Kurangi Drama

Tips Lebih Bahagia Ala Anandastoon #7

Kurangi Drama

Saya tidak tahu bagaimana saya mengawali tips kali ini, yang pasti saya sudah lelah dengan orang yang menambal kekurangan dirinya dengan drama.

Misalnya, saya sering sekali melihat beberapa pekerja yang tidak maksimal dalam melakukan tugasnya dan alih-alih ia memperbaiki kinerjanya agar mendapatkan kebahagiaan lebih, ia justru menciptakan drama seakan-akan pekerjaannya adalah yang paling sulit dan melelahkan.

Dear, yang namanya bekerja itu pasti melelahkan. Mengapa masih ada orang yang ingin sebuah kebahagiaan tanpa ada upaya untuk mencapainya?

Jika seseorang mencari kebahagiaan, ia akan mendapatkan kebahagiaan itu. Jika seseorang hanya mencari simpati, ia akan terus-menerus membuat drama. Pilih bahagia atau drama?

Belum pernah ada ceritanya orang mendapatkan kebahagiaan dengan mendramatisir segala sesuatunya.

Namun kenyataannya, masih sangat banyak masyarakat kita yang lebih memilih membuat drama demi menghindari kewajiban utama mereka.

Saya pernah menemukan, bukan hanya sekali, seorang pegawai yang malas-malasan, performa kinerjanya rendah, pelayanannya buruk, dan banyak melakukan pelanggaran kerja.

Namun saat pegawai tersebut dipanggil oleh atasannya untuk mendapatkan hukuman, ia berkilah, “Saya bekerja untuk anak istri saya pak.”

Pertanyaannya, apa ia benar-benar ingat anak istrinya saat ia melakukan banyak pelanggaran kerja? Jika seseorang benar-benar bekerja demi anak istri, seharusnya ia bekerja lebih giat dan sungguh-sungguh.

Bahkan di luar lingkup pekerjaan sekali pun, masyarakat kita banyak yang senang mendramatisir sesuatu hanya demi meraih perhatian lebih dari seseorang. Mereka pikir dengan menciptakan banyak drama, mereka akan mendapat keistimewaan khusus di mata masyarakat.

Contohnya, ada seseorang yang senang berbuat sesuatu yang meresahkan masyarakat. Dengan dalih bahwa dia adalah “orang kecil”, masyarakat akan terenyuh dan iba sehingga perbuatan buruknya mendapatkan toleransi.

Banyak pengendara sepeda motor di jalanan yang mengaku-aku sebagai rakyat jelata namun mereka justru membabi-buta dalam berkendara di jalan, melanggar rambu lalu lintas, dan membuat orang lain tidak aman.

Seakan-akan drama rakyat kecil telah menjadi senjata sebagian kalangan masyarakat untuk mendapatkan perlakuan khusus dan untuk menghindari kewajiban mereka.

Di media sosial sekali pun, saya berulangkali melihat postingan drama yang mendapatkan banyak “like” dan “share”. Saya agak kurang nyaman dengan itu.

Salah satunya pernah saya screenshot, yaitu postingan seperti ini:

Kurangi Drama

Mungkin dapat dikatakan, hampir-hampir tidak ada lagi kebencian yang dapat saya ungkapkan saat saya melihat postingan-postingan seperti itu. Benar, kebencian saya mungkin hampir lepas dari ubun-ubun.

Berdasarkan postingan di atas, ada beberapa hal yang saya ingin komentari.

Pertama, masih banyak orang kaya yang benar-benar mengurus jenazah dari awal hingga akhir. Saya beberapa kali mampir ke komplek orang kaya, saat ada yang meninggal justru tetangganya berbondong-bondong membantu keluarga duka dari mulai memandikan, menyolati, menguburkan, hingga menghilangkan kesedihan keluarga almarhum.

Kedua, cukup dengan narasi bahwa si miskin adalah pahlawan dan si kaya adalah orang jahat. Kita secara tidak sadar telah banyak dicekoki cerita seperti itu sedari kecil. Bagaimana orang-orang akan menjadi orang kaya jika masih senang mengonsumsi drama seperti itu?

Ketiga, banyak dari kita lupa bahwa banyak jasa orang kaya yang mempekerjakan banyak orang, memberikan banyak sumbangan, dan menjaga perekonomian dengan melakukan perputaran uang. Mereka juga membayar pajak dan kewajiban yang lebih tinggi.

Terakhir, banyak dari kita yang sepertinya terlewat beberapa fakta bahwa banyak orang-orang miskin yang begitu ingin menjadi orang kaya, namun karena mereka tidak tahu bagaimana cara yang baik dan benar untuk menjadi orang kaya, mereka akhirnya menghalalkan segala cara. Sekali pun misalnya masih dengan cara yang halal, namun mereka begitu sembrono dalam mengerjakannya.

Jika kalian pernah tahu majalah Hidayah tentang cerita nyata pengalaman yang melihat langsung kejadian di kubur, maka sebagian besar cerita azab kubur di majalah tersebut justru terjadi kepada si miskin.

Dear, saya pun pernah mengalami kehidupan yang sangat sulit sampai beberapa kali makan hanya dengan lauk garam atau air rebusan yang dituang kecap. Namun saya jarang melakukan dramatisasi untuk meraih simpati lebih dari orang-orang.

Yang saya lakukan pada saat itu terus menjalani hobi, mendalami ilmu, hingga saya dapat memimpin perusahaan yang saya ikut serta di dalamnya.

Artinya, drama tidak pernah membantu mengubah keadaan. Yang terjadi hanyalah membuat keadaan seseorang semakin terpuruk sedangkan ia tidak pernah menyadarinya.

Sebenarnya mendramatisir sesuatu bukanlah sesuatu yang dilarang. Saya pun sesekali pernah membuat drama karena pastinya jarang ada orang yang ingin hidupnya membosankan.

Tetapi tentu saja, jika berhubungan dengan kebahagiaan, maka sudah menjadi tugas saya untuk meraihnya dengan usaha untuk mencapai kebahagiaan tersebut, bukan dengan drama. 😉

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Tips Lebih Bahagia 6: Tugas Ekstra

    Berikutnya
    Introvert vs Insecurity, 5 Perbedaan yang Serupa


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas