Karena pandemi, jadwal tayang Soul digeser ke November, dan itu pun tidak tayang di bioskop melainkan di Disney Hotstar. Kabar gembiranya, ada karyawan saya yang memiliki akunnya, dan karyawan saya yang lain ada yang memiliki layar laptop yang lebar. 16 inci mungkin ya?
Jadilah kami mulai nobar saat jam makan siang. Dan yang buat kami lebih excited, ini adalah film Pixar, dan film animasi ini memiliki direktor yang sama dengan Coco juga Inside Out. Popcorn mana popcorn? Eh lupa, bukan di bioskop, yaudah, sambil nonton kami ngemil ciki.
Jadi Soul ini yang saya lihat di trailernya, bercerita tentang seorang bapak lajang (hah, maksudnya bapak-bapak yang masih lajang?) yang bercita-cita menjadi musisi handal. Namun kenyataannya ia hanya berprofesi sebagai pengajar musik di sebuah sekolah dasar yang sepertinya membosankan.
Saat ia tiba-tiba mendapatkan tawaran untuk menjadi bagian dari sebuah grup musik jazz ternama, ia tercemplung ke lubang. Tewas.
Dalam review ini saya akan mencoba untuk sama sekali tidak menuliskan “Spoiler”.
Standar Disney dan Pixar sudah jauh melesat melewati batas saing para perusahaan animasi lainnya. Jadi untuk yang ini saya tidak ingin mempertanyakannya lagi. Apalagi atmosfer fantastik dan surealis negeri akhirat yang dibuat berpijar-pijar. Atmosfer dunia nyata sub-urbannya juga dapet banget.
Semua teknik pencahayaannya on point.
Namun mengapa saya tidak menggenapkan nilainya menjadi 10? Karena beberapa scene sepertinya terlihat terlalu sederhana atau monoton. Contohnya seperti adegan pra-lahir yang nuansanya childish, tapi surealis. Di adegan tersebut seakan pemandangannya masih agak… kosong.
Begitu pun dengan pemandangan di mana para jiwa sudah kehilangan asa mereka.
Pemandangan dunia nyatanya pun masih terlalu mengikuti kaidah yang terlihat terlalu realistis. Tapi… apa yang saya harapkan dari adegan yang berlatar di daerah pinggiran kota? Pulau melayang?
Desain karakternya tidak ada yang berkesan di sini. Termasuk karakter utama (Joe) dan karakter utama pengiring (22), baik dalam bentuk manusia atau pun bentuk ruhnya. Apalagi ditambah Joe adalah pria lajang yang sudah berkepala tiga. Ingin desain karakter seperti BTS Korea, yang ada malah seseorang dengan perut buncit wakakak.
Sekali lagi, komedi ala Pixar yang tidak dibuat-buat, melainkan begitulah adanya. Saya sebut ini komedi cerdas yang memanfaatkan lingkungan sekitar. Bahkan, terkadang ada beberapa kejadian di dunia nyata yang sebenarnya begitu lucu jika kita memperhatikan dengan sangat detail.
Pixar begitu excel untuk bagian ini. Bravo!
Namun Soul ini sebenarnya film baper, jadi setiap beberapa adegan komedi di sini, biasanya selalu diiringi dengan proses berpikir yang dengan sejenak menghilangkan seluruh rasa humor yang baru saja terjadi.
Bukan masalah. Hanya tipikal film Pixar.
Meskipun ini adalah film musikal namun tidak seperti Coco, tidak ada adegan nyanyi-nyanyi di sini. Hanya pertunjukkan Jazz klasik yang tidak saya gemari.
Musik pengiringnya pun hanya mengalun sesuai atmosfer dan nuansa adegan yang terjadi, di mana bagi standar Disney/Pixar hal ini merupakan hal yang seharusnya tidak dikomentari lagi.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Soul adalah sebuah film baper. Film tentang kehidupan, yang mengajak pemirsanya untuk menghargai setiap aspek yang terjadi dalam kehidupan masing-masing yang mungkin mereka selama ini tidak sadari.
Jalan ceritanya saya katakan brilian, menyentuh, dan tidak terpikirkan.
Kedua tokoh utamanya memiliki karakter yang kuat, dan cara mereka bersinergi benar-benar dapat dinikmati karena secara watak keduanya cukup berlawanan satu sama lain. Tetapi, Pixar melekatkan kemistri yang kuat di kedua karakter utamanya sehingga di sinilah menariknya Soul ini.
Sekali lagi, ini adalah film baper, jadi jangan berharap ada adegan dahsyat dari antagonis di sini. Tokoh antagonisnya pun tidak benar-benar antagonis, hanya ‘malaikat’ yang ditugaskan untuk menjaga dan mendata para jiwa yang sudah menjadi anggota kehidupan gaib.
Adegan klimaks dan plot twistnya pun tidak terlalu seheboh Coco, Onward, atau bahkan Inside Out. Jadi ada sedikit penurunan nilai di sini.
Dan terakhir, film ini komplikatif. Target audiensnya abu-abu. Anak-anak tidak dapat terlalu menikmati jalan ceritanya, sedangkan orang dewasa mungkin akan menganggap film ini agak membosankan. Namun tentu saja, membosankan dalam standar Pixar.
Soul adalah film tentang kehidupan seperti Inside Out. Bahkan dari sisi jalan cerita sebenarnya lebih terlihat seperti film dokumenter yang dikemas dalam bentuk animasi. Lagi, Pixar tidak menjadikan film dokumenter ini hanya sebatar bercerita tentang kehidupan, namun Pixar begitu cerdas dalam menanamkan karakter di masing-masing tokohnya.
Soul mungkin agak terlihat membosankan bagi sebagian orang. Jalan cerita flat, tidak ada pemeran antagonis sungguhan, minim plot twist, dan atmosfer yang kurang melekat. Ditambah lagi, karakter utamanya, Joe dan 22, tidak memiliki desain karakter yang menarik. Saya bahkan tidak tahu bagaimana “22” dalam wujud manusianya.
Secara keseluruhan, film ini sepertinya begitu cocok dinikmati oleh para remaja akhir yang memang sedang diterpa banyak kegalauan dan anxiety dalam menjalani tahap berikutnya dalam kehidupan mereka seperti diriQuh ini.