Sepertinya hampir semua orang pernah disugestikan untuk membuka usaha sendiri atau menjadi pengusaha. Alasan yang disampaikan pun bermacam-macam, dari mulai bekal tabungan di masa tua, uang yang bekerja untuk kita, bahkan hingga hadits Rasulullah saw. yang menyebutkan bahwa 9 dari 10 rezeki adalah dari perdagangan.
Namun apakah setiap orang perlu menjadi pengusaha?
Well, sebelumnya saya sudah pernah menulis mengenai apakah seseorang harus memilih menjadi karyawan atau wiraswasta yang dapat kalian lihat di artikel ini, namun saya membuat artikel lagi seperti ini untuk lebih menyodorkan opini dan fakta mengenai apa yang akan terjadi jika hampir setiap orang menjadi pengusaha.
Seperti yang telah diketahui bahwa hari ini banyak pengusaha yang perang bisnis digital. Aksi mangsa-memangsa pun sepertinya sudah seperti kewajiban untuk dilakukan oleh setiap perusahaan perintis atau startup IT jika ingin bisnis mereka bertahan. Hal ini jelas dapat menyudutkan dan menjepit para perintis yang baru saja lahir.
Siapa yang tahu kini sebuah perusahaan transportasi online sudah merambah bisnisnya ke bisnis kurir, laundry, dan tiket hiburan?
Siapa yang menyangka kini sebuah perusahaan e-commerce sudah merambah bisnisnya ke penjualan tiket kereta api dan pesawat?
Monopoli terjadi di mana-mana yang sebenarnya hal itu adalah sah-sah saja. Namun coba pikirkan lagi, jika seseorang yang sedang menjadi karyawan kemudian berniat untuk membuka usaha travel, kira-kira bagaimana dia akan memasarkan tawarannya? Sedangkan orang-orang sekitarnya sudah nyaman dengan perusahaan-perusahaan besar tersebut.
Bahkan teman yang dipercaya pun, bukannya membuat kita untung namun justru selalu meminta harga rendah yang disebutnya sebagai “harga teman”.
Apakah seseorang sebelum memulai bisnisnya sudah memiliki “modal” yang cukup? Berapa yang akan dikeluarkannya dengan biaya alat, biaya pekerja, atau bahkan biaya pemasaran produknya? Jika berkilah bahwa usaha yang dilakukan adalah usaha kecil-kecilan, perlu diketahui, banyak perusahaan rintisan yang sampai sekarang pun masih dalam tahap “bakar uang”.
Bahkan sebagian orang justru merasa bangga dan cukup dengan usaha kecil-kecilan yang dibangunnya itu yang entah sampai kapan usahanya akan tetap dalam skala “kecil-kecilan”.
Misal, seseorang akan bangga jika dia sudah dapat memiliki bisnis kuliner seperti resto atau kafenya sendiri, dan memang dia patut berbangga. Namun apakah dia punya proyeksi keuangan ke depan? Atau justru usaha kulinernya tersebut akan membuat dia kerepotan sendiri dalam jangka waktu yang ia sendiri tidak tahu? Apa yang membuat usahanya dirasa ‘beda’ bagi pelanggan-pelanggannya?
Belum lagi terkadang seseorang harus mengeluarkan ‘modal lebih’ untuk terus memanjakan pelanggan meski hanya usaha warung atau kuliner. Betapa banyak resto ‘murah’ yang semakin ‘perang’ fitur tambahan seperti colokan listrik, toilet, dan WiFi gratis?
Pada akhirnya, pengorbanan seseorang dari mulai waktu dan harta semakin diuji di era yang semakin banyak saingan. Semua sibuk membakar uang dengan menjatuhkan harga sebagai promo demi mendapatkan banyak customer, yang sepertinya kini istilah ‘balik modal’ seakan semakin sulit untuk diraih dalam waktu dekat.
Di mana memangnya istilah “uang akan bekerja untuk kita” jika banyak pengusaha-pengusaha baru yang selalu mengeluh dengan hasil yang didapatnya selalu sedikit dari hari ke hari?
Sudah saya jelaskan pada artikel yang lalu bahwa hadits yang menyebutkan bahwa 90% pintu rezeki ada di perniagaan adalah lemah. Justru yang banyak shahih ditemukan adalah hadits tentang bekerja, entah sebagai karyawan atau pengusaha itu sendiri. Dan kita sudah banyak tahu tentang itu.
