Tulisan oleh Ustadz Ahmad Sarwat
Bekerja dalam pandangan syariah bukan hanya disyariatkan, tetapi masuk dalam kerangka ibadah non ritual.
Dalam Al-Quran bertabur ayat yang memerintahkan kita bekerja. Yang paling mudah kita sebut adalah surat Al-Jumuah. Begitu selesai shalat ditunaikan, perintahnya bukan dzikir, ngaji, baca ini atau baca itu. Perintahnya justru bertebaran di muka bumi dan cari rejeki.
Memang bekerja itu tidak hanya melulu cari rejeki. Sebab secara teknis, yang disebut bekerja memang ada dua macam jenisnya.
Pertama, bekerja dalam artinya mencari nafkah, rejeki dan penghidupan.
Teknisnya bisa bekerja dalam artinya berdagang, bisnis, dan usaha, atau dengan cara menjadi pegawai atau karyawan, yang mana dapat uangnya dengan cara dibayar atau diupah oleh orang lain.
Kedua, bekerja dalam arti memberi manfaat kepada orang lain. Konsep bekerja yang kedua umumnya dilakukan oleh mereka yang secara ekonomi sudah mapan.
Uangnya sudah banyak, sehingga sudah tidak lagi harus bekerja mencari uang, tetapi uanglah yang mencari dirinya.
Namun begitu dirinya tetap bekerja, yang boleh jadi tetap produktif dan memberi banyak manfaat kepada orang lain.
Contohnya adalah Nabi Muhammad SAW ketika lewat usia 40 tahun. Secara ekonomi sudah mapan. Punya usaha patungan dengan istri sendiri, Khadijah.
Jadi kalau dibilang bahwa Nabi SAW tidak bekerja, maksudnya sudah tidak lagi bekerja seperti umumnya para karyawan yang kudu menjalankan ritual P11 alias: Pergi Pagi Pulang Petang Pinggang Pinggul Pegal-Pegal Pendapatan Pas-Pasan.
Kalau di zaman sekarang bisa kita bandingkan dengan komisaris perusahaan, punya banyak saham di berbagai perusahaan multi nasional.
Atau kira-kira kayak pak Haji juragan kos-kosan di atas tanah warisan. Punya ratusan pintu, tiap bulan uang nyetor pada antri.
Udah kayak punya mesin ATM pribadi. Namanya ATM gedor, tidak perlu kapai kartu. Tinggal gedor-gedor pintu kontrakan.
Lepas dari dua jenis bekerja itu, sebenarnya dua-duanya termasuk bagian dari ibadah non ritual, yang ada perintahnya dalam Islam, bahkan ada janji balasan di dunia dan di akhirat.
Lawan dari bekerja adalah tidak bekerja alias menganggur. Dan menganggur ini perbuatan yang wajib dihindari serta dijauhi.
Lalu bagaimana menganggur itu dianggap bertentangan dengan agama Islam?
Orang yang tidak bekerja alias menganggur, ujung-ujungnya hanya ada dua. Pertama jadi peminta-minta dan kedua menjadi tukang palak, alias mengambil harta orang lain dengan jalan yang zalim.
Dua-duanya sama-sama diharamkan dalam Islam.
Selain itu kalaupun tidak jadi pengemis atau tukang palak, setidaknya jadi generasi yang lemah, pesakitan, miskin, dan sampah yang membebani.
Maka bekerjalah karena bekerja adalah ibadah. Tidak bekerja berarti madharat dan berpotensi timbul kerawanan.
Terakhir, di balik dari perintah untuk bekerja, tetap saja tidak ada gunanya kalau kesempatan bekerjanya sendiri tidak ada.
Sebab kita hidup di zaman yang jauh berbeda dengan zaman Nabi Musa AS. Cukup menggembala kambing saja sudah bisa menikahi wanita, bayar mahar sekaligus nafkah.
Kita tidak hidup di masa anak kecil bisa jadi penggembala kambing, sebagaimana masa kecil produktif yang dilalui Nabi Muhammad SAW.
Kita hidup di zaman yang sudah mengalami ledakan penduduk tak terkendali. Manusia saling berebutan pekerjaan. Hidup tidak bisa lagi hanya mengandalkan dari ngangon kambing.
Kita hari ini punya PR besar bagaimana menyediakan lapangan pekerjaan kepada jutaan angkatan kerja. Jangan sampai mereka kehilangan peluang.
Jangan sampai harus jadi buruh kasar di negeri orang dengan bayaran rendah tanpa perlindungan hukum dan harapan hari tua.
Jangan sampai mereka jadi generasi peminta-minta, tukang palak atau jadi debt collector.
Jangan sampai mereka jadi kalangan yang hobinya ngotak-ngatik dan merampok APBN.
Mari ciptakan lapangan pekerjaan agar jangan jadi generasi yang lemah. Bukan bikin partai atau ormas, tapi bikin pabrik yang bisa serap angkatan kerja.
Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya.
QS. An-Nisa: 9