“Nih Nda, kembaliannya.” Kata teman saya ketika memberikan selembar uang Rp20.000 kepada saya. Langsung saja saya lipat dan saya masukkan ke dalam kantong jeans dengan tidak mempedulikan bagaimana cara memasukkannnya.
“Nanda,” Kata teman saya setelah teman saya melihat apa yang saya lakukan itu. “Duit jangan kebiasaan dilipat-lipat begitu. Jika di luar negeri itu sudah tidak laku.”
Saya kaget tentu saja, masalahnya sudah menjadi hal yang lumrah uang dilipat-lipat bahkan ada yang sampai kumel bin kucel alias lusuh. Jelas saya membela diri atas dasar ini dan paradigma yang beredar luas di masyarakat bahwa ini sudah menjadi hal yang lumrah.
Tetapi, saya mulai memikirkan hal yang lain…
Kata orang-orang yang benar-benar sudah pernah ke luar negeri, termasuk pula teman saya. Orang-orang luar negeri sangat menghargai uang-uang kertas mereka. Bahkan hingga pecahan terkecil pun, mereka tetap menyimpannya dengan rapi di dompet-dompet mereka.
Saya tidak tahu mengapa di negeri ini banyak uang-uang lusuh beredar dengan bahagianya ke genggaman setiap belahan masyarakat. Bahkan saya sendiri, pernah memberikan uang berbentuk bujur sangkar kecil atau bahkan sudah berbentuk gumpalan sempurna kepada kondektur bus-bus sedang dan mereka tidak pernah punya masalah untuk menerimanya.
Semua berlalu dan semua mengalir. Dari pedagang kaki lima hingga minimarket, dari kasir biasa hingga loket resmi, semuanya menerima semua uang lusuh dan ada yang telah dihias dengan selotip tersebut. Semua ikhlas, semua rela, tak ada satu pun yang mempermasalahkannya kecuali orang-orang kaya yang benar-benar belagu atau orang-orang perfeksionis.
Apakah saya memiliki uang yang benar-benar rapi dan tidak terlipat? Ada, tentu saja ada. Namun nominalnya biasanya Rp50.000 dan Rp100.000. Di luar nominal itu, lebih memilih untuk berdesakan di dalam kantong saya.
Perkataan teman saya yang telah saya sebutkan di paling awal seakan mendobrak sebuah paradigma yang tidak ingin terbuka seumur hidup saya ini. Tidak ada maksud berlebihan, namun saya belum siap dengan pernyataan bahwa uang tidak boleh terlipat atau bahkan sedikit lusuh.
Saya hanya menjaga uang kertas tidak lusuh hanya ketika ingin memasukkannya ke dalam mesin yang menerima uang kertas, entah itu mesin minuman, mesin tiket, atau mesin top up. Selebihnya, diperlakukan bak kasta dalam agama Hindu, yang semakin kecil nilainya, artinya golongan sudra lah uang-uang tersebut.
Tidak siap dengan perubahan kebiasaan, berbagai pembelaan diri dan “Tapi kan, tapi kan” terus terucap untuk tetap ‘melegalisir’ setiap perlakuan yang telah menjamur itu. Selama uangnya masih sah, tidak apa kan? Yang penting kan tidak sobek, tidak luntur, dan sebagainya.
Negara Thailand, benar-benar menghormati uang dengan tidak membiarkannya ‘mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan’ karena ada wajah sang ratu di sana. Begitu juga dengan banyak negara maju lainnya. Semua yang berhubungan dengan tindakan melipat, sebisa mungkin tetap mulus dan berada di dalam dompet.
Gubernur Bank Indonesia itu sendiri (Agus Martowardojo) menghimbau warga negara agar memperlakukan uang dengan baik, “Kualitas uang rupiah perlu dijaga dan dirawat dengan baik, masyarakat perlu meninggalkan kebiasaan kurang baik misalnya membasahi, melipat, meremas mencoret-coret serta staples uang rupiah.”
Bahkan,
Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011, khususnya pasal 35 berbunyi: βSetiap orang yang dengan sengaja merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dijelaskan pula bahwa proses untuk membuat uang tidaklah mudah, karena prosesnya tidak main-main dan rumit. Jika ada kesalahan cetak, maka hal yang dilakukan untuk merevisi atau mencetak ulang benar-benar tidak mudah.
Tapi… tapi… kan kita tidak bermaksud merendahkan kehormatan rupiah?
Saya pun ikut melayangkan pembelaan-pembelaan diri. Setidaknya, ada beberapa toleransi yang saya dapatkan setidaknya untuk membuat segala sesuatunya menjadi seimbang.
Bagaimana jika kita ingin memasukkan uang ke kotak amal di masjid? Atau kita sedang tidak membawa dompet sehingga uang harus masuk saku yang mau tidak mau harus dilipat? Ini adalah hal mudah, cukup lipat dengan tidak memakan banyak lipatan dan tidak benar-benar dilipat.
Ada pun seni melipat uang yang ditujukan sebagai mahar pernikahan, saya tidak punya banyak komentar. Namun alangkah lebih baik jika maharnya adalah seni yang lain.
Di negara tropis, bahkan negara-negara lain pun, kemungkinan uang tersiram, tercelup, atau bahkan tercebur atau tercuci tidak dapat dielakkan. Hal-hal manusiawi yang tentu dapat dimaklumi tersebut memang benar-benar dapat toleransi selama tidak dilakukan dengan sengaja.
Uang yang basah, harus segera dijemur sebelum rusak sehingga mudah robek. Dengan demikian, uang akan kembali pulih seperti keadaannya sebelum basah meski tidak sempurna.
Masih suatu hal yang manusiawi jika kita tidak sengaja membuat uang robek (paling sering ketika membuka amplop hajatan). Hal yang paling umum dilakukan adalah men-selotip uang tersebut hingga tersambung. Saya tidak tahu ini masih sah atau tidak, yang pasti, selama sobekannya masih terbagi dua bagian dan masih lengkap kedua bagian yang sobek, seharusnya masih sah karena masih dapat ditukar di Bank Indonesia.
Ada pun masalah penghimpunan sejumlah uang, baiknya tidak distaples. Karena hal ini akan rentan merusak uang jika memang kita tidak ahli membuka biji staplesnya. Uang yang dihimpun sebaiknya ‘dibalut’ dengan uang lain atau balutan kertas lain dengan perekat diujungnya, sehingga uang tetap terjaga.
Sisanya seperti mencorat-coret, merobek dengan sengaja, dan sengaja dicelup, apalagi kemudian diviralkan dengan dalih kreativitas, hal itu jelas dapat mengundang aparat hukum untuk menjatuhkan pidana kepada para pelaku.
Mengenai uang lusuh yang diterima dari kembalian-kembalian, sebaiknya ditukar dengan uang baru, atau digunakan kembali sebagai alat pembayaran yang sah dengan harapan kita tidak mendapatkan kembalian dengan uang yang sama lusuhnya atau bahkan lebih parah.
Edukasi dan edukasi harus tetap digalakkan kepada masyarakat ini agar mulai belajar menata uang karena itu termasuk tindakan menghargainya. Apa jadinya turis yang melihat uang-uang lusuh banyak bergentayangan karena perbuatan kita sendiri?
Oh, sebentar, saya ada telepon. Ketika saya mengeluarkan telepon selular saya dari kantong. Bersamaan dengan itu, berhamburanlah uang-uang kertas yang lusuh dan terlipat di kantong saya.
Whoops… I’m sorry…
membudayakan hal baru masih tetap menjadi yang tersulit… hehe…