Seperti,
“Barangsiapa yang di waktu sore merasa lelah lantaran pekerjaan kedua tangannya (mencari nafkah) maka di saat itu diampuni dosa baginya.” (HR. Thabrani)
“Sesungguhnya di antara dosa yang tidak bisa ditebus dengan pahala shalat, sedekah atau haji, maka bisa ditebus dengan kesusah-payahan dalam mencari nafkah.” (Al-Hadits)
Dan sebagainya… dan sebagainya.
Mengapa seseorang begitu bernafsu untuk menjadi pengusaha padahal dia belum begitu memahami bagaimana beratnya sepak terjang usaha mandiri bahkan hingga keluar dari perusahaannya?
Bukan tidak boleh membuat usaha mandiri, namun banyak orang yang menggampangkan terlebih mengatakan bahwa kegagalan dalam berbisnis adalah hal biasa. Bagus jika seseorang belajar dari kegagalan tersebut, tetapi apa yang akan terjadi jika banyak orang yang lebih memilih terperosok ke dalam lubang yang sama terus-menerus?
Apa nggak capek gagal melulu?
Bagaimana seseorang berani mengambil ujian SIM padahal dia tidak pernah belajar mengendarai sama sekali? Maka ikutlah berbisnis sampingan dengan temannya, maka ia akan tahu bagaimana hiruk pikuk dan halang rintang yang terjadi dalam dunia bisnis sebelum dia belajar membangun bisnisnya sendiri.
Jika memang ingin menghasilkan pendapatan tambahan, seseorang dapat mengambil usaha sampingan, dengan syarat tidak mengganggu pekerjaan utamanya. Seperti saya, meskipun saya sudah memiliki usaha dan kantor sendiri, saya pun melakukan bisnis sampingan seperti membuat website bagi orang-orang dan juga memasang iklan di blog ini dengan tidak mengabaikan komunikasi dengan para pembaca.
Daripada melulu pusing memikirkan apa bisnis yang seharusnya seseorang itu jalankan, mengapa dia tidak menjadi profesional dahulu di kantornya dengan harapan dia naik jabatan dan mendapatkan gaji berkali-kali lipat? Kemudian gaji tersebut ditabung dan disedekahkan sebagian.
Bayangkan jika seseorang sudah mendapatkan 40 juta sebulan dari gajinya karena kinerjanya yang semakin hari semakin profesional, jelaslah itu sudah cukup baginya untuk memenuhi tabungan hari tuanya. Dan 40 juta itu adalah pendapatan dia yang bersih, tidak perlu repot-repot memikirkan bagaimana dia akan membayar sarana pemasaran, menggaji karyawannya, dan sebagainya.
Di luar itu, usaha sampingan di luar pekerjaan utamanya justru berbuah manis karena dia sudah mendapatkan cara terbaik untuk mengembangkannya. Sehingga, ketika dia sudah berumur 40 tahun, dia tidak akan kehilangan apa pun.
Seandainya dia gegabah, keluar dari pekerjaannya untuk sesuatu yang belum pasti, belum tentu dia akan mendapatkan hal semanis apa yang ia dapat ketika mempertahankan pekerjaannya.
Jika seseorang sudah memiliki perencanaan yang matang dan manajemen yang dapat diandalkan, silakan saja dia membuat perusahaannya sendiri. Namun tetap hal tersebut jangan membuat ia terburu-buru meninggalkan pekerjaan utamanya jika memang penghasilan yang didapat dari usaha mandirinya belum pasti.
Apa salahnya seseorang menjadi karyawan? Mengapa dia tidak sibuk memperbaiki kinerjanya dan melakukan hal-hal bermanfaat di luar itu dengan harapan usahanya juga berbuah manis? Tidak perlu berambisi mendapatkan jabatan sebagai founder atau co-founder, citra seseorang akan dipertaruhkan seiring kepiawaiannya mempertahankan perusahaannya.
Untuk sedikit panduan dalam mendirikan perusahaan rintisan atau startup, saya pernah buat artikel berikut, silakan dibaca. 🙂
—<(Wallaahu A’lam Bishshawaab)>—