Ketika ada berita mengenai akhlak buruk seseorang, sebagian besar kita pasti langsung ingin mencari tahu siapa pelakunya, tanpa ingin untuk mengambil hikmah dari kejadian tersebut. Rasa ingin tahu ini menarik karena menjadikan kita sibuk untuk mempreteli aib orang untuk kemudian mencela atau membullinya.
Bagaimana agama memandang hal ini?
Perlu diketahui, yang mana saya juga mendapatkan inspirasi untuk menulis ini setelah mendengar khutbah Jum’at yang isinya mengenai hal ini. Sang khatib menyebutkan bahwa tidak ada seorang pun di Al-Qur’an yang Allah ta’ala sebutkan bersamaan dengan sifat buruknya.
Tetapi bagaimana dengan Fir’aun? Haman? Samiri? Dan yang lainnya? Bukankah itu semua adalah orang-orang yang disebutkan namanya? Perlu diketahui, Firaun hanyalah sebutan bagi raja Mesir zaman dahulu. Cleopatra pun disebut Firaun. Dan yang menjadi Firaunnya Nabi Musa a.s. pada waktu itu adalah Ramses II.
Begitu juga Haman yang merupakan penasehat Firaun yang menurut data-data yang ditemukan adalah merupakan sebuah jabatan kehormatan di mana nama sebuah dewa dipersembahkan untuk jabatan tersebut. Dalam kasus di sini, kata Haman berasal dari dewa Amun.
Samiri, orang yang menyesatkan kaum nabi Musa a.s. dengan berhala emas buatannya, memiliki nama asli Musa bin Zafar. Lagi-lagi Al-Qur’an ‘menyelamatkan’ nama baik orang ini.
Sedangkan kita, lebih menyenangi untuk kepo, atau menyibukkan diri untuk mencaritahu siapa yang berbuat kesalahan daripada mengambil hikmah dan menghindari perbuatannya. Terbukti jika kita melihat suatu tindak kejahatan, maka yang pertama kali kita tanya adalah, “Siapa sih, orangnya?”
Sebenarnya hal itu adalah manusiawi, namun kebanyakan kita selalu mengeksplor si pemilik kesalahan secara berlebihan dan terus-menerus untuk membullynya meskipun kita sendiri kadang enggan ditegur ketika kita berbuat salah.
Akibatnya, kita selalu merasa diri kita suci, dan selalu membanding-bandingkan dengan yang lebih buruk serta enggan belajar kepada yang lebih baik karena kita merasa kita sudah lebih baik dari orang yang kita soroti kesalahannya. Yang pada akhirnya, kita sendiri yang tidak akan pernah merasakan kebahagiaan hidup, merasa dunia tidak berpihak kepada kita karena kekeraskepalaan kita sendiri.
Kemudian dari sinilah suburnya peribahasa, “Gajah di depan mata tidak terlihat, semut di seberang lautan nampak jelas.”
Perlu dicatat, orang yang selalu menyoroti kesalahan orang lain membuat dirinya tidak merasa seperti orang tersebut sehingga muncul kesan bahwa dirinya lebih baik dari sebagian orang. Padahal dia perlu mengambil pelajaran dari kesalahan orang tersebut dengan sebab di suatu masa kemungkinan dia akan jatuh ke lubang serupa.
Seharusnya kita mengetahui, bahwa membersihkan sebuah nama jauh lebih sulit dari benak masyarakat dari membersihkan kesalahan seseorang itu sendiri.
Itulah mengapa ada pepatah, “Lihatlah apa yang dibicarakan, dan jangan lihat siapa yang berbicara.”