Saya memiliki ketertarikan tersendiri mengenai tata ruang dalam suatu wilayah perkotaan.
Kita tahu bahwa yang namanya sebuah kota, maka dalam bayangan orang-orang adalah padatnya penduduk, tebalnya polusi, kekumuhan di pinggirannya, serta ruang yang berantakan lagi gersang.
Maka dari itulah ilmu mengenai penataan kota ini sangatlah diperlukan.
Tetapi siapa sangka ternyata agama Islam nan mulia ini ternyata lebih dahulu memperhatikan hal ini di saat kota-kota di Eropa pada saat itu masih berada dalam kekumuhan, kerawanan, tidak kejahatan di mana-mana, serta kegelapan yang membalut.
Semua diatasi di zaman khalifah yang memiliki tanggung jawab di segala aspek pemerintahannya.
Telah banyak ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai gerbang-gerbang kota, seperti surat Al-Baqarah ayat 2, An-Nisaa ayat 154, Al-Maidah ayat 23, dan sebagainya. Ini menandakan bahwa kota-kota pada zaman dahulu pun telah memiliki gerbang sebagai tanda memasuki sebuah kota.
Fungsi gerbang selain dari sebuah landmark/penanda suatu kawasan, adalah sebagai batas dari sebuah wilayah untuk menghindari pertikaian akan masalah kepemilikan tanah, menghindari adanya klaim-klaim yang tidak berdasar, dan tentu saja, menambah nilai estetika atau keindahan suatu kota.
Gerbang yang indah dapat membuat kesan pertama akan kota tersebut, karena memang kebanyakan manusia selalu menilai segala sesuatunya dari pandangan pertama.
Namun ada batasan-batasan dalam membangun gerbang sebuah kota, seperti tidak diizinkannya dihiasi dengan patung-patung yang seakan hidup karena itu merupakan suatu simbol dari penyembahan berhala dan sedikit mengganggu sebagian pandangan orang. Cukup beri sentuhan arsitektur yang unik dengan warna-warna yang memukau.
Kemudian membangun masjid yang di tempat-tempat yang menjadi pusat aktivitas kota. Karena fungsi masjid tidak hanya sekedar untuk ibadah-ibadah vertikal, pembinaan umat pun dapat dilakukan di dalam masjid.
Fungsi masjid di sini juga dapat dijadikan sebagai landmark suatu kota, dengan dipenuhi berbagai aktivitas masyarakat yang positif di sekelilingnya.
Kita pun diperbolehkan untuk menghiasi landmark-landmark kota sebagaimana Rasulullah pernah mempersilakan umatnya untuk menghias masjid-masjid dengan sentuhan-sentuhan hiasan lampu, dengan batasan yang sangat wajar. Tidak berlebih-lebihan, tidak untuk dibangga-banggakan, dan tidak berlapis emas dan perak hingga berton-ton yang mana dana tersebut seharusnya dapat dipakai untuk menambah kesejahteraan rakyat.
“Tidak akan terjadi hari kiamat kecuali orang-orang berbangga-bangga dengan masjid.” (HR. Ahmad dan Ashabussunann kecuali At-Tirmizy)
Kemudian dilakukan penghijauan-penghijauan dari setiap tanah yang tidak ada kepemilikan maupun yang ada.
Pembangunan taman-taman kota, dapat menambah keindahan suatu kota, dan dapat dijadikan tempat bersantai oleh setiap warganya. Ditambah lagi, menanam suatu pohon dapat menyebabkan si penanam mendapatkan pahala.
“Tak ada seorang Muslim yang menanam pohon, kecuali sesuatu yang dimakan dari tanaman itu akan menjadi sedekah baginya, dan yang dicuri akan menjadi sedekah. Apa saja yang dimakan oleh binatang buas darinya, maka sesuatu (yang dimakan) itu akan menjadi sedekah baginya. Apa pun yang dimakan oleh burung darinya. Maka, hal itu akan menjadi sedekah baginya. Tak ada seorang pun yang mengurangi, kecuali itu akan menjadi sedekah baginya.”
(HR Muslim)
Hijau adalah warna yang nyaman dipandang mata, sedangkan dedaunan banyak yang berwarna hijau. Sebuah area hijau dapat mengurangi penat seseorang di tengah-tengah maraknya bangunan-bangunan beton.
Para khalifah membangun kota dengan sistem terpusat dan menyebar. Di mana sekolah, taman, perpustakaan, pasar, tempat-tempat bekerja, industri, pemakaman, hingga tempat pengelolaan sampah dibangun saling berdekatan agar dapat dicapai hanya dengan berjalan kaki dari rumah-rumah. Tidak ada tanah yang terlantar di sini karena negara akan dengan tegas mengambilnya dan menggunakannya untuk kepentingan-kepentingan publik yang bermanfaat.
Rasulullah saw. bersabda,
“Siapa yang mempunyai tanah, hendaklah itu ditanaminya.
Seandainya ia tidak suka memberikannya kepada orang lain, maka hendaklah tanah itu
tetap menjadi miliknya. ” (HR Al-Bukhari)
Tidak pula dibenarkan untuk mementingkan developer-developer untuk membangun kawasan elit mereka di pusat kota sedangkan orang-orang menengah ke bawah dipinggirkan di bantaran kali dengan kualitas pemukiman yang sangat buruk.
