Merespon Curhat

Setiap orang pernah merasakan sakit secara batin atau emosional, saya juga. Bahkan mengutarakan kegelisahan, kegundahan, dan kesedihan yang kita alami merupakan salah satu tips bahagia yang pernah saya bahas di sini.

Namun permasalahannya, sebagian orang khawatir mereka tidak akan menemukan orang yang tepat untuk mereka jadikan teman untuk mengutarakan itu semua.

Ternyata teman-teman yang selama ini membuat kita tertawa, kebanyakannya tidak mampu untuk membantu mencerahkan sedikit pun kesulitan yang kita sedang hadapi.

Mungkin respon yang paling dapat kita toleransi adalah ucapan “yang sabar ya…”, sebab bagaimana pun sabar adalah hal yang mulia.

Meskipun kita mengharapkan respon lain di luar ‘hanya’ anjuran untuk bersabar, tetapi setidaknya itu lebih baik daripada mendapatkan lima respon berikut.

Saya akan jabarkan di sini dan semoga kita dapat menghindari merespon curhat orang lain dengan lima hal ini. Saya mencoba mengurutkannya dari yang paling dapat ditolerir terlebih dahulu.


5. Jangan dipikirin

Saat kita menganjurkan teman kita untuk tidak memikirkan masalahnya saat ia curhat, sebenarnya itu tidak mengapa. Mungkin memang niat kita agar ia tidak berlarut dalam kesedihan.

Tetapi, adakalanya sebagai bentuk empati, kita dapat mencoba berpikir lebih dalam.

Jika seseorang dapat dengan mudahnya mengabaikan sebuah masalah, artinya itu bukanlah masalah besar baginya.

Ketika seseorang datang kepada kita, dan di sana kita mendapatinya curhat hingga berlinang air mata, terasa berat penderitaannya, artinya ia tidak sedang menghadapi persoalan yang sepele.

Kita tidak bisa hanya berkata agar dia cukup tidak memikirkan masalahnya semata, karena mungkin masalah itulah yang membuatnya tidak dapat tidur, tidak nafsu makan, dan tidak maksimal beraktivitas.

Apalagi saat seseorang memilih kita untuk menjadi tempat curhatnya. Apakah kepercayaan yang ia berikan kepada kita hanya berakhir dengan sebatas respon seperti itu?


4. Biasa aja

Saya pernah bertemu seseorang yang terlalu sering merespon “biasa aja tuh…”.

Dan itu tidak membuat saya memahami apa maksud seringnya merespon seperti itu.

Apakah ia ingin membuktikan kepada orang lain bahwa ia dengan mudahnya bisa tegar dengan masalah orang lain yang ia dengar tersebut?

Jika iya, mungkin ia belum mengetahui bahwa masalah setiap orang jenisnya sangat berbeda. Misalnya, saat seseorang tertimpa masalah keuangan, barangkali ia masih bisa bersantai dengan itu. Namun saat orang yang sama tertimpa masalah keluarga, ia akan menangis berlarut-larut.

Atau apakah ia sudah terlalu banyak merasakan pahitnya kehidupan sehingga emosinya sudah ‘hambar’ dalam berempati kepada orang lain?

Jika iya, maka dapat kita ketahui bahwa ia adalah ‘produk’ dari sebuah kekecewaan yang mendalam. Bisa jadi dulunya setiap orang yang ia curhati menanggapinya dengan tidak acuh, sehingga lama-kelamaan rasa percaya dan empatinya tergerus dan bahkan hilang.

Intinya, apabila seseorang hanya menganggap masalahnya adalah hal yang biasa, ia tidak akan memilih orang yang ia percaya untuk melakukan curhat.


3. Kalau saya sih…

Lagi, masih berhubungan dengan poin sebelumnya, saya telah menyebutkan bahwa setiap orang memiliki jenis masalah yang berbeda-beda.

Saat sebuah masalah adalah hal yang biasa bagi kita, artinya itu bukanlah masalah besar.

Oleh karena itu, saat kita berkata seolah-olah ia adalah kita dan memberikan solusi sesuai selera kita, kemungkinan besar solusi tersebut tidak akan cocok baginya.

Apalagi karena masalah yang menimpanya itu bukanlah jenis masalah kita, kemungkinan besar kita akan menganggap enteng masalahnya dan memberinya solusi yang ternyata bukanlah solusi.

