Siang itu, saya sedang membuka Twitter. Ada cuitan tentang sekumpulan orang yang sudah dapat membeli rumah dan kendaraan mewah. Kemudian ada yang membalas, “Ini pada kerja apa ya kok gampang banget dapet duit tuh? Gw aja kerja kantoran di Jakarta masih mikir gaji gw pas nggak sampe akhir bulan.”
Say, media sosial selain menjadi ajang berbagi, juga menjadi ajang pamer diri. Setiap orang memiliki gengsi yang harus mereka lampiaskan, dengan jejaring sosial yang menjadi media pelampiasannya.
Terkadang tidak jarang seseorang yang bernafsu untuk memamerkan gengsi mereka justru terjebak ke dalam lingkaran setan, yang mana mereka pada akhirnya harus menderita di dalam kenikmatan tersebut.
Lingkaran setan yang saya maksud adalah, mereka membeli barang mewah untuk mereka pamerkan hingga bosan, lalu mereka menyadari bahwa mereka tidak lagi memiliki uang untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, setelah itu mereka kembali iri dengan kegiatan pamer orang lain di media sosial, lalu mereka melakukan sesuatu kembali untuk mereka banggakan hingga menguras saldo mereka sendiri. Begitu terus-menerus.
Saya pun pernah menjadi salah satu orang yang menjadi ‘korban’ kekilauan postingan para warganet yang membanggakan apa yang mereka punya.
Sebagai orang yang sedang membangun perusahaan dengan pegangan uang yang sangat terbatas, melihat orang-orang seusia saya sudah mendapatkan impian mereka masing-masing cukup membuat saya sedih.
Namun untunglah saya tidak latah dengan mencoba untuk menyaingi mereka meski sepersekiannya.
Saya lebih memilih memblokir atau membisukan orang-orang seperti itu, sebab bukan motivasi yang saya dapat justru sebaliknya, mendemotivasi saya hingga saya tidak dapat melakukan apa-apa pada hari itu.
Sebenarnya saya tidak masalah dengan orang yang pamer karena itu manusiawi. Tetapi jika melihat itu justru membuat hati saya kosong artinya itu sudah menjadi racun yang harus saya singkirkan.
Motivasi akan saya dapat dari kegiatan pamer orang lain jika mereka bersedia membagikan tipsnya. Dan ketika saya menyebutkan tips, maka itu harus sesuatu yang spesial jarang orang yang tahu.
Masalahnya, banyak orang yang memberikan tips namun sebenarnya itu bukanlah tips sama sekali, melainkan memang syarat sah yang kebanyakan kita sudah tahu. Seperti, harus giat, harus tekun, dst.
Saya sendiri saat telah mendapatkan apa yang saya impikan, bahkan memiliki total saldo rekening lebih dari seratus juta rupiah, saya sudah tidak lagi bernafsu untuk memamerkan apa yang saya dapatkan di media sosial kecuali hanya sesekali dan jarang.
Ya, saya akui awal-awal saat saya misalnya, telah berhasil membeli sepeda motor secara tunai tanpa kredit, atau masa-masa awal memiliki karyawan dan berkantor di gedung mewah di tengah Jakarta, saya sekali dua kali memamerkannya.
Namun manusia pada akhirnya memiliki rasa bosan. Mereka yang sudah tentram dengan apa yang mereka punya, pada akhirnya memilih hidup normal yang biasa-biasa saja.
Benar, kehidupan normal adalah kehidupan terbaik. Orang yang lebih memilih kehidupan tenang yang biasa-biasa saja, mereka sudah begitu cukup dengan apa yang mereka dapatkan sehingga tidak lagi memerlukan pengakuan orang berlebihan.
Rasa aman dan tentram adalah salah satu kebahagiaan yang sering kita lupakan.
Jika hidup bahagia itu kita artikan hanya sebatas bisa tertawa riang dengan teman-teman kita, belum tentu mereka ada di sisi kita saat kita sedih.
Jika hidup bahagia itu kita artikan hanya sebatas memiliki banyak materi, maka kebahagiaan itu akan berakhir saat kita sudah merasa bosan dengannya.
Bukankah banyak milyuner yang tiba-tiba cerai dengan pasangan mereka? Banyaknya harta ternyata tidak menjamin langgengnya sebuah pasangan.
Kehidupan yang biasa-biasa saja membuat kita lebih murni dalam menikmati apa yang menjadi impian kita. Tidak ada standar semu yang kita harus penuhi dan mengorbankan kesejahteraan kita sendiri.
Dahulu, saya hanya mampu memiliki kipas angin kecil sehingga membuat saya gerah di siang hari. Ketika saya sudah mampu membeli AC, saya merasa seperti orang yang paling beruntung. Padahal waktu itu saya masih belum memiliki kendaraan apa pun.
Betul bahwa saya juga memiliki ambisi ingin memiliki uang yang banyak, sebab saya pun memiliki gengsi. Tetapi saya berusaha tidak terpengaruh standar orang lain dan fokus dengan produktivitas saya sendiri, yang ternyata itu lebih cepat bagi saya untuk mencapai apa yang saya inginkan.
Ingatlah, susah atau senangnya kita hanya kita yang merasakan, bukan orang lain. Saat kita memamerkan apa yang kita punya, itu tidak memiliki pengaruh kepada para audiens kecuali sangat sedikit.
Setiap orang pasti memiliki hak yang sama untuk menjadi kaya, atau setidaknya hidup sesuai standar kesejahteraan masing-masing.
Tetapi yang kita sayangkan, banyak yang memilih untuk menyalin standar kesejahteraan orang lain meski itu tidak cocok dan pada akhirnya menyengsarakan.
Jangan salahkan saat seseorang sudah bosan meniru orang lain, ia akan tersesat dan kehilangan arah. Hatinya kosong dan bimbang karena ia harus menuruti jalan hidupnya dari awal lagi.
Hiduplah secara normal. Kita hanya cukup memperbaiki diri setiap hari supaya semakin mendekatkan kita kepada apa yang kita inginkan.
Bahkan kita bisa lebih berpikir sehat saat kita ingin membeli sesuatu. Contohnya, saya mampu membeli mobil saat ini juga secara tunai. Namun saya berpikir kembali karena pasti menyetir di Jakarta itu cukup membuat saya stres dan tidak membahagiakan.
Artinya, akal sehat saya berkata bahwa saya belum waktunya memiliki mobil dan sesimpel itu.
Saya seorang direktur utama perusahaan, lebih memilih berlelah-lelah menggunakan Transjakarta karena itu salah satu pilihan nyaman. Saya sudah terbebas dari penilaian orang lain. Bahkan sepeda motor pun saya pada akhirnya membeli yang matik selama saya dapat menggas dan mengerem secara nyaman.
Kebahagiaan ada pada kedamaian dan ketenangan, serta terlepas dari cicilan lingkaran setan yang tidak perlu.
Yang terpenting, apa yang kita lakukan sudah cukup berpengaruh positif kepada orang lain, sehingga mereka dapat menghormati kita tanpa perlu repot-repot kita memamerkan sesuatu di luar kemampuan kita demi meraih simpati mereka.