Pemerataan ini dapat dilakukan oleh pajak yang telah dibayarkan rakyat kepada pemerintah agar tidak adanya ketimpangan antara si kaya dengan si miskin karena penyaluran tersebar dengan adil.
Dalam Islam, pemerataan sumber air menjadi sebuah keharusan. Pembangunan kanal-kanal yang baik dan bermanfaat, pengaturan irigasi yang dapat mencakup hingga ke pelosok pemukiman sehingga semua terbagi dengan merata.
Pembangunan kota pun harus menyesuaikan dengan keadaan alam sekitar. Untuk lingkungan yang panas, dapat menggunakan tanah liat agar dinginnya malam masih terasa meski hari sedang terik ataupun hangatnya siang masih terasa meski malam sangat dingin, misalnya.
Untuk lingkungan yang rawan banjir, peninggian pondasi pada setiap rumah atau membentuk perumahan seperti model rumah panggung tentu saja diutamakan.
Memang tidak ada wacana transportasi masal di zaman khalifah karena segala sesuatunya dilokasikan dengan sangat strategis sehingga setiap tempat dapat ditempuh hanya dengan kaki-kaki warganya.
Namun bukan berarti Islam tidak peduli dengan sistem transportasi yang dapat memudahkan aktivitas warganya karena terlalu banyak warga yang menggunakan kendaraan pribadi dapat menghasilkan emisi yang buruk dan merusak lingkungan, serta menyebabkan kemacetan jalan.
Adalah Sultan Abdul Hamid II, yang mencanangkan transportasi masal pertama berupa pembangunan kereta api begitu diketahui Jerman sudah memiliki teknologi tersebut dengan jarak yang tidak tanggung-tanggung, yaitu kurang lebih 814 km dalam satu line/koridor/trayek, membentang dari Damaskus hingga Madinah Al-Munawwarah.
Tentu saja hal ini dapat mempersingkat waktu tempuh dari lima pekan sampai hanya tiga hari saja. Tidak hanya bermanfaat bagi setiap orang yang ingin melakukan aktivitas jauh, hal ini tentu saja dapat meningkatkan pelayanan haji.
Lalu bagaimana merencanakan pembangunan-pembangunan shelter/halte/stasiun dari transportasi masal tersebut? “Mudahkanlah dan janganlah mempersulit” Begitu cuplikan sebuah hadits Nabi saw. yang mana langsung mengarah kepada optimalnya sebuah kawasan TOD (Transit Oriented Development), yaitu kawasan yang dibangun tidak jauh dari pusat transportasi masal.
Saya mengambil contoh yang berasal dari sebuah kartun, yaitu Crayon Shinchan, yang menampilkan bagaimana sebuah TOD dibangun, berikut gambarnya.
Meskipun hanya sebuah kartun, namun saya melihat sebuah penataan kawasan yang menarik. Dengan berpusat pada sebuah stasiun (yang beratap merah pada atas gambar), kemudian disusul oleh perkantoran, minimarket, dan kawasan industri.
Kemudian setelah itu baru terdapat pemukiman-pemukiman di mana dari sanalah warganya menggunakan jasa transportasi umum, yang didalamnya terdapat sekolah-sekolah yang bersinggungan langsung dengan rumah warga sehingga dari kecil kita sudah diajarkan untuk berjalan kaki.
Tata kota seperti ini paling ideal karena seluruh kawasan terjangkau dalam radius 500 meter. Dengan jalan yang teratur, lebar jalan kampung yang hampir sama, memberikan ekuitas tersendiri bagi setiap warganya.
Kita juga dituntut untuk memiliki empati ketika akan menentukan lokasi di mana akan dibangun lokasi-lokasi pemberhentian transportasi masal.
Jangan sampai dengan rute yang tidak jelas, pemberhentian yang dibangun pun tidak memenuhi standar TOD, atau terlalu jauh dari pemukiman penduduk sekitar sehingga warga tidak meminati transportasi umum yang berujung kepada kegagalan strukturisasi transportasi masal dan memangkas habis milyaran rupiah dengan sia-sia. Saya pernah bahas di sini.
Ini yang tak kalah penting. Pemerintah pun sudah seharusnya mengajak warganya untuk bersama-sama membangun kota dengan akhlak yang baik. Mengajarkan bagaimana cara melestarikan kota, mematuhi setiap peraturan yang telah ditetapkan baik di dalam rumah maupun di jalanan.
Kita tidak ingin ada kawasan yang tidak terawat yang mana itu menjadi sumber kejahatan dan penyakit, dan merupakan tanggung jawab kita melapor kepada pemerintah akan kawasan-kawasan liar tersebut.
Warga yang baik tidak membuang sampah sembarangan, tidak merusak nilai keindahan kota, dan tentu saja, memakmurkan masjid agar tidak hanya kota yang indah dipandang, namun juga nyaman akan keistimewaan akhlak warganya.
—<(Wallaahu A’lam)>—
Saya tertarik dengan pembahasan ini. Semakin dewasa, semakin kuat keinginan untuk membuat kota ideal di negara tercinta ini.Terima kasih pembahasannya.
Hai Rina, terima kasih atas komentarnya.
Jika ada request artikel yang dapat saya tulis, agar saya tahu. ☺