanpa saya minta.
Begitu juga saat saya ingin memiliki dan belajar sepeda motor. Teman sayalah yang mencarikan dan membelikan bahkan sampai mengajari saya cara mengendarainya.
Hingga saat saya menderita sakit gigi parah, biaya pengobatan seluruhnya ditanggung rekan saya. Bahkan karyawan saya datang dan mengantarkan hingga menemani sampai saya pulang dari dokter gigi.
Pertimbangan positif yang saya berikan kepada orang lain, bisa jadi dapat menjadi sebuah doa dalam bentuk perbuatan.
Setiap orang menginginkan kemudahan dalam hidup mereka, tetapi berapa orang yang ingin berusaha memberikan kemudahan bagi orang lain? Bukankah kita percaya karma?
Lucunya, beberapa orang menyebut pemimpin mereka memiliki slogan, “Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?”
Bagaimana jika saya katakan, “Itu bukan slogan pemimpin, tapi slogan kita? Tentu saja karena pemimpin kita berasal dari kalangan kita sendiri.”
Kita sendiri hanya mempedulikan diri kita sendiri dan hampir tidak pernah peduli dengan kebutuhan orang lain. Bahkan sebagiannya harus menunggu terjadi bencana terlebih dahulu baru tergerak untuk peduli kepada orang lain.
Apabila kita melihat negara maju, yang saya mulai dari tetangga terdekat kita terlebih dahulu, Singapura, kita akan melihat seberapa dalam pemerintahnya mempertimbangkan kemudahan rakyatnya bahkan hingga ke bagian yang paling remeh sekalipun.
Saya berikan dua contoh bagaimana dahsyatnya seni mempertimbangkan orang lain di negara maju.
Waktu saya ke Singapura, saya kagum dengan banyaknya trotoar yang mendapatkan kanopi. Kanopi ini menghubungkan rumah-rumah warga dengan fasilitas umum seperti sekolah, gedung perkantoran, halte bus, stasiun, hingga tempat ibadah.
Dengan adanya kanopi di sepanjang trotoar tersebut, para warga yang menggunakan trotoar dapat terlindung dari sengatan matahari dan derasnya hujan.
Dampak positifnya, mood para warganya terjaga dari panas dan hujan sehingga tingkat prestasi dan produktivitas mereka tetap utuh setibanya mereka di sekolah dan tempat kerja.
Warga yang produktif dapat membuat perusahaan lebih untung, yang mana dapat menambah pendapatan negara lewat penghasilan pajak.
Saya sendiri sampai ‘merinding’ mengetahui bahwa pemerintah mereka hingga terpikirkan pertimbangan yang sepele namun ‘mengerikan’ seperti itu.
Contoh lainnya, masih di Singapura, seluruh tiang lampu pasti memiliki nomor.
Alasan pemerintahnya memberikan penomoran tiang-tiang lampu tersebut sangat sederhana.
Jika ada warga atau turis yang tersesat, atau kecelakaan dan peristiwa yang membutuhkan tindakan medis/darurat dengan cepat, mereka dapat memberitahukan nomor tiang lampu terdekat lewat panggilan layanan dan petugas dapat menghampiri mereka segera dalam hitungan menit.
Beat that. Saya sendiri terkadang malu melihat pertimbangan yang sedalam itu dan menyadari jika akhlak saya kepada orang lain selama ini ternyata belum ada apa-apanya.
Tetapi, seni mempertimbangkan itu dapat kita latih. Kita dapat memulai dari yang paling dekat seperti keluarga dan sanak saudara kita, teman dan kolega kita, baru meluaskan radiusnya setelah itu.
Bukankah kita sendiri yang akan berbahagia jika mendapatkan kepedulian ekstra dari orang lain yang bahkan sampai yang tidak mengenal kita sama sekali?