Belajar Agama

Pernah saya menjumpai seseorang penceramah yang akunya belajar Islam secara otodidak. Saya mengernyitkan dahi karena seperti ada sesuatu yang tidak beres. Ketika ditanya gurunya siapa, beliau jawab dengan mantap, “Guru saya adalah Rasulullah langsung!”Sekarang yang saya tanyakan adalah, pernahkah kita belajar matematika secara otodidak dan gurunya langsung Aristoteles, Pythagoras, atau Al-Khawarizmi? Saya yakin kita semua menggeleng. Semua pasti lewat perantara yakni guru-guru kita sewaktu kita sekolah, bahkan hingga mahasiswa dengan sarjana berlapis, mereka tetap butuh guru meski telah disebut dengan “dosen” atau “profesor”.

Kemudian dengan kenyataan seperti itu, mengapa kita begitu berani mengatakan bahwa guru saya langsung Rasulullah untuk ilmu agama padahal kita tidak pernah berani untuk mengatakan hal itu untuk ilmu dunia? Padahal Beliau saw. sendiri bersabda,

β€œUlama adalah pewaris para nabi.”
(H.R. At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda Radhiallahu β€˜Anhu).

Jadi pertanyaannya apakah bisa belajar ilmu agama secara otodidak? Saya pribadi adalah seorang programer, belajar program/mengkoding secara otodidak, namun tetap saya pun berguru dari internet dengan guru yang jelas, atau setidaknya sumbernya jelas dan terpercaya. Kebanyakan ‘guru’ programing saya berasal dari India karena mereka sangat detail menjelaskan A hingga Z.

Sebenarnya kita bisa untuk belajar agama lewat otodidak jika memang kita sama sekali tidak memiliki waktu di sela-sela kesibukan kita mengejar keduniaan. Alhamdulillah hari ini sudah banyak guru-guru kita yang ‘melek’ teknologi, mereka membuat yayasan dan situs web untuk menulis setiap ilmu agama yang telah diturunkan oleh guru-guru beliau di atasnya.

Masalahnya adalah, bagaimana teknik untuk membedakan mana situs web yang dipercaya dan mana yang tidak sebagai rujukan saat ingin belajar agama. Karena yang dikhawatirkan adalah begitu banyaknya situs web yang bertema islami namun kebanyakan pendapatnya berasal dari dalil palsu atau hanya menurut pemikirannya saja. Di sinilah yang ditakutkan jika belajar agama secara otodidiak.

“Tapi saya ingin belajar agama di sela-sela kesibukan saya agar mendapatkan kehidupan dunia dan akhirat yang lebih baik lagi? Adakah petunjuk untuk memudahkan saya memilih guru?”

Saya sendiri jika belajar agama via internet, ada tiga hal yang setidaknya saya pertimbangkan untuk ‘langganan’ belajar Islam dari situs web tersebut.

  1. Situs web tersebut memiliki pembimbing yang bergelar Lc. MA. Atau setidaknya Lc. saja. Itu menandakan bahwa pengasuh website tersebut biasanya adalah lulusan Universitas Al-Azhar yang sudah terkenal itu. Bahasa kasarnya, “Sebodoh-bodohnya lulusan Al-Azhar, mereka setidaknya memiliki ilmu yang dipercaya karena telah diturunkan dari ahlinya.”
    Hal ini penting karena tentu saja kita harus belajar dari guru yang sesuai. Mana ada lulusan biologi melamar jadi dosen akuntansi atau dosen IT?
  2. Pengasuh situs web tidak memiliki gelar Lc.? Tidak masalah, kita dapat lihat dari profil beliau, seberapa dalam beliau dalam mengupas tuntas sebuah permasalahan agama dari mulai permasalahan mendasar hingga kontemporer yang disertai dalil-dalil dan ijtima ulama yang matang.
  3. Atau situs web orang biasa yang jelas darimana ia mendapatkan ilmunya, memiliki bahasa penulisan yang mudah dipahami, dan pembahasan yang kompleks tanpa selalu diiringi dengan pendapat dari pemikiran saya sendiri, tidak memakai kata, “menurut saya…”.

Perlu diingat bahwa kita sama sekali tidak dapat belajar agama tanpa seorang guru. Kita sudah dengan jelas diperingatkan dalam sebuah pepatah yang dilontarkan oleh ulama,

β€œBarang siapa yang belajaar ilmu namun tidak berguru, maka gurunya adalah setan.”

Bisa jadi yang mengiringi kita dalam membuat kesimpulan saat belajar agama tanpa guru adalah nafsu, karena minimnya teori yang kita dapat. Bahkan yang lebih dianjurkan adalah belajar agama itu sebaiknya tidak hanya dari satu guru, ada pendapat yang berkata minimal tiga guru, atau bahkan tujuh guru.

Mengapa? Alasan mudahnya adalah agar yang satu dapat memback-up atau melengkapi pendapat yang lain. Atau bahkan bisa saja guru tersebut melakukan kesalahan dalam berpendapat karena beliau juga manusia. Kita pun bisa mendapatkan berbagai macam dalil untuk memperkuat keyakinan kita dalam belajar agama.

Karena saya sendiri belajar programing tidak hanya dari satu sumber. Itu baru ilmu dunia, apalagi untuk ilmu akhirat? Setidaknya kita harus memiliki tekad untuk belajar agama jika kita memang begitu dikubur oleh urusan keduniaan.

—<(Wallaahu A’lam Bishshawaab)>—

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
πŸ€— Selesai! πŸ€—
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Fenomena Masjid Berisik, Dilema Di Tengah Kedamaian

    Berikutnya
    Ketika Bijaksana dan Ketidakpedulian Saling Terbentur


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. πŸ˜‰

    Kembali
    Ke Atas