Saya pernah mendapati seseorang yang hingga menangis-nangis sebab ia sudah lelah dengan pekerjaannya. Bagi saya yang memang kata orang saya adalah orang produktif, sejujurnya saya menganggap masalahnya bukanlah masalah bagi saya sama sekali.

Tetapi saya memahami hal ini dan menahan diri saya untuk memberikan solusi semau saya.

Yang saya lakukan hanya membuatnya mengeluarkan emosinya hingga puas, dan memberikan dia izin untuk curhat kepada saya apabila suatu saat masalahnya kembali terpikirkan.

Saya bahkan menebak dengan berkata kepadanya jika hari libur yang ia tunggu-tunggu menjadi begitu menyiksa karena ia pasti kerap terbayang-bayangi masalah pekerjaannya.

Dia mengangguk dengan pasti, seakan senang ada orang yang dapat memahaminya. Jadi untuk sementara saya menyarankannya untuk mencari di internet beberapa kasus orang yang serupa dengannya dan membaca-baca bagaimana mereka dapat bertahan/bersabar dengan itu.

Saya hanya berharap saran saya dapat sedikit meringankan masalahnya saat ia tahu bahwa ia tidak sendiri.


2. Yang lain lebih parah

Waktu itu teman saya pernah menahan curhatnya kepada orang lain dengan sebab ia kerap mendapatkan perbandingan dengan yang lebih buruk. Bahkan tim saya menyebut bahwa itu merupakan tindakan ‘mengadu nasib’.

Saya meyakini bahwa hampir semua dari kita sudah menyadari bahwa di dunia ini pastinya banyak sekali orang-orang yang tidak seberuntung kita.

Maka dari itu, merupakan sesuatu yang agak menggurui jika respon yang kita dapat dari teman curhat kita adalah, “Yang lain banyak yang lebih parah…”

Jika boleh saya utarakan, beberapa orang menginginkan punya mobil.

Tetapi saat mereka tahu bahwa pemobil harus mengeluarkan uang lebih untuk perawatan dan pajak, harus lebih bersabar dengan pengendara lain terutama pesepeda motor, harus rela mengambil jarak yang lebih jauh karena tidak fleksibel dengan lebar jalan, dan tidak ada pilihan saat macet, ternyata cukup membuat mereka urung memiliki mobil.

Begitu pun dengan orang kaya dari hasil usaha mereka, manajer, dan semacamnya. Mereka mendapatkan ujian yang mana orang ‘biasa’ seperti kita mungkin tidak akan sanggup menjalaninya. Mereka memahami bahwa saat mereka mengeluh beratnya ujian mereka, ada banyak orang yang keadaannya lebih parah dari mereka. Tetapi mereka sadar bahwa itu bukanlah hal yang selaras untuk mereka jadikan perbandingan.

Benar bahwa melihat kondisi orang yang lebih parah dari kita dapat membuat kita menjadi lebih bersyukur. Namun itu seharusnya tidak perlu harus menunggu terkena masalah berat terlebih dahulu.


1. Penghakiman sepihak

Pada akhirnya, yang terakhir ini benar-benar sangat tidak saya anjurkan untuk menjadi cara merespon orang yang curhat kepada kita.

Bukan sekali dua kali saya mendengar seseorang yang semakin sedih karena orang lain menuduhnya kurang beribadah atau bersedekah yang menjadi sebab muncul masalahnya.

Alih-alih ia mendapatkan seteguk air untuk meringankan dahaganya, yang ia dapatkan justru asupan yang pedas lagi pahit ke dalam kerongkongannya.

Bahkan sekalipun niat kita adalah untuk membuat seseorang lebih rajin beribadah, itu tidak melegalkan kita melakukan penghakiman sepihak.

Dari seribu satu cara yang baik untuk menyarankan orang agar semakin taat beribadah, beberapa orang justru memilih satu cara buruk dalam menyampaikannya.

Padahal saat kita melakukan penghakiman sepihak tersebut, itu tidak akan membuat kita terpandang sebagai ahli ibadah sama sekali. Yang ada justru hanya membuat orang lain menjadi trauma untuk menjadikan kita teman saat mereka sedih.

Pastinya kita sendiri tidak ingin mendapatkan penilaian sepihak dari orang-orang di sekitar kita juga, bukan?

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Tes Kepribadian Bukanlah Alat Untuk Judging

    Berikutnya
    Tips Lebih Bahagia 34: Memilah Teman


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas