Orang mukmin Allah uji dengan ujian yang berbagai rupa. Lamanya ujian juga bervariasi, ada yang begitu singkat, ada yang selesai dalam hitungan hari, minggu, bulan, bahkan tahun.
Jika di bagian sebelumnya bahwa hikmah mendapatkan ujian adalah sebagai penentu derajat kehidupan yang diuji, kali ini alasan Allah Ta’ala menguji manusia adalah:
Pernah saya membaca sebuah pertanyaan, “Jika Allah mencintai saya, mengapa Dia kerap memberikan saya kesulitan dalam hidup yang seakan tidak pernah berakhir?”
Sebagai orang yang kritis, beberapa dari kita mungkin akan mengangguk dan bergumam, “iya juga ya?”
Sebuah hadits meriwayatkan perkataan Rasulullah saw.,
“Sesungguhnya besarnya balasan disertai besarnya bala, dan apabila Allah SWT mencintai suatu kaum Dia memberi cobaan kepada mereka.”
(HR. Bukhari dari Anas bin Malik)
Sekarang mari kita lihat, bagaimana perlakuan orang tua kepada anak yang paling mereka sayang, atau mungkin kita sendiri yang pernah merasakannya?
Anak yang beruntung, mendapatkan pendidikan tinggi yang istimewa bahkan hingga disekolahkan keluar negeri. Orang tuanya rela merogoh kocek mereka dalam-dalam sebab rasa cinta mereka kepada anak mereka itu.
Para orang tua menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi karena mereka memahami bahwa ada keistimewaan atau bakat dari anak mereka yang harus mereka bina.
Pada akhirnya, sang anaklah yang merasakan nikmatnya mendapatkan pendidikan yang terbaik. Ia menjadi mudah mendapatkan kerja di perusahaan bergengsi, bahkan penghasilannya pun tidak main-main.
Tetapi saat kita bicara proses, saat menempuh jenjang pendidikan tinggi, sang anak mungkin iri dengan anak seusianya yang memiliki banyak waktu untuk bermain, bercanda, dan menikmati masa muda mereka. Sedangkan sang anak tengah berkutat dalam kesulitan tugas demi tugas akademi yang sangat menuntut mereka.
Seperti itulah ujian hidup. Apalagi ternyata Allah Ta’ala adalah yang Maha Tahu bagaimana cara memperlakukan para hambaNya.
Dia Maha Tahu apa ujian yang terbaik bagi hambaNya, sebab Dia juga Maha Tahu apa hasil terbaik yang ingin Dia berikan kepada hamba-hambaNya.
Sebagian orang Allah uji dengan kehancuran bisnis, sebagiannya lagi Allah uji dengan kehilangan orang yang mereka cintai.
Saya pribadi mendapatkan ujian berupa kekecewaan yang mendalam bahkan dapat saya sebut sebagai semi pengkhianatan. Anehnya, saat Allah menguji saya dengan kekurangan harta, atau kehilangan anggota keluarga, saya tidak merasa itu sebagai ujian karena kesedihannya hanya berlangsung sesaat.
Tetapi khusus kekecewaan ini, yang mungkin bagi orang lain ringan, ternyata cukup membuat saya depresi berbulan-bulan.
Contoh lain, kenalan saya ada yang mendapatkan ujian bahwa teman terbaiknya merebut tunangannya saat janur kuning sudah hampir tegak.
Ada juga yang mendapatkan ujian dari mertuanya, yang terlalu mengatur-atur dan ‘menghisap’ penghasilan bulanannya demi nafsu pribadi sang mertua.
Yang lainnya lagi ada yang bahkan tidak ingin keluar rumah sebab para tetangganya selalu mencemoohnya karena masih lajang di usia kepala tiganya.
Hanya karena itu bukan jenis ujian kita, kita tidak boleh menganggapnya ringan. Kita sendiri tidak ingin ada orang yang meremehkan masalah yang kita alami. Saya pernah jelaskan khusus hal ini di artikel berikut.
Apa yang saya lakukan saat depresi?
Saya tidak tahu, tiba-tiba saya memiliki keinginan untuk tahajud.
Sedari usia 18, saya memiliki kebiasaan buruk yakni selalu tidur larut malam di atas pukul satu dinihari. Bahkan beberapa kali saya baru melaksanakan shalat subuh lewat waktu terbit matahari.
Dan saat jam tidur kita menjadi semakin malam, itu akan sulit pulih.
Sedangkan selama mendapatkan duka yang mendalam, rata-rata jam tidur saya menjadi pukul sebelas malam bahkan kurang dari itu. Bangun malam untuk tahajud pun seakan menjadi ringan dari yang tadinya ‘hampir tidak mungkin’.
Ada yang bilang, “Tahajud itu hanya lewat undangan.”
Dari sana saya pada akhirnya secara puas mengadukan bagaimana rasa sedih saya kepada Sang Pencipta.
Dalam sebuah hadits qudsi Dia sendiri berfirman,
“Pergilah pada hambaKu lalu timpakanlah berbagai ujian padanya karena Aku ingin mendengar rintihannya.” (HR.Thabrani dari Abu Umamah)
Bahkan Dia menjeda pengabulan karena mungkin Dia tahu setelah itu kita akan berhenti meminta kepadanya, atau tetap meminta namun tidak sedahsyat sewaktu kita mendapatkan ujian.
Hal ini Allah Ta’ala pertegas dalam hadits qudsi yang lain,
Allah bertanya kepada Malaikat, “Apa yang kau bawa itu?”
Malaikat menjawab, “HambaMu si fulan ini meminta itu dan ini sambil merintih menyebut namaMu.”
Lalu Allah membalas, “Biarkan dulu, sengaja aku tahan permohonannya karena Aku rindu dan suka mendengar rintihannya.”
Bersamaan dengan rutinnya saya melakukan shalat tahajud, secara ‘ajaib’ tiba-tiba feed Instagram saya berubah menjadi nasihat-nasihat islami yang berupa motivasi ujian. Padahal saya belum pernah sekali pun menyentuh itu, dan selama ini isi linimasa Instagram saya hanya meme-meme dan konten kucing tok.
Maksudnya konten kucing dan meme-meme masih menghiasi feed Instagram saya, namun motivasi islami kini sudah ikut memeriahkannya. Bagi saya itu seperti Allah Ta’ala yang berkomunikasi lewat konten motivasi islami yang sebelumnya sama sekali tidak pernah muncul dalam Instagram saya sebelum saya rutin tahajud.
Intisari dari kutipannya adalah,
Alhamdulillah, setidaknya itu sudah sangat cukup menenangkan saya dan memperbaiki suasana hati saya.
Jika sebuah kesedihan, duka, dan rasa sakit membuat kita lebih dekat kepada Allah Ta’ala, insyaAllah itu adalah sebuah anugrah. Dan semoga kita selalu mengingat ini walau badai kehidupan sudah usai nantinya.